Part 2

20 9 3
                                    

Pagi itu harusnya cerah, tapi mendung datang seolah menertawakan ramalan cuaca tadi malam. Tas ransel berisi pakaian sudah siap, tapi Mama berdiri di depan pintu, menghalangi kepergianku.

"Kamu udah berani melawan mama? Enggak peduli lagi sama mama?"

"Mama yang enggak peduli!" jeritku. Hari yang buruk. Hujan turun deras beberapa detik setelah kami sama-sama terdiam. "Sudahlah!" Aku melempar ransel ke dinding di samping meja belajar, lalu menghambur ke ranjang—membenamkan wajah. Mama jahat!

"Anak ini!" Mama terbatuk sekali, lalu sunyi.

Rasa kesal membuncah dalam dada, apalagi ketika ponsel berdering, chat dari yang lain berbondong datang untuk menanyai kehadiranku. Aku membalasnya dengan satu kata, 'Tidak!', lalu mematikannya.

"Lengka, antar adikmu ke sekolah, ya!" seruan Mama dari luar, memperburuk segalanya. Aku diam saja, tidak berniat sedikit pun untuk menurut. Akan tetapi, Mama datang dan menarikku untuk bangkit. "Kamu dengar tidak?"

"Enggak! Suruh dia pergi sendiri!" bentakku, menarik kasar tangan yang dicengkeram Mama, membuatnya oleng dan terhuyung ke belakang. Hampir terjatuh jika tidak berpegangan pada sandaran kursi belajar.

"Lengka!" Bibir Mama yang pucat, bergetar kala menghardikku. "Kalau kamu memang benar-benar ingin pergi, maka pergilah! Pergi sesuka kamu, tidak usah anggap ada mama di sini!"

Itu ancaman? Atau tantangan? Persetan. Aku benar-benar berdiri, mengambil ransel hitam yang tergeletak di lantai, lalu lari keluar. Meninggalkan rumah dengan satu bantingan keras pada pintu.

Dapat kulihat Alena berdiri di teras dengan atribut lengkap—siap untuk ke sekolah. Ia melangkah mengikuti, berpikir aku akan mengantarnya, tapi tidak. "Jangan ikuti aku!"

"Terus Lena ke sekolah sama siapa?"

Pertanyaannya membuat darahku semakin mendidih. "Pergi saja sendiri. Jangan manja!"

Aku lari meninggalkan rumah. Tidak peduli pada semua yang tertinggal di belakang. Entah mau ke mana, yang terpenting pergi jauh. Hingga langkah kaki membawaku ke ladang tempat kami dulu mencari kunang-kunang.

Napas rasanya tersengal sebab setengah berlari. Udara lembab pun tak sanggup menangkal peluh yang berbulir di pelipis.

Di depan sana, hamparan padang rumput dan bunga liar memanjakan mata. Tidak ada yang berubah, tempat itu masih sama seperti dulu. Sepi, hijau, dan menenangkan.

Aku terhenyak di tepi jalan. Kepala tertunduk, bertumpu pada lutut. Sejak Papa meninggal, Mama mulai berubah. Ah, bukan. Semua dimulai sejak Mama menikah lagi dengan laki-laki itu. Perhatian yang seharusnya hanya untukku, kini terbagi dan tersisa sedikit. Seperti hari ini ketika Mama lebih memikirkan Alena ketimbang diriku.

Memuakkan!

Kunang-kunangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang