1.2 Aku bertemu dengan dia

2 0 0
                                    


Kakakku membangunkanku dengan mengguncang tubuhku ke kanan dan ke kiri. Kami sudah tiba di sebuah rumah yang terlihat cukup nyaman, di dominasi dengan kayu dan halaman rumah yang cukup luas. Aku berjalan tepat di belakang kakak, karena ialah yang menyarankan untuk pindah ke tempat ini.

Kami disambut oleh tiga orang dewasa yang aku asumsikan sebagai ayah, ibu, dan anak laki-laki mereka. Aku bisa melihat perpaduan antara ayah dan ibu pada anak laki-laki mereka. Keluarga Diwanto namanya. Nama yang cukup unik dan tidak pernah kudengar sebelumnya.

Setelah perjamuan singkat di taman, Sang Ibu menuntun kami pergi ke dua kamar di lantai atas. Rumah ini betul-betul membawa definisi rumah. Hangat bisa dirasakan melalui serat-serat kayunya. Aku diarahkan ke salah satu kamar dengan pemandangan hamparan padang yang luas.

Warna kuning bunga matahari tampak begitu hangat, memelukku dari kejauhan. Angin yang menari bersamanya memintaku untuk datang ke pesta mereka. Hanya saja, baru beberapa menit aku disini dan kurasa tidak sopan tiba-tiba melalang buana dengan kaki sendiri.

Kembali dengan kamarnya, terdapat kasur berukuran single dihiasi sprei putih bercorak bintang yang timbul lengkap dengan bantal dan gulingnya, lalu ada meja kecil disampingnya. Di sebelah kasur terdapat jendela yang cukup besar untukku melihat lingkungan sekeliling rumah sembari menyandarkan punggung.

Selain itu, kamar ini juga dilengkapi meja belajar dan kursi serta cermin yang panjang. Sepertinya rumah ini dibangun dari sebuah pohon besar. Di tengah kamar terdapat batang kayu besar yang menopang langit langit. Batang tersebut dihiasi lampu led berwarna kuning. Kamar ini sungguh hangat. Oh iya, terdapat pintu kaca di kamar yang mengarah ke balkon. Sungguh, tidak perlu kipas angin untuk mendinginkan hari di tengah musim panas.

Sang Ibu datang lagi ke kamarku, beliau memanggilku untuk makan siang bersama. Kebetulan sekali sang ayah baru saja menangkap ikan bersama anak laki-lakinya. Aku tersenyum mengiyakan ajakan sang ibu dan berniat menyusul setelah mengganti pakaianku.

Pelan-pelan aku menuruni tangga kayu yang menghasilkan bunyi tiap kuletakkan kaki diatasnya. Tuk..tuk...tuk...tuk, kulihat kakak sedang berinteraksi dengan sang ayah dan anak laki-laki itu. Jarak usia antara aku dan anak laki-laki itu tidak terlalu jauh atau mungkin kami berada di usia yang sama.

Aku juga melihat sang ibu menyiapkan piring dan nasi diatas meja. Aku berlari kecil dari anak tangga terakhir untuk membantu sang ibu. Kami tidak memiliki banyak percakapan, aku hanya menanyakan bagaimana susunan piring di meja dan apa yang bisa aku lakukan selanjutnya. Disela kegiatanku ini, aku mengamati sang ibu yang sedang sibuk menyiapkan lauk-pauk teman ikan bakar.

"Nak, kenapa kamu ngeliatin ibu segitunya? Ada yang aneh sama wajah ibu? Ada bekas arang kah?" Tuturnya setelah memergokiku mengamati wajahnya.

Aku menggeleng dengan keras, sang ibu tersenyum menahan tawa melihatku menyangkal pertanyaan-pertanyaan yang beliau ajukan sebelumnya. "Saya terpukau lihat ibu cantik banget, hehe" beliau hanya menghampiriku dan memelukku dari samping serta tak lupa senyum manis miliknya.

"Itu anak saya, namanya Partha. Syukur rasanya punya anak laki-laki yang bisa diandalkan. Dia tidak pergi ke kota seperti anak seusianya, katanya terlalu sesak untuknya yang punya mimpi besar. Ibu rasa dia seumuran denganmu" katanya saat melepas pelukan dan menunjuk arah luar

"Saya juga berpikir sama, bu." Kujawab sembari kembali melihat sang ibu setelah atensi kami berdua teralih sejenak kepada Partha.

Tak lama setelah itu, Sang Ayah, Partha, dan kakak masuk ke dalam rumah dengan dua piring besar ikan bakar. Bau asap yang dibalut manis kecap itu mengisi sela kosong di dalam rumah.

Belum terjadi percakapan apapun antara aku dan Partha. Hanya ibu dan ayahnya yang melontarkan beberapa pertanyaan padaku dan kakak. Mulai dari kenapa memilih tinggal bersama mereka, apakah pernah tinggal di desa sebelumnya, apakah makanan yang disediakan cukup lezat, dan pertanyaan lanjutan lainnya.

Aku hanya menjawabnya dengan beberapa kata dan senyum di wajah, sisanya dijawab oleh kakak dengan antusiasnya. Semuanya berjalan normal, setidaknya tidak ada yang bertanya mengenai aku dan tindakan bodohku. Aku rasa, aku cukup hebat dalam menyembunyikan perasaan.

Sesi makan dan tanya jawab itu berakhir dengan cepat, rupanya kami semua lapar bukan main. Aku membantu ibu membereskan piring kotor di meja, selagi Partha menata kembali meja dan menyapu ruangan. Sedangkan kakakku dan Ayah Partha kembali keluar untuk membicarakan yang sepertinya cukup serius.

"Namaku Partha. Kayak e ibuk ya udah ngasih tahu ke kamu. Namamu sapa?" ucap Partha sembari menghentikan kegiatan menyapunya.

Aku yang berada di meja makan tersentak mendengar suaranya. Akhirnya, Partha berbicara denganku.

"Namaku Faye, salam kenal tha." jawabku singkat dan tidak lupa senyum menghiasi wajahku.

Ia hanya mengangguk dan pergi begitu saja. Aku bingung harus bereaksi apa padanya. Aku dalam status canggung dengan keadaan. Dimana diriku hanya terdiam dan tidak tahu harus apa.

Sang Ibu berterima kasih atas bantuanku dan mengizinkanku beristirahat di kamar. Aku kembali berterima kasih kepada ibu dan segera beranjak dari lantai satu ke kamar di lantai dua.

Aku tidak meletakkan punggungku ke kasur yang sudah merayu tiada henti kepadaku, mataku tertuju pada pintu kaca tempatku melihat hamparan bunga matahari di kebun belakang. Dua kakiku meminta kedua tanganku untuk membuka pintu kaca dan berdiri di balkon.

Tidak, ini bukan skenario bunuh diri di atas ladang bunga. Aku hanya mengagumi warna kuning begitu dalam. Indahnya bukan main. Diantara warna kuning dan hitam itu terdapat warna biru yang meminta perhatianku. Itu punggung Partha, aku rasa ia juga memiliki bahu yang lebar seperti kakak.

Aku rasa Partha punya indra ke enam, yang tadinya mataku bertemu punggung, kini aku bertemu dengan matanya. Mata Partha mengisyaratkanku untuk turun menemaninya. Lagi-lagi kakiku berjalan sendiri menuju kebun belakang. Aku menghampiri punggung dengan kaos biru itu. Kali ini tidak dilihat dari balkon, tetapi aku lihat di depan mataku.

"Bagus yo, warna e? Ibuk yo suka sama bunga matahari. Kamu yo suka?" tanyanya yang masih memunggungiku menghadap pada bunga matahari, memang tidak ada yang bisa mengalahkan indahnya bunga saat ini.

"Suka. warnanya kuning bikin tenang, damai. Kayak gaada beban yang ngehambat, waktu juga berhenti. Suka banget pokoknya." ucapku sambil melihatnya yang sudah tidak lagi memunggungiku.

"Kamu kesini ngapain e? Anu, apa itu lek kata e orang kota. Hiling? Giling? Alah mboh." tangannya menampar udara di depan mukanya. Ia kesal dengan dirinya dan istilah yang asing baginya.

Aku hanya menertawakan kekesalannya dan memberikan jawaban yang ia maksud. Ia mengangguk super cepat ketika mendengar jawabanku. Aku tertawa makin kencang, rupanya Partha orang yang lucu, karena wajahnya aku pikir ia orang yang pendiam. 

Tales of DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang