-BIJAKLAH DALAM MEMBACA-
Cerita ini bukan pure gxg tapi cerita ini mengandung unsur futanari yang cukup jelas. Cerita ini juga menggunakan bahasa yang non baku dan memiliki beberapa kata yang cukup vulgar dan kasar.
Cerita ini benar benar murni dari...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
__
Pagi itu cukup cerah ketika suara alarm membangunkan Aurora dari tidurnya yang nyenyak. Ia segera mematikan alarm dan memperhatikan jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 5:20. Setelah melamun sejenak, Aurora melangkah menuju kamar mandi, bersiap untuk hari pertamanya di sekolah baru.
Karena tidak tahu cara memasang dasi, ia memilih untuk meletakkannya di dalam tas. Tidak lupa, ia menyemprotkan parfum dan mengoleskan sunscreen sebelum mengambil kunci motor dan helmnya. Sekilas ia memeriksa jam tangannya yang menunjukkan pukul 6 tepat.
Setelah mengenakan jaket kulit, Aurora mengendarai motornya menuju sekolah. Sesampainya di sana, ia memarkir motornya dan melihat banyak siswi yang menuju sekolah sambil berbincang dan tertawa.
Aurora memperhatikan area parkir yang hanya diisi beberapa mobil dan sepeda. Salah satu mobil, sebuah BMW M5 F90 berwarna putih, menarik perhatian dan membuatnya terkesima.
Ia meletakkan helmnya dan melangkah menuju gedung sekolah. Di sana, ia melihat sejumlah anggota OSIS yang sibuk mencatat dan memeriksa pakaian para siswa. Aurora melewati mereka dengan santai, merasa tidak terlalu peduli dengan perhatian yang diberikan.
"Hei, kamu!" Seru salah seorang anggota OSIS. Aurora menoleh dan menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Sa-saya?" Tanya Aurora sambil menunjuk dirinya sendiri."Kamu mengenakan jaket kulit, dasi tidak dipakai, bajumu berantakan, dan juga memakai cincin, gelang, serta kalung. Karena itu, kamu mendapatkan poin."Ujar salah seorang anggota OSIS. Aurora merasa apa yang dikenakannya tidak mengganggu orang lain maupun proses belajar.
"Semua yang saya pakai tidak mengganggu kalian. Mengapa harus diberi poin? Lagipula, ini hanya pakaian biasa dari kalung, cincin, dan gelang. Di sekolah lain, tidak ada yang marah sampai diberi poin hanya karena hal ini." Protes Aurora. Keberaniannya menarik perhatian banyak anggota OSIS dan siswa lainnya.
Tiba-tiba, seseorang yang menarik perhatian semua orang muncul di hadapan mereka.
"Tugas siswa adalah mematuhi aturan sekolah. Jika tidak, mereka akan mendapatkan poin." Kata orang tersebut. Di lengannya terdapat tanda 'Ketua OSIS' yang membuat Aurora terdiam.Ketua OSIS itu berjalan dengan percaya diri, rambut panjang hitamnya menambah pesona yang membuat Aurora terpaku.
"Aku baru pertama kali melihatmu. Kamu murid pindahan, bukan?" Tanyanya pada Aurora, yang hanya terdiam.
"Iya, saya murid pindahan." Jawab Aurora sambil menatap ketua OSIS tersebut.
Ketua OSIS itu kemudian menoleh ke arah anggotanya.
"Maafkan saja, dia murid baru. Jangan beri poin kepadanya, dia belum mengetahui aturan sekolah ini." Kata ketua OSIS.
Salah satu anggota OSIS tampak tidak puas."Tapi—" Anggota OSIS itu hendak berbicara, namun ketua OSIS memotongnya.
"Biarkan saja." Tegas ketua OSIS tersebut, lalu kembali menatap Aurora. "Ikut aku ke ruang OSIS. Berkasmu belum diurus." Ia menatap Aurora dengan tatapan ramah.
"Apa maksudnya? Bukankah berkas itu diurus oleh guru? Jangan bermain-main." kata Aurora dengan bingung, sementara ketua OSIS tersenyum kecil.
"Para guru sedang sibuk, jadi aku yang akan membantu. Ayo, ikut aku." Kata ketua OSIS. Ia melangkah pergi diikuti Aurora yang sempat mengejek anggota OSIS tadi.
Di ruang OSIS, ketua OSIS meminta Aurora untuk duduk, dan Aurora langsung duduk di kursi yang disediakan. Ketua OSIS kemudian mengurus berkas Aurora selama empat jam, sementara Aurora duduk dengan bosan, menatap dinding.
Aurora duduk gelisah di ruang OSIS, menunggu ketua OSIS yang tengah sibuk mengurus berkas-berkasnya. Waktu berlalu begitu lambat, empat jam terasa seperti selamanya, seolah-olah dia telah melewatkan seluruh sesi pelajaran di kelasnya.
"Sebetulnya, apa yang kau kerjakan sampai memakan waktu empat jam? Aku sudah bosan menunggumu mengurus berkas itu." Kata Aurora, suaranya penuh dengan nada kesal. Matanya menatap tajam ke arah ketua OSIS.
Ketua OSIS, seorang gadis yang sedikit lebih tua darinya, hanya tersenyum. "Namaku Kalista, ketua OSIS dan juga kakak kelasmu." Ucapnya dengan santai, seolah-olah tidak terganggu oleh protes Aurora.
"Namamu Aurora, ya? Nama yang unik." Tambahnya sambil menatap Aurora dengan lebih intens.
"Berkasmu belum selesai. Aku tidak bisa menyerahkannya kepada gurumu dalam keadaan setengah jadi. Bisa saja aku dianggap tidak kompeten kalau berkasnya tidak rapi." Ujar Kalista dengan nada tenang, menjelaskan alasannya yang memakan waktu lama.
Aurora hanya bisa menghela napas, mencoba mengabaikan rasa frustrasi yang menggelayut di benaknya. Kalista terus berbicara sepanjang sisa waktu itu, mencoba mengajak Aurora berbincang meskipun tanggapannya sering kali hanya berupa anggukan atau gumaman pendek. Kalista bahkan memintanya untuk duduk di sampingnya, kemudian mulai menjelaskan beberapa detail masalah pada berkasnya.
Tiba-tiba, Kalista melakukan sesuatu yang tidak diduga-duga. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Aurora dan tanpa sengaja mengendus lehernya. Aurora terkejut, langsung bangkit dari kursinya dengan wajah memerah. Dia menyentuh lehernya, merasa sangat terganggu.
"Apa-apaan kau ini?!" Bentak Aurora, suaranya menggema di ruangan. Dia mundur beberapa langkah, menatap Kalista dengan campuran rasa marah dan kebingungan. Wajahnya yang memerah semakin kontras dengan keringat yang mulai muncul di leher dan dahinya.
Kalista tampak bingung. "Kenapa?" tanyanya, seolah tidak mengerti reaksi Aurora.
Dengan suara yang lebih rendah, tetapi penuh ketegangan, Aurora berkata. "Apa itu membuatku terangsang? Atau itu area sensitif mu??" Kalista, yang berdiri dan menatap Aurora dengan ekspresi penuh selidik, tampak tak terganggu oleh suasana tegang di antara mereka.
"Dasar ketua OSIS sialan." Batin Aurora sambil bergegas keluar dari ruang OSIS, menuju toilet terdekat.
Setelah berada di dalam toilet, Aurora memegang lehernya, mencoba menenangkan diri. Lehernya memang merupakan bagian sensitif, dan dia selalu merasa tidak nyaman jika ada yang menyentuh atau mendekatkan wajah ke area tersebut. Hal itu membuat pikirannya kacau dan perasaannya campur aduk.
Setelah beberapa menit menenangkan diri, Aurora keluar dari bilik toilet dan mencuci wajahnya. Namun, saat hendak keluar, tiba-tiba tangannya ditarik kembali ke dalam bilik toilet oleh seseorang. Dengan kaget, Aurora menyadari bahwa orang itu adalah Kalista.
Kalista mengunci Aurora di antara kedua tangannya, membuatnya tidak bisa bergerak. Aurora menatap Kalista dengan tatapan penuh rasa takut dan marah, namun tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang merayapi dirinya. Kalista, yang entah bagaimana bisa muncul di situ, menatap Aurora dengan intens.
"Kenapa kau kabur? Kau belum menjawab pertanyaanku, Aurora." Bisik Kalista dengan nada menggoda, mendekatkan wajahnya ke leher Aurora. Suara dan napasnya yang hangat membuat Aurora melemah, tidak mampu berkata apa-apa.
"Apa yang kau lakukan? Apa kau gila?!" teriak Aurora dengan suara yang lebih pelan namun penuh amarah.
Kalista hanya menatap Aurora tanpa kata, lalu kembali mendekatkan wajahnya ke leher Aurora. Hembusan napasnya yang hangat membuat Aurora semakin lemah, dan kali ini dia merasa hampir tidak mampu mengontrol perasaannya.
"Apa ini membuatmu terangsang? Apa ini bagian sensitifmu, Aurora?" Tanya Kalista dengan suara rendah dan menggoda.
Aurora akhirnya berhasil berkata, meski suaranya terdengar lemah. "Bisa kau hentikan?" Kalista perlahan menjauhkan wajahnya dan menatap Aurora. Nafas Aurora terengah-engah, seakan baru saja selesai berlari maraton.
"Bisa kusimpulkan itu memang bagian sensitifmu, ya, Aurora?" Tanya Kalista sambil tersenyum manis. Senyuman itu hanya membuat Aurora semakin kesal. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Aurora mendorong Kalista dan segera keluar dari bilik toilet tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Kalista hanya bisa terdiam, merenung apakah tindakannya tadi sudah kelewatan.
Kalista POV
Aku berjalan kembali ke ruang OSIS sambil memikirkan apa yang telah aku lakukan. Bagaimana bisa aku bertindak begitu tanpa berpikir? Betapa bodohnya aku.
Setelah sekolah usai, aku berjalan di parkiran bersama ketiga sahabatku, Nazel, Laren, dan Megan. Dari kejauhan, aku melihat Aurora yang tengah memasang helm dan menaiki motornya.
Dia melaju pergi tanpa menoleh ke arahku, entah dia sadar akan kehadiranku atau tidak. Sesampainya di rumah, aku langsung menyuruh satpam untuk memarkirkan mobilku dan segera menuju ke kamar.
Aku berbaring di atas kasur, tetapi pikiranku terus dipenuhi oleh aroma harum Aurora yang masih membekas. Sepertinya, aku harus meminta maaf padanya besok. Tindakanku mungkin sudah kelewatan, terutama karena Aurora baru saja mengenalku.Ya, besok aku akan meminta maaf.