i think the nineth

7 2 0
                                    

Selamat datang ♡!.
.
.
.
.
.
.
.

Gavin hanya diam seribu Bahasa, kepalanya menunduk menghiraukan tarikan nafasku yang terdengar gusar beberapa kali, akupun juga diam untuk memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk meredakan panas dalam diri karena terlalu emosi. Suhu dingin di dalam mobil gavin rasanya tidak mampu meredakan hawa panas di sekujur tubuhku.

Waktu sudah berlalu beberapa menit dan gavin belum juga mengucap sepatah katapun. Entah apa yang pria ini pikirkan dari keterdiamannya kini.

"jadi...aku yang nanya atau kamu punya sesuatu yang mau diomongin ?" aku hanya menoleh sekilas lalu Kembali menatap lurus kedepan.

Perkataanku tadi mencuri atensi gavin dari keterdiamannya. Ia berdehem sejenak lalu menetapkan atensinya padaku.

"vanya bentar lagi ulangtahun...aku Cuma mau nyiapin kado yang terbaik buat dia" ucap gavin pelan.

Aku tertawa remeh. "kado apa yang harganya puluhan juta ?. anak SMA mana yang kadoin pacarnya sampai puluhan juta ?".

Keterdiaman gavin membuatku lebih berani menyuarakan isi kepala tentang sifat konyolnya yang membuatku sedikit muak. "jangan kamu pikir aku gak tau ya vin. Kamu rela keluarin banyak uang, kerja partime terus ngelawan mama kamu. Itu demi vanya ?. kedepannya apa yang kamu harapin dari hubungan kamu sekarang yang saat ini aja dampaknya negative buat kamu ?".

Aku amati wajah gavin, setelah perkataan Panjang lebarku keluar ekspresinya terlihat mengeras. Sorot matanya tajam menatapku, aku pun balas menatap tajam kearahnya tak mau kalah, toh bukan salahku.

"mau jadi apapun ke depannya aku rasa itu bukan urusan kamu. Em, aku rasa kamu harus berhenti banyak ikut campur urusanku lagi. Kamu gak mau fokus sama hidup kamu dan biarin aku ambil keputusan buat hidupku".

Aku tersentak, batinku cukup terguncang mendengar ucapan pria yang tengah menunduk dihadapanku ini. Mataku berembun bersiap menjatuhkan bulirnya, aku mencoba menenangkan diri, menggigit bibirku untuk menahan lonjakan emosi yang bisa saja meledak. Memberikan kekuatan berupa kata-kata positif berharap itu menjadi sugesti di dalam otak. Namun, tentu saja tidak mudah. Ini pertama kalinya gavin mengucap hal itu.

Gavin sekarang sedang menjadi batu, itu berarti aku tidak boleh mengikuti arus emosinya dengan ikut menjadi batu. Batu jika dilawan dengan batu maka akan menimbulkan percikan api dan jika suasana mendukung api akan memancing sesuatu yang dapat membuat kobaran. Aku yakin perkataan itu keluar bukan dari hati terdalam gavin, itu hanya emosi sekilas pria ini.

"pantang buat kamu nyakitin hati mama apalagi sampai bikin dia nangis dan terserah kamu mau beliin hadiah semahal apapun ke pacar kamu toh itu uang kamu kan, kamu banyak uang jadi ya terserah. Papa kamu masih sehat juga buat kerja dan ngehasilin uang yang banyak biar bisa kamu pakai sesuka hati kamu. Jadi, lakuin semua yang kamu mau. Cari semua yang kamu anggap bisa nyenengin diri kamu. Cuma satu hal yang perlu kamu tau, ada Bahagia yang sifatnya sementara dan yang bertahan lama. Aku harap pilihan kamu bukan yang pertama atau kamu akan dibuat nangis darah setelahnya" aku mencoba mengatakannya dengan setenang mungkin tanpa melibatkan emosi lain yang mencoba mendobrak pertahanan diriku sejak tadi.

Aku menghela nafas, mungkin kalimat ini yang menjadi penutup pertemuanku dengan gavin hari ini. "ternyata selama ini aku terlalu ngatur ya ?. maaf, seandainya kamu orang lain aku pasti memilih untuk gak peduli. Take your time, tenangin diri kamu. Kamu perlu kepala yang dingin buat berpikir" aku menepuk bahu gavin sebelum keluar dari mobil miliknya dan pergi.

Sepertinya harus naik bus deh pulangnya. Padahal ekpetasiku setelah bicara dari hati ke hati dengan gavin inginnya melipir sebentar membeli asupan untuk perut sebelum minta nebeng pulang. Tapi yang Namanya hidup kadang ekspetasi tidak sejalan dengan eksekusi.

I Believe When I BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang