Namaku adalah Kirana Cantikasari, aku biasa dipanggil Cantik. Ini adalah cerita tentang Kakak laki-lakiku, Elno Saga Pratama. Usia kami berbeda 7 tahun dan kami hidup ketika masa penjajahan Belanda.
Kakakku terlahir sebagai putra sulung dari seorang bupati di kabupaten. Sekarang usianya sudah 16 tahun.
Sejak dulu, ia memiliki mimpi untuk menjadi seorang tentara Indonesia agar dapat berjuang merebut tanah air dari Belanda, tetapi Ayah dengan tegas menentangnya. Ibu yang sependapat dengan Ayah hanya bisa cemas dan khawatir. Namun, Kak Saga tahu bahwa semua itu Ayah dan Ibu lakukan karena sangat menyayangi putra satu-satunya.
Meski begitu tetap saja, keinginan Kak Saga amatlah besar. Sehingga mereka hanya bisa pasrah dan mendoakannya agar selamat. Kak Saga pun akhirnya berangkat ke ibukota untuk menempuh pendidikan di sekolah militer.
Saat masih di sekolah menengah, Kak Saga selalu bercerita apa saja kepadaku. Tentang bagaimana perasaannya terhadap para penjajah itu, bagaimana perasaannya melihat orang bawah yang menjadi budak, juga keinginannya untuk menghancurkan semua penjajah Belanda dari Indonesia. Suatu hari, aku sangat ingin tahu tentang satu hal.
"Kak, apa Kak Saga tidak takut dengan penjajah?"
"Buat apa mesti takut? Kita sama-sama manusia, sama-sama makhluk Tuhan. Lagi pula, siapa yang mau melawan dengan sukarela selain Kakak?"jawab Kak Saga dengan lantang.
"Bagaimana kalau mereka sangat kuat? Apa Kak Saga bisa mengalahkan mereka?"
"Tentu saja, Kakak pasti bisa! Di situ ada kemauan, pasti ada jalan."
Aku hanya mampu mengagumi sosok laki-laki yang tampak tegas menengadah seperti telah melihat cahaya harapan yang bersinar cerah dengan senyum manisnya.
Lima tahun berlalu setelah Kak Saga memulai pendidikannya di ibukota. Untungnya tidak ada serangan udara di ibukota maupun kota kabupaten. Namun, tidak dengan kota-kota lainnya. Sebagian besar wilayah tanah air sudah porak-poranda akibat serangan Belanda.
Akhirnya Kak Saga mulai ditugaskan sebagai tentara mata-mata. Ia juga harus pindah ke pulau seberang, sehingga akan lama bagi kami untuk berjumpa. Kak Saga berangkat ke luar pulau sebulan sebelum hari ulang tahunku, tetapi demi keselamatan hanya Ayah yang pergi mengantar Kak Saga sampai pelabuhan.
"Sehat-sehat di sana, Nak. Ayah dan Ibu selalu mendoakanmu."
"Terima kasih, Ayah. Oh iya, berikan hadiah ini pada Cantik. Maaf karena Saga tidak dapat bertemu saat ulang tahunnya."
"Iya, Ayah berikan nanti. Kami semua menunggu kepulanganmu,"ucap Ayah sambil memeluk Kak Saga.
"Tentu saja, Saga pasti akan pulang. Agar keluarga kita dapat berkumpul bersama lagi,"air mata membanjiri pipi Kak Saga, begitu juga dengan Ayah. Tidak terbayang bagaimana putranya akan hidup jauh darinya di tengah-tengah kecamuk perang yang terjadi.
Satu bulan kemudian. Kak Saga ada di ruang kerjanya. Mengerjakan beberapa laporan hasil penyelidikannya sampai tengah malam. Ia kemudian melanjutkan menulis surat untuk dikirimkan padaku. Saat itu juga Kak Saga menuju kantor pos agar suratnya bisa sampai esok hari.
Namun, sesampainya di sana Kak Saga terkejut melihat kerumunan pasukan di kantor pos. Hal yang aneh dilihat, mengingat ini masih tengah malam. Kemudian Ia mendengar seseorang berkata.
"Mustahil. Padahal suasananya tenang-tenang saja sampai beberapa tahun ini. Tidak kusangka ini akan terjadi."
"Semua ini mungkin saat peperangan terjadi. Tapi aku dengar, ini adalah ulah para teroris dalam negeri."
"Masa' satu kota hancur lebur akibat bom itu. Mereka sangat tega sekali. Tadi, di mana tepatnya pengeboman itu?"
"Kudengar itu di sebuah kota pesisir pulau Jawa."
Mendengar hal itu Kak Saga amat terkejut. Ia bahkan sampai bertanya pada banyak orang. Hatinya begitu gelisah, mengingat bagaimana kondisi orang tuanya serta adiknya.
Kak Saga bersikeras agar diizinkan untuk pulang ke kampung halamannya. Bahkan Ia bersumpah untuk melakukan tugas apapun selama ia berada di sana. Setelah banyak hal Kak Saga lakukan untuk minta diri, akhirnya Ia diperbolehkan untuk pulang. Kak Saga pun berangkat saat itu juga dan hanya membawa ransel kecil berisi alat pribadi.
Saat sampai di sana dan melihat pemandangan di kampung halamannya, hati Kak Saga seketika remuk. Air matanya tak terbendung lagi dan mengucur deras bak hujan lebat. Ia hanya bisa pasrah sambil terduduk di tanah tandus yang telah porak-poranda.
Bagian rumah kami pun sudah tercerai-berai tidak berbentuk. Meninggalkan Kak Saga sendiri di tengah cahaya bulan yang remang-remang. Meyakinkan Kak Saga agar segera menghentikan segala penindasan ini.
Begitulah cerita tentang Kakakku, Kak Saga. Hanya itu yang kutahu tentang hidupnya. Ia bermimpi setinggi mungkin, tetapi kesialan datang menghampirinya. Mungkin Ia hanya terlihat seperti anak muda yang polos dan naif, tetapi bagiku Kak Saga adalah Kakak terbaik untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT _STORY_
Short StoryKumpulan cerita pendek hasil karangan sendiri :‑X Baca aja... :)