Yoimizu turut menambah kewaspadaan. Namun, rasa dingin yang dibawa angin langsung membuatnya bersin. Rasa waspada seketika hilang dan Ao kembali melihat Yoimizu.
"Heeh, apa kau sakit?"
"A–apa kau bilang!" Yoimizu berkata dengan nada tinggi, tetapi Ao malah tidak mempedulikannya.
Ao langsung mengeluarkan syal hitam dari tangannya dan mengenakannya di leher Yoimizu. Rasa terkejut kembali ada dalam diri Yoimizu, tetapi ia kembali mengingat hal lain dari teman masa kecilnya ini.
"Aku hampir lupa kemampuan sihirmu."
"Wah, wah. Apa kau benar-benar melupakanku?"
"T–tidak, kok! Sungguh!"
Ao tertawa melihat wajah malu Yoimizu, sedangkan Yoimizu hanya bisa terdiam dengan ekspresinya itu. Suasana kembali hening, hingga akhirnya Ao mengubah situasinya.
"Yoimizu."
"Hum?"
"Aku … ingin mengatakan sesuatu padamu," kata Ao dengan ekspresi yang berbeda. Terdengar jelas dari nada bicaranya yang terasa serius.
Yoimizu semakin terdiam, tetapi kini rasa diamnya sudah berbeda. Ia menelan salivanya dan mencoba untuk tetap tenang. Menatap dan memandang mata merah milik Ao.
"Kita … adalah musuh."
Yoimizu seketika terbelalak. Ia terkejut, tetapi ia tak bisa menghilangkan rasa itu. Pertanyaan dalam benaknya tak dapat terjawab karena Ao tiba-tiba menghilang. Meninggalkan suara yang langsung memasuki telinganya.
"Mari bertemu lagi dalam perang ini, Yoimizu. Perang ini sudah dimulai. Aku akan mendengar keputusanmu di sana."
Keterkejutan semakin bertambah setelah mendengar suara telepati dari Ao itu. Ia segera mengingat perkataan pamannya yang menyuruhnya menjadi pemimpin.
"I–ini bohong 'kan? K–kalau begitu …."
Tanpa pikir panjang, Yoimizu langsung melangkahkan kakinya dengan cepat. Memasuki hutan dan pergi meninggalkan tempat kesedihan terdalamnya.
Udara dingin semakin terasa. Yoimizu terus mengatur napasnya karena rasa dingin ini. Hingga akhirnya sebuah hawa panas menjawab dugaan buruknya.
"Ini … bohong 'kan?"
Yoimizu seketika terduduk. Ia tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya sekarang. Ratusan anak panah yang menancap di tanah dengan pedang dan perisai. Terlihat orang-orang tergeletak penuh darah. Bersama dengan tenda-tenda yang terbakar oleh api merah seakan tercampur darah.
Hujan seketika turun. Membasahi seluruh tempat yang hampir tak utuh lagi wujudnya. Yoimizu semakin terdiam dengan sekujur tubuh merasakan dingin, tetapi ia mulai tak peduli.
Perlahan, Yoimizu mulai bangkit. Melangkahkan kaki dan berjalan memasuki tempat yang penuh darah dan mayat. Api yang berkobar sudah mengecil dan mulai padam. Namun, pandangan Yoimizu sudah tidak mempedulikan lingkungan sekitarnya.
Suara lain terdengar. Yoimizu langsung menoleh dan berbalik. Terlihat Ao yang berdiri menggenggam pedang di sana. Mata merahnya menatap Yoimizu yang sudah merasakan hampa.
"Bunuh saja aku, Ao," gumam Yoimizu sembari berjalan menuju Ao. Bulir-bulir hujan tak ia pedulikan meski semakin bertambah banyak.
"Itu yang ingin kau lakukan, bukan?" lanjut Yoimizu sudah tidak memikirkan lagi apa yang akan terjadi.
Yoimizu pun berhenti melangkahkan kakinya. Ao telah mengarahkan ujung dari pedangnya ke leher Yoimizu.
"Berhenti di situ, Yoimizu," tegas Ao dengan nada dingin, tetapi hal tak terduga terjadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aoi Higanbana
Short StoryBunga kematian pemberi ketenangan untuk birunya air, begitulah yang terjadi antara Ao Higa dan Yoimizu Hikari.