Warm Snowflakes

119 2 0
                                    

Seseorang yang bukan dirimu memelukku.

Seseorang yang bukan diriku memelukmu.

Kata-kata yang belum aku katakan padamu tetap di mulutku.

Cinta yang tidak seluruhnya kuberikan tetap dalam pikiranku.

Mungkin kau masih ada di dalam diriku...

Berhenti bermain-main di pikiranku.

Biarkan aku merasakan cinta yang lain.

Biarkan aku bahagia meski cerita bahagia ini berjalan tanpamu.

-ooo-

               Tanganku bergenggaman dengan sebuah tangan yang harusnya hangat tapi terasa dingin menyentuh buku-buku jariku. Dia memberikanku rasa aman dengan kehangatannya yang tidak dapat kurasakan. Rasanya selalu seperti ini. Aku tidak pernah merasakan hangatnya dirinya, sekalipun dia tidak pernah memperlakukanku dengan sikap dingin. Aku berpura-pura memandangnya sedangkan hatiku berpaling, hatiku menutup matanya dan tidak ingin merasakan kehadirannya.

Kepalaku menengadah ke atas. Sebuah benda putih dingin jatuh, menyentuh kulitku lalu kemudian mencair. Butiran-butiran putih yang lembut tapi dingin itu terus berjatuhan, menyentuh kulit wajahku. Aneh! Dia mencair di atas dinginnya kulitku. Apa aku tidak cukup dingin untuk tetap membuat wujudnya seperti semula?

“Wah, turun salju.” Ucap seseorang yang berdiri di sampingku sambil menggenggam tanganku. “Apa kau merasa dingin?”

Aku menggeleng. Aku sudah terbiasa dengan dingin, kenapa aku harus merasakan kedinginan? Hatiku dingin tapi kenapa orang ini masih saja menyelimutiku dengan sikap hangatnya? Apa dia cukup hangat untuk membuatku mencair?

Salju pertama di musim salju tahun ini. Ah...lagi, aku mengingatnya. Dia yang masih bersarang di otakku seakan enggan pergi dari sana walaupun aku telah membuka pintu sarangnya lebar-lebar. Walau kenyataannya kami tidak bersama lagi, tapi bayangannya masih mengikutiku. Dia tidak sehangat sosok yang sedang berdiri di sampingku ini. Dia dingin. Tapi, aku masih bisa merasakan hangatnya tangannya saat menggenggam tanganku. Dia terus bergelayut di pikiranku padahal sudah delapan tahun semenjak ia pergi.

Lucu saat kami membayangkan akan hidup bersama selamanya. Di kehidupan itu, hanya aku dan dia sebagai tokoh utamanya. Kenyataannya sekarang, kami mempunyai hidup yang berbeda. Dia, entah di mana, mungkin sudah melupakanku dan sedang menggenggam tangan orang lain. Dia sudah punya kehidupan sendiri.

Sama seperti aku.

Aku sudah punya kehidupan sendiri dan sedang menggenggam tangan orang lain. Tapi bedanya, aku tidak melupakannya. Atau lebih tepatnya, aku tidak mencoba untuk melupakannya. Aku tetap memikirkannya sedangkan aku tahu dia mundur secara perlahan untuk melupakanku. Aku masih saja berdiri sedangkan dia sedang berlari meninggalkanku sendiri, terpuruk dengan kenangan manis milik kami.

Bodoh.

 “Tanganmu dingin.” Lanjutnya. Ia semakin menggenggam erat tanganku lalu memasukkannya ke dalam kantong coat miliknya. Tangan kami saling berpagutan menjadi satu di dalam hangatnya kantong itu. Dia berjalan di sampingku, mengiringi langkahku menyusuri jalan setapak kecil menuju sebuah restoran kecil yang hangat di ujung jalan.

Dia menarik kursi untukku saat kami sudah sampai di restoran bergaya country itu. Si pemilik restoran menyalakan perapian yang membuat pengunjungnya tetap merasakan hangat sedangkan salju di luar semakin menumpuk.

“Pesan seperti biasa.” Katanya lembut pada pelayan bernama Walter itu. Kami sudah cukup sering ke sini dan memesan menu yang sama. Walter tahu itu. Dia tersenyum pada kami sebelum akhirnya dia meninggalkan meja kami menuju meja pengunjung yang lain.

“Kenapa diam saja daritadi? Kau sakit?” tanyanya.

Aku menggeleng, lagi.

“Terus? Katakan padaku apa yang tidak membuatmu nyaman.”

Yang membuatku tidak nyaman adalah kau. Aku sedang merasa bersalah padamu. Kau sudah bersikap baik dan hangat padaku sedangkan sebaliknya aku terus saja bersikap dingin padamu dan terus membohongimu. Kau pasti sudah tahu apa yang mengganggu hatiku saat ini, kau tahu bahwa aku masih mencintai orang itu, tapi kenapa kau terus bersikap seperti ini padaku? Kenapa kau terus memaksa dirimu bertahan di sini untuk membuatku berpaling melihatmu?

Aku menggeleng, lagi dan lagi. Kau kembali menyentuh punggung tanganku. Rasanya dingin, seperti biasa. Kupandang wajahmu yang sedang memasang senyum tulus. “Aku akan terus berusaha agar kau melihatku.”

Aku tertegun mendengar perkataanmu. Ini sudah ribuan kali kau katakan. Pipiku selalu bersemu merah tiap kau berkata seperti itu dan juga selalu merasa berdosa. Kau tidak akan berhenti mengatakan itu sampai aku benar-benar terjerat dirimu, kan?

“Apa kau tidak lelah?” tanyaku. “Kau tidak lelah...menungguku?”

Kau tersenyum, lagi. Senyummu selalu setenang itu, selalu selembut itu. Senyummu terlihat lebih manis dan tulus untukku. Tidak sedingin senyum milik ‘dia’. “Kenapa aku harus lelah menunggu sementara kau belum kudapatkan?”

Kau pasti lelah, kan? Kenapa kau tidak katakan saja kalau kau lelah? Aku pasti telah membuatmu berjuang cukup keras sampai saat ini. Kenapa tidak kau katakan saja kalau kau lelah? Kenapa kau terus berpura-pura tersenyum seakan kau baik-baik saja? Ah...aku mengerti, karena aku juga begitu.

Ini salahku. Membuatmu menunggu membuka hatiku, maafkan aku, Kenapa tidak kuakhiri saja? Penantianku yang sia-sia ini...kenapa tidak kucoba untuk melupakannya dan menerimamu? Kenapa aku masih tetap bermain dengan piano yang rusak sedangkan piano yang baru siap memainkan nada-nada yang tidak kalah indahnya dengan piano lama itu?

Mungkin ini waktunya aku membuka hatiku, untukmu.

“Maafkan aku membuatmu menunggu lama.” Lirihku dan membelai punggung tangannya. Kali ini aku benar-benar merasakan tangannya yang hangat, lebih hangat dari tangan ‘dia’. “Aku akan melepaskannya.” Lanjutku. Tidak terasa kedua ujung bibirku tertarik membentuk senyuman untuknya, bukan senyuman pura-pura. “Kau tidak akan mengecewakanku seperti ‘dia’, kan?”

“Aku tidak akan membuatmu kecewa, tapi aku akan membuatmu sukar melupakanku, lebih susah daripada melupakan dia.” Jawabnya penuh percaya diri. Aku suka semangatnya.

“Baiklah, ayo kita coba.”

Aku melempar pandanganku ke luar jendela. Salju terus turun, membuat sedikit embun pada jendela restoran. Di luar memang dingin, tapi tidak sedingin hatiku lagi. Tangannya yang hangat kembali membuatku menghangat. Rasanya kepingan salju yang dingin akan menjadi hangat.

“Inhyun-ah,”

“Hm?”

“Aku mencintaimu.”

Aku diam. Kueratkan genggaman tangan kami. Kau tahu, aku memang belum bisa menjawabnya sekarang karena aku belum sampai di titik di mana aku bisa mengucapkan itu padamu. Yang sedang kurasakan sekarang adalah rasa nyaman milikmu. Buatlah rasa nyamanku berkembang hingga aku tidak bisa melepasmu...

‘Aku juga mencintaimu, Kang Joon-ah.”

Dan hingga suatu hari aku akan mengatakan itu padamu.

-ooo-

Warm SnowflakesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang