‘Ingin kumenatap tapi apalah daya kini hanya ada hal semu yang tak nyata. Kutak bisa menggapainya, bahkan menemukannya pun tak bisa. Kita berada di semesta yang sama, cepat atau lambat pasti akan bertemu. Bukankah begitu?’
**
Orion menghela napas kasar, terkadang mengeluh karena memiliki kakak yang tak bertanggung jawab sama sekali.
Pemotor tadi mengenakan helm tertutup, satu tangan mengusap jaket kulit yang terkena percikan sisa susu dari dalam kotak yang dibuang Bintang. Mungkin jika melihat wajahnya, pasti pemuda itu menggerutu karena ulah Bintang yang buang sampah sembarangan.
Orion menurunkan kaca mobil, hingga meletakkan dagu di tepian jendela.
“Kakak, maafkan kakakku, ya. Dia itu emang rada ….” Orion menjeda ucapannya, kemudian menggerakkan telunjuk di samping pelipis, sebagai isyarat jika sang kakak kurang genap pikirannya.
Bintang melotot dalam persembunyiannya mendengar ucapan sang adik, bagaimana bisa Orion mengatainya tidak waras.
“Mohon maaf ya, Kak,” ucap Orion lagi memelas.
Pemuda berhelm itu mengangguk tanda memaafkan tanpa bersuara, hingga pandangan pemuda itu beralih ke lampu lalu lintas yang sudah menunjukkan warna hijau. Pemuda itu memacu motor dan melesat begitu cepat.
“Wah, di balik helmnya, aku yakin dia sangat tampan dan keren,” gumam Orion memuji pemuda yang entah seperti apa wajahnya.
Bintang langsung duduk dengan benar setelah mobil berjalan, kemudian memukul sandaran kursi Orion karena kesal dibilang tidak waras.
“Enak saja mengataiku tidak waras!” gerutu Bintang.
“Siapa yang bilang tidak waras? Aku hanya bilang kalau kakak rada-rada,” balas Orion membela diri.
Bintang sebal mendengar pembelaaan Orion, lagi pula kenapa adiknya tadi harus membuka jendela.
“Kenapa kamu harus meminta maaf?” tanya Bintang. Dia sebenarnya takut jika pemuda tadi marah kepadanya.
“Namanya salah harus minta maaf, Kakak! Ish … ini kalau Mami tahu, dia bisa mengomel tujuh hari tujuh malam,” jawab Orion sambil mengingatkan betapa garangnya sang mami.
“Jangan bilang Mami!” Bintang mengingatkan karena Orion sering mengadu jika dirinya melakukan kesalahan.
“Uang tutup mulut dulu!” Orion menengadahkan tangan ke arah sang kakak untuk memeras.
Bintang sangat geram dengan sang adik yang sedikit-sedikit meminta uang, hingga memukul telapak tangan Orion sampai mengaduh. Pak Ujang hanya tertawa mendengar pertengkaran kedua kakak adik itu, sudah biasa jika mereka tak akur, tapi meski begitu tahu kalau Bintang dan Orion saling menyayangi.
**
Mobil yang dikemudikan Pak Ujang sampai di depan sekolah Bintang. Pria berumur empat puluh tahunan itu memarkirkan mobil di dekat gerbang sekolah.
“Non, nanti sore setengah empat saya sudah jemput,” kata Pak Ujang mengingatkan jika jam empat harus sudah sampai rumah, jadi Bintang tidak boleh telat pulang.
“Iya Pak Ujang.” Bintang menutup pintu mobil, kemudian melambaikan tangan ke Orion yang akan diantar ke sekolahnya.
Bintang melangkahkan kaki dengan ringan dan riang, kedua tangan memegang tali tas ransel yang melingkar di kedua pundak. Hingga langkah kaki terhenti saat pandangan melihat sesuatu yang tak asing untuknya, Bintang menelan ludah susah payah, wajahnya tiba-tiba berubah pucat.
“Mati aku!”
Bintang terlihat bingung harus melanjutkan langkah atau tidak, cowok yang terkena lemparan kotak susunya, ternyata berada di satu sekolah yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang untuk Langit (TERBIT)
Teen FictionBuku ini sudah terbit, yang ingin baca kelanjutannya secara online, bisa ke Goodnovel. Jika langit selalu bertabur bintang. Lantas kenapa Langit merasa kesepian? Berpindah SMA tak hanya sekali, membuat orangtua remaja bernama Langit merasa keheranan...