1. DKI Jakarta

16 3 1
                                    

"Disarankan untuk menggunakan airpods lalu putar lagu yang telah ditautkan untuk pengalaman baca yang lebih baik. Selamat membaca."
- FZ, penulis Album Candu

















Saat aku pijakan langkah pertama di Ibukota, lega rasanya setelah perjalanan yang jauh menaiki kereta. Jakarta, tempat dimana hiruk piruk orang mengais rezeki, dari sang pemberi rezeki. Terlihat pula wajah wajah haru bahagia yang ingin melepas rindu dari seseorang yang dicinta kembali ke Jakarta. Senyum kecilku juga terukir. Tiba tiba ada yang memanggil namaku dengan lantang. "Canduu, kesini dek!" ujar Om Surya, pamanku. Aku hendak berjalan cepat berjalan menghampiri pamanku, lalu kami berpelukan.

"Kamu bukannya cari Om, malah bengong aja!" ucap Surya sambil mengacak rambutku. Aku sedikit menghindar karenanya. "Jangan diacak rambutku dong! Kita belum foto buat Ibu, bisa bisa aku dianggap anak hilang," kami berdua pun tergelak. Lalu, kami berjalan ke parkiran dan menaiki mobil.

"Dek Candu, kita foto disini buat ngabarin Ibumu," kata Om Surya, sambil mengeluarkan ponsel nya.

Mbak Bila

Mbak Bil, bocah cilikmu dah sama aku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mbak Bil, bocah cilikmu dah sama aku. Udah nyampe Jakarta.

Alhamdulillaah. Titipi salam ke Candu, ojo lali ngombe vitamin yoo.

Nggih mbak.

"Kata Ibu apa, Om?"
"Jangan lupa minum vitamin, itu aja," aku hanya mengangguk angguk.

Kami berjalan menuju rumah Om Surya. Lalu kami berdua mengemas barang barangku dan dimasukkan ke rumahnya. Rumah itu adalah rumah yang telah dibangun oleh Om Surya, untuk tempat tinggal ia saat berkuliah di Jakarta. Kini Om Surya sudah lulus sarjana, namun enggan meninggalkan Jakarta. Sayang katanya karena banyak kenangan.

"Om Surya kenapa ga pengen nikah? Kan Om finansial cukup, pendidikan udah sarjana. Tinggal cari calon aja," ucapku. Sambil menyeruput teh nya, terlihat senyuman kecil yang terukir di wajah Om Surya. Lalu ia menaruh cangkir teh nya di meja yang berada di sebelahnya, dan menatapku. "Kamu jadi sama kaya Ibumu ya, selalu menanyakan calon!" ucapnya sambil tergelak.

"Yahh, Om ga pingin nyari calon dulu. Om cuma pengen calon orang Jogja. Lagipula Om udah nyaman sendiri. Lagipula, pernikahan itu sulit, Du. Ga cuma nyari calon, menikah, punya anak, selesai. Menjadi ayah juga tanggung jawab seumur hidup. Om juga males kalo anak Om sikapnya mirip Om. Om butuh orang yang tangguh, kaya Ibumu," ucapnya sambil menatap mantap ke arahku.

"Jangan pernah lawan Ibumu ya, Du. Kamu tau kalo tanpa Ibumu, Om gabisa kaya gini. Semua ini berkat Ibumu. Beliau wanita adalah yang tangguh, setelah nenekmu," lanjutnya sambil menepuk pundakku. "Kamu mendingan belajar sekarang, MPLS di SMA InCen disuruh belajar juga loh!" kata Om Surya sambil menaruh cangkir teh nya di dapur.

"Aarghh, malas sekali. Baru juga sampai Jakarta. Besok sajalah!" ucapku sambil meregangkan badan. "Pemalas sekali. Dulu Om pernah loh badan pegal pegal, koyo sana sini masih belajar," cibir Om Surya. "Ya walaupun materinya ga masuk ke otak sih," lanjutnya sambil terkekeh. "Yeuu, sama aja dong!" balasku dengan cibiran. "Yasudah, hari ini kamu istirahat dulu, kamu tidur aja di kamar Om. Nanti Om bangunin kalo makan malam udah siap," aku langsung mengangguk mantap dan berjalan ke arah kamar, sampai sana aku merebahkan tubuhku lalu tertidur pulas.

~~~

Setelah tertidur, aku terbawa ke alam bawah sadar. Disana, terlihat gambaran hamparan rumput hijau yang luas di bawah terik sinar matahari. "Tempat ini aneh," ucapku seraya menyipitkat kedua kelopak mataku. Tak pernah aku mengunjungi tempat seperti ini. Ku lihat sekelilingku, tiada satupun orang disana. Lalu saat tubuhku berbalik ke arah dimana aku pertama kali datang, tiba tiba terdapat sosok perempuan yang memakai gaun putih panjang. Aku sangat terkejut.

"Astaga, kau datang dari mana? Mengejutkan sekali,"

"Hahaha, maafkan aku. Kau Prasetyo Candu Purnawan, bukan?" tanya gadis itu.

Loh, bagaimana dia mengetahui namaku? Apakah dia adalah perempuan yang pernah ku kenali sebelumnya dan telah berada di kilasan memoriku?

"Iya, siapa dirimu? Bagaimana cara kau mengetahui namaku?" tanyaku. Perempuan itu tersenyum, dengan tangan kecilnya, ia meraih tanganku. "Perkenalkan, saya Lituhayu Sempoerna Kusuma," ucapnya.

Kali ini, mataku benar benar menangkap sosok perempuan itu. Matanya yang berwarna coklat yang sedang menatapku dengan wajah yang berseri. Wajahnya sangat melukiskan ketulusan yang dalam. Rambut hitam legam yang terurai sangat indah. Kulitnya yang cerah, sangatlah halus. Lituhayu Sempoerna Kusuma, ia sebetul betulnya wanita yang sempurna.

Belum sempat aku mengetahui lebih tentang wanita yang berada di mimpiku, terdapat seseorang yang memanggil namaku dengan lantang. Aku bergegas bangun dan berlari ke luar kamar. "Ada apa, Om?" tanyaku dengan suara yang serak basah. "Widih, keren banget suaramu, Du. Udah puber ya kamu?" gurau Om Surya. Aku mendesah sambil berdecak kesal. "Aku udah SMA, Om. Yakali suara aku cempreng," balasku. Om Surya hanya tertawa menanggapinya. "Makan malam udah jadi nih, Om masak sendiri dengan kekuatan sendiri. Monggo, dhahar paduka," goda Om Surya. Aku hanya terkekeh menanggapinya.

Malam ini ditemani oleh sang rembulan dan beberapa bintang, aku termenung di balkon kamar sambil mengingat sosok Lituhayu. "Lituhayu Sempoerna Kusuma? Iya benar, itu namanya!" ucapku mengingat kembali namanya. Di sudut kamar, terdapat kanvas, kuas, dan beberapa cat warna. "Om, aku pinjam kanvas sama alat lukisnya ya!" ucapku dengan suara lantang. Om Surya hanya berteriak 'ya' dari arah ruang televisi, sepertinya ia sedang menonton acara kesukaan sepakbolanya, mungkin saja bisa hingga pagi menonton acara tersebut.

Ku letakkan kanvas diatas pahaku, seraya melukiskan sketsa. Setelah sketsa telah kubuat, ku tuangkan beberapa cat akrilik untuk menyempurnakan lukisan yang kubuat. Tanganku yang kotor menari indah kesana kemari, menyempurnakan warna demi warna yang indah yang berada di kanvas. Menit demi menit telah berlalu, tinggalah bagian wajah yang belum ku sempurnakan. Sayang sekali, aku lupa rupa wajahnya seperti apa. Pada akhirnya, ku biarkan lukisan itu tanpa wajah. Setelah cat mengering, ku lukiskan nama "Lituhayu Sempoerna Kusuma" di sudut kanan bawah kanvas. Ku ukir senyumanku saat lukisanku telah selesai.

"Cantik, meski belum sempurna"

"Cantik, meski belum sempurna"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Album CanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang