00

65 6 9
                                    

Bising. Derap langkah, dering telfon, teriakan salah satu wanita yang ia perkirakan sudah berkepala 3 saat mengetahui adanya hambatan pencairan dana asuransi, dan suara mesin penghancur kertas yang ikut meramaikan suasana-mendengung jadi satu- menusuk rungu Moka yang membuat perutnya mual.

3 hari lagi, 3 hari lagi resign, rapalnya meredakan sakit kepala ketika lift tak juga kunjung terbuka agar ia cepat bersembunyi dari berbagai macam suara yang memekakkan telinga.

5...

4...

3...

2...

"Oh ayolah, hanya satu lagi."

1, tingg...

"Akhirnya." Pintu lift terbuka.

Moka tergesa membawa langkahnya masuk, membelah kerumunan yang keluar seakan tuli bahwa sumpah serapah terlempar padanya yang tak sabaran. Dan tentu sosok empuk bagi seorang manusia pongah yang memakai seragam formal ketika melihat dirinya yang sialan rendah ini begitu tak tau dirinya menerobos kumpulan orang-orang yang strata sosialnya ada di bagian atas.

"SABAR SIALAN! Ingin cari masalah denganku? Hm? Manusia rendah sepertimu harusnya bukan disini! sudahlah bau, kusam, kotor, tak punya etika, tak tau diri pula!"

Moka menundukkan kepalanya, bukan sebab takut ataupun merasa bersalah telah menyentuh kemeja mahal yang pria botak itu kenakan atau merasa bersalah sebab memang tak tau diri mendorong kerumunan yang ingin keluar tak sabaran—hanya saja ia tak ingin menambah masalah sebab tertawa melihat cahaya yang terpantul di kepala pria yang licit tersebut.

"Maaf, saya minta maaf," ucapnya untuk menyelesaikan masalah, sebab telinganya semakin sakit ketika semua suara tadi kini ditambah dengan bising teriak mememuakkan.

Untungnya kalimat tersebut tak membuat masalahnya semakin rumit, pria botak tadi tak melanjutkan deretan kalimat penuh kekesalan sebab satu dering telfon yang mengganggu.

Begitu pikirnya selama beberapa sekon, sebelum...

"Moka Tsura," ejanya melihat tag name yang menggantung di saku baju milik Moka, "ke kantor saya jam 12 siang ini, " Tunjuk si botak sebelum berbalik, "urusan kita belum selesai," lalu setengah berlari pria tadi meninggalkan pintu keluar dan menyambut tamu yang agaknya penting. Sial, ternyata masih ingin diperpanjang.

Lantas, Moka yang sudah dilanda muak akan manusia—termasuk dirinya sendiri—menekan buru-buru tombol 04 dengan rahangnya yang mengetat tanpa berniat untuk menunggu 2 orang yang berlari mengejar ketertinggalan dengan wajah yang memelas berharap Moka berbaik hati menunggu sedikit lebih lama.

Persetan.

Moka tak peduli, hingga pintu lift perlahan menutup. Hal terakhir yang Moka lihat dari celah yang semakin mengecil adalah: wajah kesal 2 orang tadi.

Lift total tertutup, Moka membuang nafas lega. Tempat ini sedikit lebih tenang, ya... Setidaknya ia tak mendengar mesin penghancur kertas dalam beberapa detik kedepan atau omelan atasan yang menjengkelkan.

Namun, bukannya detik, bahkan ketika menemui menit yang cukup lama, lift tak juga kunjung berhenti di lantai 4 yang seharusnya sudah tiba. Seakan, ruang besi ini terus naik kendati angka pada bagian atas tak bergerak sama sekali.

"Aneh..." Ucapnya berkacak pinggang, melihat tak jua ada bau pergerakan berhenti dari ruang besi ini.

"Ck, kenapa lagi sih," Moka menekan banyak tombol acak, mulai panik ketika laju lift semakin cepat, seperti akan terbang jika ia tak keluar dalam waktu yang dekat.

"Sial," semua tombol malfungsi.

Lantas rongga dadanya mulai menyempit, panik semakin mencekik keberaniannya hingga perlahan bulir peluh dingin mulai menetes dari pelipisnya, merambat ke pipi hingga satu bulir jatuh tepat di kakinya. Dan kini Moka merasa, pengap.

Lampu yang semua nyalang menyala, perlahan redup, mati, kemudian menyala kembali dengan cahaya yang lebih redup, semakin redup, dan total mati dengan lift terasa semakin cepat melaju.

Di tengah-tengah gelap ketika rongga dadanya semakin menyempit dan kesulitan untuk meraup oksigen yang semakin pelit, Moka memaksa tangan kanannya merogoh ponsel, memijit deretan angka acak untuk membuka sandi sebelum menyadari bahwa sinyal tak berfungsi disini kala Lift terasa bergetar hebat.

Dadanya bak dihimpit puluhan ton besi, sesak, sakit. Maka yang bisa Moka lakukan adalah menepi, menyudut, menempelkan punggunganya pada salah satu sisi dinding yang mengahadap pintu dengan merapal doa agar diberi keselamatan oleh Tuhan kendati ia benci dengan dirinya sendiri.

Yang kemudian Moka merasa tubuhnya semakin mengawang, ada diambang kesadaran yang hampir padam lalu perlahan matanya mulai berat, dipaksa terpejam oleh tubuhnya yang tumbang, hingga sesaat sebelum matanya total menutup, Moka melihat cahaya kuning diatas sana.

Cahaya yang ia pikir akan membawanya pada sisi Tuhan, cahaya yang ia pikir akan membuat tubuhnya hancur dihimpit ruang besi ini atau hancur dibawa terbang lalu jatuh ke tanah dengan hentakan hebat lalu mati berantakan.

Ia pikir begitu.

Namun tidak, cahaya ini justru membawanya pada kengerian yang tak pernah ia impikan. Kengerian yang...

Gila.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Halo temen-temen, Sop disini.

Backrooms adalah karya pertamaku di platform ini, dan 100% FIKSI.

Mohon dukungannya ya! Vote dan comment yang kalian kasih akan sangat berarti untuk aku.

Hope you enjoyed!<3

BackroomsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang