VII

48 10 0
                                    

Izan berkutat pada laptop di ruang kerjanya. Ia benar-benar resign dari dunia kedokteran sejak hampir 4 tahun lalu. Pergi dari Indonesia menuju Tokyo, lalu berpindah ke Paris dan kini menetap di Amsterdam. Perjalanannya ia akhiri sampai di sana.

Sedari dulu, ia sulit memberi nyamannya pada orang lain, hanya laki-laki manis itu. Hatinya di bawa pergi seorang yang spesial. Ethaniel Brinanta Atmaja.

"Fokus, Zan, bentar lagi mulai presentasinya." Teman Izan bernama Dean memperingati sembari menepuk pelan lengan Izan.

"Saya mau curhat."

Dean tersentak. Selama itu berteman, dan baru kali ini kata-kata itu meluncur dengan mulus dari bibir plum itu.

"Saya cinta sama laki-laki. Saya belum bisa lupa dari dia lalu apa yang harus saya lakukan?"

"Seriously Izan? Laki-laki?"

"Iya. Jarak bener-bener nyiksa saya. Saya kangen sama dia. Dia bakal marah kalau tau saya masih begini, masih nyimpen rasa buat dia."

Dean menggeleng. Ini baru baginya. Mungkin ini adalah alasan kenapa saat pertama menjadi partner, Izan sangat berambisi, kadang juga kehilangan fokus. Tapi sepertinya saat ini, pria itu lebih bisa menghandel.

"Menurut kamu, boleh enggak saya ketemu sama dia lagi? Bilang kalo saya udah nemuin bahagia, udah tau caranya nikmatin hidup walaupun kenyataannya saya seperti jasad tanpa roh begini."

"Kenapa kamu gak balik lagi ke dia? Itu cara satu-satunya bahagia buat kamu, kan? Gak perlu pura-pura."

Izan nyaris terbahak. Ia sudah sejauh ini menjauh, tapi seseorang memintanya kembali ke opsi untuk berjuang.

"Agama kami ngelarang, gender kami sama, kami sahabat. Bagaimana menurut kamu kalau kami egois dan memilih bersama? Imbas yang akan kami terima pasti besar."

Dean memijit pelipisnya. Ini pasti sulit bagi mereka yang memikirkan resiko pada sekitar.

"Seharusnya kalian gak usah mikir itu. Kalo kalian bahagia, itu lebih baik, kan?"

"Andai saya bisa berpikir sesederhana itu. Saya sudah membawa pergi Ethaniel dan mengajaknya menikah."

Ah, namanya Ethaniel ternyata.

Pembicaraan itu selesai tanpa solusi. Izan sepertinya tidak mempermasalahkan terlalu jauh. Sepertinya laki-laki tinggi itu hanya ibgin mencurahkan bebannya yang seperti memberatkan pundaknya.

...

Keinginan begitu namun takdir berkata lain. Izan harus kembali ke Jakarta. Koleganya berada di sana dan menginginkan Izan berkunjung saat tahu laki-laki itu ternyata kelahiran dari tanah air.

Izan berdoa semoga tidak ada pertemuan antara dirinya dan Ethaniel. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa nanti jika memang takdir kembali membawanya bertemu Ethaniel.

"Kata bapak, Aden ada pertemuannya di kantor ya. Aden mau langsung ke lokasi atau kemana dulu?"

Izan menimang dalam diam. Jika bisa, jika boleh, ia ingin ke tempat Ethaniel dulu. Melihat jejak yang mungkin akan ia ingat untuk terakhir kali.

"Ke perumnas pondok asih dulu, Pak. Sebentar aja." Izan berkata pada supir pribadi milik keluarganya.

"Rumah Mas Ethaniel ya, Den. Mas Ethaniel kayaknya jarang ke rumah lagi semenjak Den Izan di Amsterdam."

Izan hanya terdiam. Dulu memang sering ke rumah Izan bersama dan Ethaniel mendapat perlakuan baik walaupun semua keluarganya tahu karena berteman dengan Ethaniel lah Izan memilih menjadi mualaf.

"Makanya saya kangen," ujar Izan tanpa sadar tersenyum.

Setelah perjalanan yang cukup panjang dari bandara Sukarno Hatta menuju ke perumahan pondok asih tempat Ethaniel, akhirnya mereka tiba di depan gerbang yang dari 4 tahun lalu belum berganti warna. Izan tersenyum menatap dari kejauhan.

Sosok yang ia cintai ada di sana, sedang berdiri dan tersenyum manis sambil melambai kedalam rumah, entah pada siapa. Tipe senyuman yang tanpa beban dan juga sudah lama tidak Izan lihat.

"Lho kok Aden masih disini? Gak samperin Mas Ethan?"

Izan gelagapan. Bukan karena pertanyaan dari pak supir tapi lantaran tatapan mata sayu nan cantik itu tiba-tiba saja bertemu pandang dengannya. Izan langsung memegang bahu pak supir dan menyuruhnya bergegas.

Semoga Ethaniel tidak melihat kehadirannya. Jika iya, bisa-bisa Ethaniel kecewa padanya lantaran memutus perjanjian yang di buat sendiri olehnya.

"Aden ada masalah sama Mas Ethan ya? Kenapa langsung kabur gitu?"

"Ah itu pak, nanti kita bakal ketemu kok tapi gak di sini. Ntar aja, saya masih punya banyak waktu di Jakarta. Lagian kayaknya Ethan buru-buru tadi, dia juga kayaknya mau pergi."

"Oh iya bisa jadi. Lagian Aden juga sebentar lagi mau ada meeting ya. Jadi ini kita langsung ke kantor aja, Den?"

Izan tersenyum lalu mengiyakan sehingga mereka kembali fokus pada jalanan padat ibu kota.

Izan tidak marah karena pak supir yang cenderung banyak bicara dan sedikit lancang itu. Ia sudah terbiasa dengan supirnya berbicara santai. Itu bukanlah suatu masalah.

...

Ada sekitar sepuluh orang lebih yang berada di ruang meeting kantor milik perusahaan cabang di Indonesia. Perusahaan ini di di amanah kan untuk di kelola oleh  Prawira Hernandez yaitu ayah dari Izan tapi Wira tetaplah bawahan walaupun jabatannya paling tinggi di perusahaan cabang.

Izan telah di angkat menjadi Manager Hubin di Amsterdam dimana perusahaan pusat berada.

Jadilah dia yang dikirim untuk menangani kolega asal Indonesia karena selain jabatannya, asalnya juga lah yang mendukung pertemuan di kantor ini.

Tawa khas pria paruh baya mengudara di ruangan megah, Izan ikut tersenyum lantaran sepertinya semuanya berjalan dengan lancar.

"Ternyata mulus sekali pertemuan hari ini. Saya kira, saya butuh translator buat mendampingi saya mengingat kolega saya seharusnya berasal dari Amsterdam."

"Syukur kalo semuanya berjalan semestinya ya, Pak. Saya rasa pertemuan berikutnya, bapak yang dapat undangan dari Mister Geovan," ujar Izan tersenyum kalem.

Mereka semua kembali tergelak tawa. Perbincangan tentang bisnis sudah selesai kini hanya tahap dimana semuanya hanya bersenda gurau dan menikmati hidangan yang tersaji.

Mister Geovan De Venta yaitu pemilik perusahaan yang bergerak pada bidang property. Bertempat tinggal di Belanda, Amsterdam. Umurnya sudah cukup tua untuk sering-sering berkecimpung dalam setiap pertemuan. Mister Geovan sendiri adalah generasi ke empat dari pemilik pertamanya yang bernama Yeasher De Venta. Dalam kurun waktu 3 tahun, perusahaan akan di ambil alih oleh Ramus De Venta.

Diujung tepat berhadapan dengan sekretaris nya, Wira tengah tersenyum bangga pada anaknya. Tidak menyangka Izan yang awalnya hanya di kirim pada Osaka Jepang hanya untuk pelarian anak itu, kini malah menjadi perwakilan langsung untuk pertemuan kolega di Indonesia.

"Kenapa Pak Izan gak kelola kantor cabang di Indonesia aja? Kenapa harus jauh-jauh ke Amsterdam? Kalo di sini bisa gantiin Pak Wira yang bakal pensiun? Siapa tau Mister Geovan setujuin pemikiran saya tadi."

"Ah, saya emang mau anak saya mulai semuanya dari nol. Biar dia tau perjuangan waktu saya muda dulu, kerja jauh dari orang tua."

Bukan Izan yang menjawab melainkan Pak Wira. Ia tahu ada alasan pribadi kenapa anaknya memilih kabur dari Indonesia.

Wira menatap anaknya sekilas yang tiba-tiba saja terdiam. Semoga percakapan ini tidak menggangu pikiran anaknya.

...

Daily Birthday of ChanBaek | YaoiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang