Ayah

14 4 0
                                    

Sore itu aku tengah menikmati kesendirian di tengah banyaknya manusia, tak ayal aku akan bertemu dengannya, manusia pemotret senja, aku tak terlalu mengerti tentang itu.

Tapi yang ku tahu, lelaki manis yang menghampiriku itu telah membuat benteng di dalam diriku hancur lebur.

Aku heran, dengan melihatnya memotret senja saja sudah membuat hatiku berdebar, apalagi dia mengelus lembut kepalaku.

Dua hari setelah kejadian itu, aku terbayang-bayang oleh sosoknya, kapan aku akan bertemu dengannya lagi? Atau aku tak akan bertemu dengannya? Aku sering membuat spekulasi di dalam diriku, seolah aku takut kehilangan jejaknya.

Bunda juga sering melihatku tersenyum, yang membuatnya selalu menggoda ku dan mengatakan " ciee adek udah gede ya sekarang, udah tau cinta-cintaan" katanya.

Shit, kenapa bunda tahu? Darimana dia tahu? Aku tak mengerti diriku, aku tahu cinta, tapi aku tak tahu maknanya.

Ayah dan bunda itu defenisi manusia saling berbagi, apapun yang terjadi bunda akan selalu bercerita  dengan ayah, pun ayah begitu.

Ayah bilang " rara, siapa lelaki itu? " tanyanya, yang membuatku sedikit kesal dengan bunda.

Ku jawab " tidak ayah, dia hanya seorang fotografer, ga sengaja dia ketemu rara ".

" semua berawal dari ketidak sengajaan ra, cobalah bertemu dengannya lagi, jangan berspekulasi dengan dirimu sendiri " sarkas ayah, lalu dia pergi dengan cangkir kopi di tangannya.

Apakah aku harus bertemu dengan bara? Benarkah, aku harus memastikannya, tetapi bagaimana? Aku tak ada nomor telponya untuk sekedar mengajaknya bertemu sebentar.

🍭

Sudah 3 bulan semenjak ketidak sengajaan bertemu dengan lelaki pemotret senja, aku sekarang tengah memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper.

Yahh aku telah menyelesaikan masa putih abu, dan melanjutkan pendidikan di jenjang perkuliahan, banyak proses yang aku lalui sebelum di terima di salah satu universitas kotak sebelah dengan jurusan Psikologi.

Ayah, bunda, dan bang abi mengantarku ke apartament yang di belikan ayah khusus untukku di dekat kampus.

Setelah memasuki apartament, aku langsung memasuki kamar dan meletakkan pakaian-pakaian di dalam lemari.

Ayah, bunda dan bang abi, tidak berlama-lama di apartament, mereka mempunyai kesibukan sendiri, yang aku memang sudah terbiasa dengan itu.

Bunda selalu bilang " kita harus mandiri ra, cowo itu ga bisa di andalkan ".

Bunda itu wanita paling menginspirasi di hidupku, bunda itu defenisi wanita karir, ibu rumah tangga, dan istri yang baik, semuanya di garap bunda seorang.

Apakah aku bisa menjadi bunda? Kami tak kurang kasih sayang sedikitpun darinya.

Sekarang aku tengah memasak brownies kukus dan sup ayam untuk di makan malam ini.

Aroma wangi yang menguar dari brownies cokelat itu mengiurkanku, aku memotong setengah dan meletakkanya di dalam kotak persegi.

Aku berniat berbagi dengan tentangga selantaiku, yaa, sekedar berbasa-basi denganya, aku keluar dari apartament tanpa melepas aprone yang ku pakai.

Aku Memencet bel, namun tak kunjung di bukakan, mengulang lagipun tak di bukakan, percobaan terakhir pun tak di bukakan, aku berbalik hendak kembali, namun terkejutnya.

Lelaki dengan kisaran tinggi 177 di depannya menatap ku dengan sorot yang tak dapat kuartikan.

" selamat bertemu kembali nona " ucapnya yang membuatku menegang, lelaki ini masih membuat hatiku porak poranda meski sudah lama tak bertemu setelah kejadian 3 bulan yang lalu.

Aku mengangguk, dan dia mempersilahkanku masuk ke dalam apartamentnya, interior apartamentnya tak terlalu jauh berbeda dengan apartamentku.

Setelah mempersilahkanku duduk di sofa di depan televisi, lelaki itu kembali mengeluarkan suara seraknya.

" apa yang membawamu kesini nona? " tanyanya yang membuat jantungku berdegup kencang.

" sekedar berbagi dan berbasa-basi dengan tetangga " jawabku.

" kopi hitam atau cokelat panas? " tanyanya padaku.

" kopi hitam "

Dia menyuguhkanku secangkir kopi, dan duduk tepat di depanku.

" menurutmu tuhan tengah berencana apa dengan kita? " tanyaku pada bara.

" dia perencana paling terbaik, dan rencananya pasti akan terjadi dan terbaik untuk kita meta " jawab bara sembari menyeruput kopi hitam di tangannya.

" aku ingin memastikan sesuatu denganmu bara " ucapku serius padanya.

" silahkan meta, apapun untukmu " ujarnya sembari menatapku dengan senyum manis khas bara.

" menurutmu, cinta itu apa bara? "

" dengar meta, cinta itu sederhana, tapi maknanya terlalu luas jika ku jelaskan, aku juga melontarkan pertanyaan yang sama kepada ummi,

" cinta itu di saat orhan ingin kue yang barusan hampir ummi makan, tapi ummi kasih ke orhan, cinta itu saat orhan mau main futsal bareng teman tapi tidak jadi karna orhan mau ngantar ummi belanja, cinta itu pengorbanan orhan, selanjutnya carilah makna lain tentang cinta " ummi bilang begitu.

" cinta, pengorbanan? "

" ya meta, cinta itu perngorbanan "

" apa yang sudah kau korbankan demi cintamu bara? " tanyaku padanya.

" ku korbankan waktuku hanya untuk berbincang denganmu meta, kau pun begitu " jawabnya yang membuatku terkejut.

" kau mencintaiku? "

" bukan, tetapi aku sangat mencintaimu " jawabnya yang membuatku menggeleng tak percaya.

" tak ku temui kau di diri siapapun meta, kau sudah membuatku porak poranda tiga bulan ini " ucapnya padaku.

" apa aku harus percaya? " tanyaku ragu.

" katamu, kau ingin memastikan sesuatu bukan? Jadi, pastikan saja, ku tunggu kau di sini kapanpun yang kau mau " ujarnya padaku.

Setelah perbincangan kami tadi, aku sekarang telah berada di dalam apartamentku, tengah bertengkar dengan fikiranku sendiri, tentang bara, dan segala kemisteriusannya.

Aku beralih ke dalam kamar dan berbaring sembari memastikan apakah hatiku sudah mulai berlabuh?.

Pelabuhan...

Metafora Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang