Prolog

85 12 0
                                    

Bintang pun murka—

°°°

Rematan milik tangan seorang pria itu perlahan sampai pada surai legamnya, hampir-hampir menjambak kalau seseorang tidak segera menahan. Pria manis pemilik binar mata seterang bintang menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran sembari menggenggam kuat tangan yang tadi ia tahan pergerakannya.

“Jangan! Jangan pernah sakiti diri kamu sendiri dengan cara seperti ini, aku tidak pernah rela!” Ucapnya dengan getaran nyata menandakan lelaki itu menahan kuat tangisannya.

Tubuh Dave jatuh, duduk bersimpuh di hadapan pria yang menempati takhta dengan gelar tertinggi pada hatinya itu, matanya yang merah sebab menangis menatap dalam netra Zeehan, genggaman tangannya mengerat, sangat amat erat membuat keduanya cukup paham untuk memaknai itu dengan rasa tak ingin kehilangan.

"Han, kalau begitu tolong jangan pernah lakukan hal yang aku pun tidak rela.”

Air mata luruh, sarat akan luka yang tak pernah ada obatnya. Keduanya menangis sejadi-jadinya, cukup sadar apa yang sebentar lagi akan terjadi. Demi Tuhan tak pernah ada seorang pun yang rela hal begitu keji nan penuh ketidakadilan dilimpahkan pada pria suci kesayangan semesta itu.

Zeehan turut bersimpuh, “Mari berjanji untuk saling bertemu dan mencintai pada kehidupan selanjutnya, Dave.” Ucapnya seraya mengusap rahang tegas milik kesayangannya.

Kening bertemu, menyatu dengan getar lebih hebat daripada yang pernah mereka rasakan, menyalurkan seluruh rasa yang ada di hati, keduanya tersakiti, keduanya hancur, dan sebentar lagi Dave yakin ia yang akan lebih hancur, sebab pemilik hidup dan jiwanya akan menyatu dengan para bintang di langit.

Pada pertengahan musim semi kala itu, tepat satu minggu setelah Dave dan Zeehan melangsungkan pernikahan. Zeehan

"Hey, Han! Berhenti baca buku dongengmu itu, dan begegaslah menuju lapangan!"

Barusan Wonwoo, yang berhasil membuyarkan fokus seseorang yang dia panggil Han. Pemuda itu mendecak, merasa kesal sebab kegiatan membacanya terusik, mendelik tajam menatap kawannya lantas menutup buku dongeng yang sedari tadi ia baca dan meletakkannya sembarang di atas tempat tidur.

Wonwoo yang melihat temannya memasang tampang kesal hanya tertawa kecil, "aku sudah mengajakmu sejak tadi, tapi kamu diam saja."

"Mengapa tidak kamu saja yang pergi ke lapangan sendirian?!"

Mereka saling berdebat sambil berjalan menuju lapangan yang sejak tadi Wonwoo bicarakan.

"Kamu ingin lihat aku digantung oleh Kak Yama karena tidak berhasil membawa kamu ke lapangan?!" Ucap Wonwoo dengan tangan yang memukul kecil lengan sahabatnya itu.

Pemuda yang sejak tadi Wonwoo ajak bicara berhenti tepat di dekat balkon yang menghadap langsung ke arah lapangan, lapangan utama kerajaan yang kini sudah sangat ramai.

"Merepotkan."

°°°

From heart, hisa.

Lucerna • The Real Serenity || JeongcheolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang