🍒 BAB 7: Datang Kembali

98 18 1
                                    

"Naomi tidak ada, kami terakhir kali berkomunikasi satu minggu lalu," kata Jaden setelah mendengarkan semua cerita Magnus.

"Kupikir dia datang padamu," ungkap Magnus terlihat kecewa dan sedih.

"Saya sungguh tidak tahu," jawab Jaden terlihat bingung dan ikut dibuat khawatir.

"Jaden, apa kau bisa membantuku mencari Naomi?" tanya Magnus terdengar putus asa. "Tidak perlu membawanya pulang, hanya perlu memastikan bahwa Naomi baik-baik saja."

Jaden terdiam dalam kebingungan, sulit untuk Jaden menolak permintaan Magnus apalagi Naomi juga sangat berarti untuknya. "Paman, saya sedang di promosikan menjadi direktur, untuk waktu dekat saya tidak bisa meminta cuti," jawab Jaden dengan berat hati.

Magnus menghela napasnya dengan kesulitan. "Baiklah, tidak apa-apa," ujar Magnus dengan senyuman memaksakan.

"Paman" Jaden mendorong segelas air agar Magnus bisa sedikit lebih tenang. Usai Magnus kembali terlihat tenang, Jadenpun kembali melanjutkan ucapannya. "Mengapa Naomi pergi dari rumah?"

Magnus tersenyum pahit, kesedihan dan rasa bersalah terlukis jelas di wajahnya. "Kau tahu kan masalah mall yang saat ini berada di ambang kehancuran. Aku berniat menikahkan Naomi dengan seseorang yang sangat aku percaya, Naomi mendengarkan rencana itu ketika aku berbicara dengan Cassandra. Naomi pergi tanpa mendengarkan penjelasannya yang lengkap dariku. Karena hal itulah Naomi pergi."

Tangan Jaden terkepal kuat di atas meja, Jaden menyembunyikan ekspresi kagetnya begitu mengetahui bahwa Naomi akan melakukan pernikahan bisnis.

"Paman, saya akan berusaha mencari Naomi melalui teman-teman saya."

"Terima kasih Jaden."

***

Hari mulai gelap, Naomi keluar dari klinik seorang diri, kakinya terpincang-pincang memakai kruk, satu tangannya menekuk tidak dapat di gunakan.

Beberapa orang yang berada di sekitarnya sempat mendekati Naomi, mereka tampak kasihan melihat betapa menyedihkannya Naomi yang berjalan terpincang-pincang harus membawa ransel dan koper, dengan berbaik hati mereka membantu membawakan koper dan ransel Naomi menuju sisi jalan.

Suara helaan napas berat terdengar dari mulut Naomi.

Naomi terdiam bingung di antara keramaian orang, perasaan Naomi berkecamuk tidak menentu hingga sulit di jabarkan seperti apa. Naomi takut, sedih, menyesal, kecewa, dan lapar.

Ya, Naomi sangat lapar karena sejak tadi belum memakan apapun.

Sekali lagi helaan napas berat terdengar dari mulut gadis itu, Naomi sungguh tahu bahwa pergi keluar dari rumah seorang diri begitu sesulit ini. Hati Naomi yang rapuh terasa seperti terkoyak karena kesedihan dan perasaan kecewa yang tertuju kepada dirinya sendiri.

Mengapa aku harus selemah ini? Mengapa aku dapat mengatasi masalahku sendiri? Mengapa aku lemah dan mudah tertipu?

Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang muncul di kepala Naomi membuat dadanya kian sesak karena harus menerima kenyataan seberapa tidak berdayanya dia.

Napas Naomi mulai tersenggal dan tanpa sadar air mata kembali terjatuh membasahi pipinya. "Sialan, hari sialan! Terkutuk sudah, pria brengsek yang merampokku dan menabrakku, aku benci North Emit."

Naomi memaki dalam tangisan, mengutuki betapa jahatnya Jamal yang sudah menipu dan mencuri kopernya, mengutuk betapa berhati dinginnya orang yang sudah menabraknya. Beberapa kali Naomi mengusap air matanya yang tidak berhenti jatuh.

Dengan kaki terseok-seok Naomi berjalan, baru beberapa langkah dia pergi, rasanya kini tubuhya tersiksa dan memaksa Naomi harus duduk di bangku pinggiran jalan.

LOVE AND BUSINESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang