Bab 1 : Nafsu Duniawi

29 8 15
                                    

Pagi ini, pemakaman umum arpaktikó fántasma yang biasanya sepi karena cerita seramnya yang terkenal itu kini didatangi segerombolan orang berpakaian serba hitam, sebagian lagi orang-orang dengan kamera dan kertas di tangannya. Seorang pemuka agama tengah melantunkan do'a-do'a. Mereka semua mengelilingi satu gundukan tanah dengan sebuah batu nisan yang terpasang.

Di batu nisan itu, tertulis dua nama, yang satu wanita, yang satu jelas nama pria. Bunga tabuh memenuhi permukaan gundukan tanah itu. Sementara beberapa orang berpakaian hitam terlihat menangis tersedu-sedu, memanggil nama yang sama seperti yang tertera di nisan.

"Siapa yang menduga, bahwa pasangan itu ditemukan meninggal dalam keadaan gancet. Terlebih si pria saat ditemukan terlihat sangat kurus kering seakan sari kehidupannya habis diserap oleh si wanita." Tidak luput, bisikan turut meramaikan acara berkabung itu.


"Woaaahh ... Apa manusia memang hobi membicarakan cara mati seseorang?" Seorang pemuda berkomentar takjub pada apa yang sudah dilihatnya.

Pemuda itu berdiri lima meter di belakang kerumunan orang yang sedang berkabung. Ia bersandar pada sebuah batang pohon, sekop yang telah tertempel tanah merah juga bersandar di pohon di sebelahnya. Bukan hanya sekop itu yang tertempel tanah merah, bahkan lipatan lengan baju, di bagian bahu, bagian dada, pipi dan rambutnya pun dipenuhi tanah yang setengah basah.


Mata merahnya berbinar memperhatikan gerak gerik semua orang di depannya. Sementara mulutnya sibuk mengunyah potongan daging ayam. Untungnya, ia masih ingat untuk mencuci tangan sebelum melahap daging ayam yang entah dia dapat dari mana.

"Sejak kapan kau bekerja sampingan menjadi penggali kubur?" Suara lain terdengar dari atas pohon yang sedang ia sandari.


"Aku sudah melakukan ini sejak lima tahun lalu, Seke. Kau tidak tahu? Cuma cara ini yang bisa kulakukan untuk mendapatkan roh jahat untuk Babeh Hazel." pemuda itu terkekeh, menanggapi setiap kata yang terdengar seperti menggerutu itu.

Waktu kecil, ia sering kali merasa sakit hati atau kesal dengan nada bicara pria di atas pohon itu. Setiap kata yang terucap dengan nada yang ketus selalu membuat Yuuki—si pemuda bermata merah—berpikir bahwa pria itu membencinya, mengingatkannya pada orang-orang di masa lalu yang memperlakukannya dengan kejam.

Tapi seiring berjalannya waktu, Yuuki kini tahu bahwa pria itu berbeda. Cara bicaranya yang ketus tidak mengandung kebencian. Semakin lama ia hidup bersama pria itu dan ayah angkatnya, Yuuki tahu, Seke memperhatikannya dengan caranya sendiri.

"Selain itu, aku bisa mendapat uang tambahan untuk membeli makanan enak. Belakangan uang sakuku sepertinya berkurang. Jadi selalu tidak cukup kalau aku membelikannya camilan." tambah Yuuki dengan ekspresi seolah hendak menangis, meratapi nasib.

"Bukan uang sakumu yang berkurang, Bocah! Tapi kau yang semakin banyak makan." Pria yang sedang berbaring di atas dahan pohon itu mendengkus.


Belum sempat Yuuki membalas omongan Seke, pria itu tiba-tiba saja menghilang di balik portal yang terbuka.

"Anu, permisi ...." Seorang pria paruh baya berpakaian hitam menghampiri Yuuki yang langsung berdiri tegak, tidak lagi bersandar pada pohon.


Pria paruh baya itu adalah orang tua dari salah satu remaja yang meninggal itu. Kemungkinan pria itu akan segera membayar jasa menggali kuburnya, karena itu Yuuki jadi antusias. Membayangkan makanan lezat yang bisa ia makan dengan uang yang akan ia dapatkan.


"Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya seramah mungkin.

"Begini, sebelum saya memberikan sisa pembayarannya, bolehkan saya meminta bantuan Anda?" Pria paruh baya itu menatapnya memohon.

Mata merah Yuuki menatap intens pria di depannya, lalu beralih ke sebelah kanan si pria itu, kemudian menatap lagi si pria. Senyumnya memudar.
"Dan apakah itu?" tanyanya lagi masih dengan keramahannya, walaupun senyumnya tidak secerah sebelumnya.


"Begini, berhubung anak saya dan temannya itu ditemukan meninggal di pemakaman ini dan Anda sebagai penjaga sekaligus penggali kubur selalu berada di sini. Maka dari itu polisi ingin meminta kesaksian Anda ...." Pria paruh baya itu meremas sapu tangan di tangannya, entah kenapa merasa gugup ditatap oleh pemuda di depannya. Seolah, mata merah itu sedang menelanjanginya hingga ke bagian terdalam otaknya.


".... Bisakah Anda memberikan kesaksian bahwa anak saya meninggal karena anak perempuan itu melakukan sesuatu yang berbahaya seperti melakukan ritual dan menumbalkan anak saya?" lanjut pria itu.

Yuuki tidak langsung menjawab, kali ini ia menatap lurus pada kedua mata pria paruh baya itu selama beberapa detik.
"Maaf, aku tidak bisa melakukannya. Kesaksian itu tidak akan bisa diterima." Yuuki meraih sekop kesayangannya dan berjalan melewati si pria paruh baya.

"Lupakan tentang bayaranku, lebih baik kau gunakan untuk melakukan amal atau sejenisnya," ujarnya lagi tanpa menghentikan langkahnya.


Beberapa meter setelah ia menjauhi si pria paruh baya, ia kembali menoleh ke belakang, menatap pada si pria paruh baya yang masih mematung di tempatnya. Perlahan, gumpalan asap hitam berkumpul di sekeliling pria itu, membentuk tiga siluet manusia.
"Bagaimana bisa ada seorang suami bahkan ayah semacam dia?" gumamnya dengan gigi yang bergemeretak marah.

Lalu, sebuah lengan mendekap semi mencekiknya.
"Kendalikan dirimu, Bocah nakal. Jangan membuatku kerepotan menghadapi kemarahan babehmu itu." Seke, si pemilik lengan menjitak kepala Yuuki dengan tangannya yang lain.

"Uh, iya, iya. Aku mengerti." Yuuki memberontak, berusaha melepaskan diri dari pitingan Senior sekaligus gurunya itu.


Seke melepaskan pitingannya pada Yuuki, kembali berdiri tegak. Membenahi sedikit jubahnya yang agak kusut akibat perlawanan sia-sia Yuuki, Seke kemudian menyentuh topeng di wajahnya.


"Aku harus kembali, ada yang harus aku urus. Kau tetaplah memantau di sini. Tapi ingat, jika kembali bertemu dengan arwah pendendam, jangan menghadapinya sendiri. Kau segeralah kirimkan pesan padaku dan aku akan segera datang."


Yuuki mengangguk-angguk paham.
"Mungkin aku akan mengobrol sedikit dengan para gadis itu." Cengiran lebar kembali terpampang di wajahnya. Namun, sedetik kemudian dia mengaduh keras. Pasalnya, Seke kembali menjitaknya.

"Kubilang jangan mendekati arwah pendendam itu!" Sumbu emosi Seke yang memang pendek kembali tersulut.
"Berani kau mendekatinya, aku akan benar-benar mematahkan kakimu." tambahnya.


"Uh, iya. Aku mengerti. Dasar jahat." Yuuki menggembungkan pipinya kesal. Sekalian bertingkah so imut, siapa tau Seke akan luluh dan tidak lagi marah-marah padanya. Tapi yang di dapat, justru lemparan tas punggung yang tepat mengenai wajahnya.


"Babehmu menitipkan itu padaku. Makanlah itu selama kau mengawasi di tempat ini."


Tanpa sempat Yuuki merespon, Seke menghilang lagi di balik portal. Yuuki kembali terkekeh, hatinya menghangat karena lagi-lagi mendapatkan perhatian dari ayah angkat dan senior tsundere yang sudah ia anggap seperti kakaknya itu.

Kemudian, senyum tulus itu menghilang, berganti menjadi seringai.
"Padahal belum satu menit Seke pergi, sudah ada tamu tidak diundang yang datang." gumamnya, diikuti teriakan kesakitan dan ketakutan dari orang-orang di belakang sana.



Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan besar menghalangi cahaya matahari dari belakang Yuuki. Sedetik kemudian, suara dentuman keras menggema di area pemakaman.

GravediggersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang