Sendiri Bersama Pikiranku

26 3 0
                                    

Ardian membuka matanya, matanya samar-samar melihat bayangan Adrian duduk di kursi yang berada di depan dirinya. Sedikit demi sedikit mata Ardian mulai dapat melihat dengan jelas, dilihatnya Mary yang terbujur kaku di bawah pijakan kaki Adrian. Baju perawat Mary yang putih itu berubah menjadi merah pekat karena darah yang keluar dari tubuhnya. Tubuh Mary penuh dengan luka tusuk, luka tusuk itu ada di leher, perut, tangan dan juga dada. Ardian tidak bisa menahan emosinya, emosi sedih yang bercampur dengan marah dan murka terhadap Adrian.

"Sialan!" Namun saat hendak bangkit, rasa sakit kembali terasa di sekujur badan Ardian, dia lalu kembali jatuh.

Adrian kemudian bangkit dari kursinya, dia menendang tubuh tidak bernyawa Mary ke arah Ardian. Ardian lalu mendekap tubuh itu dan mulai menangis sejadi-jadinya sambil terus menyebut nama Mary, berharap Mary sadar dari kematian. Adrian lalu menendang Ardian menjauh dari tubuh Mary, Ardian mengerang kesakitan dan kemudian Adrian menginjaknya pada bagian dada. Ardian tertatih-tatih mencoba untuk melepaskan dirinya dari injakkan kaki Adrian.

"Ardian hahaha!" Tawa Adrian melihat Ardian yang tidak terbedaya itu. "Tahu nggak sih, kamu bisa lo tertawa bareng aku sekarang, kalau aja waktu itu kamu nggak sok baik, sok jadi pahlawan di depan Mary! Lagipula, kita berdua itu sebenarnya sama." Kata Adrian.

"Nggak! Aku sama kamu itu beda! Nggak ada sama-samanya! Aku bukan pembunuh!" Bantah Ardian.

"Ohh kamu pembunuh loh! Biarin orang lain mati padahal bisa nolongin itu sama aja membunuh kan?"

"Nggak! Aku bukan pembunuh!" Ardian kembali membantah.

Adrian lalu kembali menendang Ardian, kali ini tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Dia juga membentur-bentur kan kepala Ardian ke lantai beberapa kali hingga menyebabkan hidungnya berdarah. Setelah Ardian tidak lagi kuat bergerak dia lalu menjambak rambut Ardian dan mengangkatnya, Adrian lalu berjongkok di samping Ardian.

"Ayolah Yan jangan paksa aku ngelakuin ini terus, capek tahu, akui ya, kita berdua ini sama." Kata Adrian.

"Nggak... Nggak.. Nggak." Dengan suara pelan yang menahan sakit Ardian kembali membantah.

Adrian menggelengkan kepalanya dan membenturkan kepala Ardian lagi ke lantai. Dia lalu menendang Ardian lagi hingga dia sama sekali tidak bisa bergerak, seluruh badannya akan terasa sakit walau hanya bergerak sedikit.

"Kalau kamu nggak mau ngakuin aku Yan! Maka konsekuensi yang nanti harus kamu tanggung akan lebih berat! Akui aku lalu kita pergi dari sini sama-sama! Ke tempat dimana orang-orang nggak melihat kita dengan sinis, ke tempat dimana kita bisa bebas, di tempat dimana kita bisa tenang! Akui lalu kita bisa bebas!" Desak Adrian.

"...N..gg.ak." Ardian dengan sisa-sisa tenaganya kembali membantah Adrian.

Mendengar itu Adrian lalu menghela nafas panjang. Dia memandang Ardian dengan tatapan sedih dan menyesal.

"Kalau gitu aku nggak punya pilihan lain!"

Tiba-tiba dari belakang, selusin polisi mendobrak pintu kamar itu dan mengarahkan lampu sorot serta senjata mereka ke Ardian dan Adrian. Ardian dengan semuan sisa tenaganya lalu menunjuk Adrian.

"Tangkap! Tangkap dia Pak! Dia pelakunya!" Teriak serak Ardian.

Polisi-polisi itu lalu masuk ke dalam kamar itu dan mengarahkan senjata mereka ke Ardian. Ardian keheranan, dia bingun kenapa polisi-polisi itu mengarahkan senjata mereka ke arahnya dan bukan kea rah Adrian. Lalu Ardian kembali menunjuk-nunjuk Adrian sambil berteriak ke arah polisi-polisi tersebut.

"Pak itu Pak! Tangkap!" Teriak Ardian.

"Kamu sudah menemukan pelaku, sekarang melakukan prosedur penangkapan!" Salah seorang polisi itu berkomunikasi lewat saluran radio.

Mereka lalu membelenggu Ardian dengan borgol dan menahan badannya supaya tidak melakukan perlawanan. Ardian yang bingun lalu mencoba berontak dan berteriak-teriak sambil mengarahkan badannya ke Adrian.

"Loh bukan saya Pak! Itu pak! Dia yang berdiri di situ itu pelakunya!" Berontak Ardian.

"Pelaku sepertinya menderita gangguan halusinasi dan delusi, lakukan prosedur selanjutnya!" Kata Polisi yang menahan badan Ardian itu.

Polisi itu lalu menyetrum Ardian dengan stun rod dan meminumkan obat penenang ke Ardian. Pandangan Ardian mulai berubah, sosok Adrian yang daritadi dia lihat mulai menghilang sedikit demi sedikit. Pandangan Ardian mulai menjadi lebih jelas, tubunya tidak lagi merasakan sakit namun malah menjadi segar. Ardian sadar kalau tidak ada luka satupun di badannya. Ardian mulai sadar kalau baju yang dia pakai berbeda dari apa yang tadi dia pakai, dia memakai baju yang dia lihat dikenakan oleh Adrian.

"Kami juga menemukan korban baru, seorang perempuan mengenakan pakaian perawat dengan tanda pengenal bernama Mary. Korban mengalami penusukan di beberapa bagian tubuhnya." Kata seorang Polisi yang mengevakuasi mayat Mary.

Ardian melihat semua hal itu dan memprosesnya di otak miliknya yang sudah rusak. Mana yang nyata dan mana yang delusi, dia sudah tidak lagi bisa membedakan. Polisi-polisi itu lalu memberdirikan Ardian dan membawanya keluar ruangan. Dilihatnya tumpukan mayat yang di evakuasi dari seluruh gedung rumah sakit itu. Ardian mengingatnya sebagai hasil dari perbuatan Adrian, tapi dia tidak sadar kalau selama ini Adrian itu tidak pernah ada. Itu semua adalah perbuatan Ardian sendiri.

Ardian lalu menundukan kepala, sedikit demi sedikit tawa keluar dari mulutnya. Otaknya yang hancur mencerna kejadian ini sebagai sebuah hiburan yang akan segera berakhir. Ardian tidak lagi bisa berhenti tertawa, ditengah malam yang sepi dan mengerikan itu Ardian tertawa tidak bisa berhenti. Para Polisi yang ada di sana pun merasa ternganggu, Ardian terus menerus tertawa dalam lingkaran delusi yang ada di dalam pikirannya yang tidak bisa dia hentikan.

"Hahahahahahahahahahahahahahahahaha!"  

Sendiri Bersama PikirankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang