Pulang kepada yang paling

3 0 0
                                    

Hampir 2 minggu, aku tidak menemuinya sebab banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Terlebih waktu istirahat yang sedikit, hanya ku habiskan untuk merebahkan tubuh yang tak bertenaga. Hari ini, aku menemuinya di kedai tempat biasanya ia bekerja. Dari kejauhan, terlihat banyak pelanggan yang mengantre. Ah! Sepertinya dia masih sibuk. Namun aku tetap pergi ke sana, karena aku sangat merindukannya.

Pintu kedai terbuka, mataku dan matanya bertemu. Aku tersenyum.

"Selamat datang," Sapanya membalas senyumku, lalu menyajikan kopi milik pelanggan lain. Aku segera memilih tempat duduk, ia sudah hafal apa yang akan aku pesan. Hot vanilla latte. Kemudian, aku mengeluarkan ponsel serta earphone ku.

Seperti biasa, aku menikmati lagu favoritku sembari menatap luar jendela, banyak manusia berlalu lalang mengerjakan tugasnya masing-masing. "Lama tak berjumpa." Ujarnya setelah meletakkan minumanku dan melepaskan salah satu earphone yang ku pakai. Aku menoleh, lalu tersenyum simpul.

"Merindukanku, Tuan?" Tanyaku terkekeh

Ia kini duduk berhadapan denganku. "Tentu saja, aku rindu bercerita denganmu. Bagaimana hari-harimu?"

"Cukup melelahkan, tapi juga menyenangkan." Sahutku tak bisa melepaskan senyum yang melekat di bibirku. Ia justru mengernyitkan dahi aneh.

"Menyenangkan? Sepertinya kau sedang kasmaran pada seseorang, ya?" Aku sontak melotot, bagaimana bisa ia tahu. Apakah aku terlalu jelas memperlihatkannya? Aku segera menggeleng cepat. Kemudian, aku berbalik bertanya kepadanya mengenai hubungan percintaannya. Ia tersenyum lima jari, senyumannya begitu indah namun terkesan misterius. Rasa penasaranku semakin menggebu, apa saja yang terjadi padanya selama 2 minggu ini? Meskipun kami bertukar pesan setiap hari, namun kami sepakat untuk bertemu jika ingin menceritakan hal yang penting.

"Dia menerimaku, Kay." Sontak, aku terdiam membisu.

"Tasya menerimaku menjadi kekasihnya." Imbuhnya sangat bersemangat, sedangkan raut wajahku langsung berubah drastis. Sepertinya, ia peka dengan perubahan tersebut. "Kenapa wajahmu cemberut seperti itu? Apa kau tidak senang sahabatmu tidak menjomblo lagi?"

Aku tersadar dari lamunanku. "tentu saja aku ikut bahagia." Sahutku tersenyum terpaksa. Baiklah, mungkin Tuhan mengutusku hanya cukup untuk menjadi sahabatnya.

Menit selanjutnya, beberapa pelanggan berhamburan masuk dan saat itu juga aku berpamitan untuk pulang pada sahabatku, Ananta Renandra Putra. Bahkan di perjalanan pulang pun, aku masih melamun dan mengutuk diriku sendiri. Aku bilang, bahagianya juga bahagiaku. Walaupun bahagianya bukan denganku. Lucu ya, bagaimana mungkin cinta bisa menjadikan orang semunafik ini. Menebar kata ikhlas, tapi diriku sendiri masih menangisinya tiap malam. Jadi, sudah berapa kali logikaku mati dibunuh oleh perasaan?

***


Kini hampir satu bulan Nanta menjadi kekasih Tasya. Waktu satu bulan itu juga aku pakai untuk menghapus bayangan Nanta dari otakku. Meskipun tidak berakhir menjadi kekasih, setidaknya aku masih memiliki label sebagai sahabatnya. Jika selama Nanta bahagia, aku rela mengorbankan apapun yang ku miliki, termasuk hati dan perasaan.

Sekarang aku terkesan menghindari Nanta, aku merasa sedikit menjadi sosok yang tertutup. Alasanku menghindar bermacam-macam. Mulai dari fokus terhadap pekerjaanku hingga alasan untuk tidak menjadi pengganggu hubungan Nanta dan Tasya. Hari ini aku sangat sibuk melakukan survei dengan pelanggan, namun hal tak terduga terjadi. Aku menerima telepon dari rumah sakit. Nanta mengalami kecelakaan cukup parah. Tanpa basa-basi, aku segera meminta maaf pada pelanggan dan menyuruh temanku untuk menggantikan pekerjaanku beberapa waktu. Lalu dengan berat hati, aku menekan nomor Tasya, kekasih Nanta. Setelah sekian kali aku menghubunginya, dia mengangkat teleponku.

Kisah Klasik RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang