Jarum jam terus berputar, detakannya menemaniku yang termenung di atas kasur dengan memeluk boneka bambi yang ayah berikan tahun lalu. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari, dan aku masih terjaga memandangi langit-langit kamar yang gelap gulita.
Sudah hampir satu jam aku terdiam, menunggu kantuk yang tak kunjung datang. Terkadang aku berpikir, apakah aku siluman kelelawar? Bukan tanpa alasan, hampir setiap malam aku tidak bisa tidur, berbeda dengan siang hari, rasa kantukku sering sekali datang.
Memikirkan cara untuk tidur, aku mulai beranjak dari kasurku dan mengambil buku harian yang ku tulis sejak aku duduk di bangku kelas satu SMA.
Aku menyalakan lampu kamarku, kembali duduk di atas kasur dan mulai membuka buku harianku dari halaman pertama, tak terasa sudah banyak sekali hal yang ku tulis di sana. Sesekali aku tersenyum dan tertawa.
"Bisa bisa, yuk bisa ngantuk!"
Aku membaca semua hal yang ku tulis di buku ini, sembari menunggu kantukku tiba. Namun, saat membalikkan halaman berikutnya, senyum yang terukir di wajahku seketika tertahan saat membaca judul yang tertera di sana.
***
"Seira bangun, udah pagi, ayok mandi!"
Seperti biasa, alarm pagi yang selalu berhasil membuat mataku terbuka, teriakkan ibu yang memekakkan telinga.
"Iyaa buu," sahutku tak kalah nyaring.
Aku mengubah posisiku menjadi duduk, masih di atas kasur dengan sesekali menguap dan menggelengkan kepala guna mengusir rasa kantukku.
Kakiku mulai bergerak, melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan menggosok gigi. Setelahnya, ya rutinitas remaja perempuan, bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Tak lupa sebelum ke bawah aku merapikan kasur ku terlebih dahulu.
"Pagi ayah, bu." Aku menyapa kedua orang tuaku yang sudah terduduk di kursi meja makan, dengan ibu yang masih mengolesi selai ke roti dan ayah yang membaca koran sambil sesekali menyeruput teh panasnya.
"Pagi juga."
"Kak Elin belum turun, bu?" tanyaku.
"Belum, padahal udah dipanggil dari tadi."
"Kebiasaan, pasti make up dulu, padahal minggu lalu udah ke razia sama Pak Asha karena pake make up tebel," aduku.
"Emang kakakmu itu keras kepala, gabisa dibilangin," ungkap ibu yang sama geramnya denganku.
"Pagi semuanyaa!"
Panjang umur, orang yang dibicarakan akhirnya turun. Dia kak Elin, kakak perempuanku yang keras kepala dan juga cerewet. Dia berjalan tergesa ke arah meja makan, menarik kursi yang berada tepat di sampingku.
"Ra, katanya di kelas kamu ada murid pindahan?" Baru duduk, tapi kak Elin sudah mencecar ku dengan pertanyaan yang aku juga tidak tahu jika ada murid pindahan di kelasku.
"Nggak tau, Seira gak buka HP sejak semalam."
"Yah, kudet kamu, Ra."
"Lagian kakak tau dari mana ada murid pindahan? Belum tentu masuk ke kelas Seira 'kan."
Kak Elin semakin mendekatkan kursinya ke arah ku. "Kakak tau dari Yaya, katanya dia cowok, ganteng lagi, Ra."
"Ya terus, apa hubungannya?" tanyaku.
Lagi pula kehadiran sosok murid pindahan itu tak memengaruhiku, mau ada tidaknya dia aku tetap menjalankan keseharian ku seperti biasa, tanpa ada yang berubah.
"Seira, gak peka banget sih kamu, deketin kek, atau kenalin kakak sama dia."
Aku merotasikan mataku malas, entahlah, jika perihal pemuda kak Elin selalu terdepan, membuatku terkadang ingin menghempasnya ke lautan lepas, sungguh memalukan.
"Yang bener aja kak, masa iya cewek deketin cowok." dengusku.
"Emang kenapa? Zaman sekarang tuh ga pandang gender, mau cewek mau cowok ya trobos aja," ucap Kak Elin dengan bangga diiringi tawa yang membuatku dan ibu saling berpandangan.
"Sudah sudah, di makan sarapannya, nanti kalian telat lagi." Ibu melerai dan menyodorkan dua piring berisi roti dengan selai kacang dan strawberry untukku dan kak Elin.
Kami pun mulai menghabiskan sarapan kami sebelum pukul tujuh, karena aku dan kak Elin harus berangkat ke sekolah pukul enam lebih tiga puluh lima menit, mengetahui jarak dari rumah ke sekolah bisa di bilang cukup jauh dan memerlukan waktu yang lumayan.
Selesai makan, aku segera meminum susu yang sudah disediakan ibu, tak lupa berpamitan sebelum aku dan kak Elin berangkat ke sekolah.
***
Kami tiba di sekolah pukul tujuh kurang lima menit, dapat dihitung bahwa jarak tempuh dari rumah ke sekolah membutuhkan waktu dua puluh menit, itu tidak sebentar. Memang, aku dan kak Elin sekolah di SMA yang sama, tepatnya SMA Bina Bangsa. Usiaku dan kak Elin hanya terpaut satu tahun saja, tak sedikit orang menganggap kami seperti teman sebaya bahkan anak kembar karena kemana pun kami selalu bersama, padahal kenyataannya kak Elin lebih tua.
Aku berjalan santai dengan menenteng paper bag berisi makan siang yang disiapkan ibu, sedangkan kak Elin mungkin sudah berada di kelasnya.
Saat aku melangkah masuk ke kelasku, suasana kelas tampak kosong, tidak ada siapa-siapa. Tumben sekali, padahal seingat ku pagi-pagi selalu ramai bergosip di bangku Asti.
"Kemana semua orang," gumamku merasa bingung. Aku segera menyimpan tas ranselku dan bekal yang kubawa. Kakiku mulai berjalan kembali ke luar untuk mencari teman-temanku, mataku menyusuri lorong kelas sebelas, namun sepi tak ada siapapun.
Saat hendak naik ke lantai atas, tiba-tiba suara seseorang membuatku berbalik.
"Seira!"
Suaranya tampak asing, aku mengerutkan dahiku mencoba mengingat suara siapa itu. Namun sepertinya aku memang tidak mengenalnya.
"Lo dipanggil Zaya di lapangan," ucap pria yang memanggilku tadi.
"Zaya?" ulangku, memastikan.
"Iya, orang-orang pada kumpul di lapangan," ucap pria itu, lagi.
"Ngapain pagi-pagi pada di lapangan?" Pantas saja orang-orang di kelasku tidak ada, ternyata semua orang berkumpul di lapangan.
Aku langsung bergegas berlari menuju ke lapangan, dan benar saja saat tepat berada di lapang, banyak sekali orang-orang yang berkumpul bahkan mengerumuni sesuatu yang aku juga tidak tahu mereka sedang melihat apa.
Tak lama terdengar suara semua orang menyerukan kata "Terima" dengan gembira.
"Raa!" Aku menoleh, Zaya memanggilku yang berada di antara kerumunan orang-orang itu. Dia melambaikan tangannya menyuruhku untuk mendekat.
Karena penasaran aku pun mulai mendekati kerumunan itu, dan menghampiri Zaya yang tersenyum sumringah.
"Ada apa sih?" tanyaku bingung, namun Zaya justru menunjuk-nunjuk pusat kerumunan yang jelas-jelas tidak bisa aku lihat karena aku berada di belakang.
"Iya, aku terima."
Semua orang bersorak ria saat kalimat itu keluar dari bibir seorang perempuan. Aku mengerutkan keningku dan seketika menutup sebelah telingaku. Ini terlalu berisik.
Aku mulai maju beberapa langkah, meminta jalan pada orang-orang yang berada di depan.
"Permisi-permisi."
Mataku terbelalak, saat berhasil melihat pusat kerumunan itu. Ya tepat sekali, pengakuan cinta seorang pemuda kepada pujaan hatinya dengan didampingi sebuket bunga mawar merah. Terlihat romantis tapi menurutku itu sangat kuno. Dan hal yang mengejutkannya, perempuan itu....
"KAK ELIN??"
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
18 JULI-KU
Teen FictionDaun berjatuhan bersama mentari pagi yang menyilaukan, hembusan angin membuatku menggigil hingga membuyarkan lamunan. Ternyata masih terasa, suasana yang selalu terulang tiap tahunnya, memberi arti makna sebuah kekosongan. ** Dambaan hari baik pasti...