Prolog

12 2 0
                                    

"Disarankan menggunakan airpods lalu putar lagu lagu yang telah ditautkan untuk pengalaman baca lebih baik. Selamat membaca."

- aca, penulis Album Candu












Di pagi hari yang indah kala itu, ku sapu pandanganku ke langit Jogjakarta. Cuacanya saat cerah, sehingga aku dapat melihat gradasi yang sempurna di langit. Perpaduan antara warna merah, jingga, oranye, dan kuning, membuatku takjub dengan ciptaan Tuhan. Alangkah indah ciptaanNya, begitu pula dengan Sang Pencipta. Ku raih kamera monologku untuk mengabadikan keindahan ini. Aku menggunakan kamera pemberian sang ayah.

Ayahku menautkan banyak kenangan di kamera ini. Dari fotoku saat baru lahir dari rahim ibu yang sangat hebat, dan kenangan kenangan perkembanganku hingga umur 4 tahun. Namun saat ayah ingin mengabadikan momen ketika umurku genap 5 tahun, ayah terlambat. Sang Pencipta menjemput ayah, tepatnya sehari sebelum hari ulang tahunku. Ayahku yang begitu indah di mata Tuhan hingga Tuhan sangat menyayanginya. Ayahku juga memberikan nama yang indah dalam atmaku. Prasetyo Candu Purnawan, itu namaku.

Saat aku duduk di bangku sekolah menengah pertama, di Jogjakarta, aku mulai mencoba hobi yang digemari oleh ayahku, fotografer. Lalu, ibu memberikan kamera monolog ayahku yang sudah mulai usang. Aku awalnya menolak, ingin dibelikan kamera yang lebih canggih seperti teman temanku yang lain. Namun terpaksa aku memakai kamera itu, karena ibuku mengancam mau pake kamera usang itu, atau berhenti ekskul. Aku bukan terlahir dari keluarga yang mapan, jadi aku harus mengerjar beasiswa. Selain nilai tinggi, aku harus mengikuti organisasi dan ekskul. Mau tidak mau aku memakai kamera itu.

Saat aku memakai kamera itu, teman sebayaku sempat menganggap jika aku orang kaya yang berpura pura miskin. "Wah Du, kamu itu orang kaya ya? Kok ga pernah keliatan sih?" Ujar temanku, Aksa. Aku aneh mendengarnya. "Sa, kamu tau aku sekolah memangnya dari penghasilan orang tuaku? Aku saja sekarang berjuang untuk beasiswa sekolah menengah atas," ucapku. Aksa hanya menggaruk tengkuk kepalanya. "Tapi Du, kamera yang kaya gini udah ga ada di pasaran. Biasanya yang mempunyai ini orang orang kaya. Mereka rela membelinya hingga jutaan dolar," sontak aku terkejut. "Lah, serius, Sa?" Aksa hanya menggeleng kepalanya. "Yo serius lah, mana ada temanmu ini bohong," aku tergelak dengan itu. "Apaan ketawa tawa, kamu ndak percaya sama temanmu ini toh?" Aku hanya menggeleng kepalaku. 

"Nih coba test kejujuran aku ya, tapi jangan susah susah," aku tersenyum jahil. "Bener nih ya, kamu suka sama Dewi, teman sebangkumu itu kan?" Kulihat wajah Aksa sedikit memerah, aku tergelak karena reaksi Aksa, padahal baru namanya ku sebut. "Dih, apaan. Itu mah susah!" Semakin aku tertawa dengan reaksinya. "Udahlah, udah keliatan. Jujur aja sih," kataku. Dia menunduk malu akan itu. "Emang kelihatan ya? Jangan jangan dia tahu akan itu?" Aksa menanyakanku dengan nada khawatir. "Yo ndak tahu, wong aku nebak nebak aja," emosi Aksa terlihat memuncak mendengar ucapanku, aku sontak berlari keluar kelas. "OASEEM TENAN KAMU NDU!!" Ucapnya memakiku, aku hanya tergelak sambil meledekinya.

Banyak kenangan di sekolah menengah pertama yang indah. Kerap juga ku abadikan di kamera monolog ini. Namun aku tak akan selamanya tinggal di sekolah itu. Hidupku terus berjalan, dan aku juga berpisah dengan Aksa. Karena saat ini, aku duduk di bangku sekolah menengah keatas di Jakarta. Aku memutuskan untuk mengambil sekolah asrama disini. Selain sekolah ini dapat memudahkanku untuk mengambil beasiswa kuliah di luar negri, fasilitas disini cukup memuaskan. Aku dapat makan, tempat tinggal, serta pendidikan secara gratis. Semua biaya telah ditanggung oleh pemerintah. Disini, aku akan menceritakan perjuanganku untuk tetap bertahan. Disini, awal mula perjuangan hidupku yang sebenarnya, hingga aku meraih mimpiku untuk membahagiakan ibu.

Album CanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang