PESUGIHAN

38 8 0
                                    

"Non, padahal saya sudah pesan kalau dandan yang cantik buat menemani saya ke rumah sakit." Bi Murni melihat penampilan Karina dari atas sampai ke bawah.

Karina memakai kemeja kedodoran milik kakak, Ditya. Berwarna putih dan celana jeans legging hitam yang sisi kiri dan kanannya transparan memperlihatkan kulitnya dari paha sampai kaki.

"Non hanya sisiran sama pakai bedak." Keluh bi Murni yang kecewa.

Karina memutar bola matanya dan berteriak di dalam hati. Hallo, kita hanya check up biasa, bukan cari jodoh!

"Mau bagaimana lagi, Bi.  Karina semalam tidur jam 4 pagi, kalau kita berangkatnya siang, bisa-bisa dapat antrian lama." Karina menjalankan mobil dengan hati-hati. "Yah, terpaksa seperti ini."

"Bukan terpaksa non, tapi memang niat dari awal!" Ketus bi Murni.

Karina berusaha menahan senyum, bibi memang sangat mengenal dirinya luar-dalam. "Lagian ya, kalau ada dokter seganteng itu, pasti punya pacar."

"Non cantik tapi tidak punya pacar!" sewot bi Murni. "Bibi ya, kalau belanja sama tukang sayur lewat, terus kumpul sama art kompleks. Hmm- mereka sukanya banggain anak-anak majikannya di rumah. Yang sudah menikah, punya anak terus ada juga yang tunangan.

"Bibi? Apa yang mau dibicarakan? Mas Ditya kerja di Kalimantan, tidak ada kabar hubungan asmara malah sukanya telpon bibi minta dikirimin makanan lalu non, malah sibuk sama kerjaan."

Karina tertawa kecil. Ada alasan kenapa bibi yang setia bekerja di rumah memanggil kakaknya mas lalu dirinya non. Kata bibi, supaya Ditya cepat dewasa dan dipanggil mas oleh banyak perempuan sementara Karina dulunya dianggap cantik seperti princess, sayang sekali dipanggil mbak, jadinya dipanggil non sama bibi, tapi kadang kala Karina dipanggil mbak juga, katanya sih khilaf, maklum sudah tua.

"Ya, doain saja bi. Karina dapat jodoh, jadinya bibi tidak perlu khawatir lagi dengan masa depan."

"Bibi sholat selalu doain non, tapi kalau kitanya tidak usaha ya mana dapat."

Karina menggaruk kepalanya yang tidak gatal, susah untuk mencari alasan buat bibinya.

"Non juga gitu, ngiket rambut asal-asalan!" Bi Murni memperhatikan ikat ekor kuda Karina yang berantakan. "Rambut non 'kan sebahu, lurus dan cantik malah diikat."

"Ya ampun bi. Iya ya, nanti Karina perbaiki sebelum turun."

"Benar ya non, awas kalau tidak rapi, saya tidak akan mengizinkan non turun dari mobil," ancam bi Murni

"Iyaaa," sahut Karina dengan pasrah. Dia melihat gedung rumah sakit yang akan dituju dan membelokan mobilnya ke halaman rumah sakit setelah dicek oleh satpam.

Di saat Karina sibuk mendengar omelan bibi di rumah, kakaknya sibuk menghadapi orang-orang gila yang tidak bisa membedakan hewan ataupun jin.

Bima interogasi warga sekitar yang menyediakan mereka tempat untuk istirahat.

"Anjingnya sudah berkeliaran di kampung dua hari, keliling tidak jelas, tiba-tiba ada salah satu warga yang teriak suruh habisi anjing itu terus juga ada yang bilang kalau itu anjing jadi-jadian, karena selama ini tidak pernah ada di perkampungan sini dan juga tidak ada yang mengenalinya." Cerita warga itu yang merupakan ibu-ibu bertubuh gemuk, berusia setengah baya dan memakai daster khas.

Cinta menggeleng dan menunjukkan raut wajah sedih. "Maaf, setelah kami coba telusuri, anjing itu adalah milik warga di kampung sebelah. Pemiliknya bingung karena sudah hampir satu minggu hilang."

"Harusnya anjing itu dijaga baik, jangan sampai keluar dari rumah. Di sini banyak yang beragama."

Bima mengerutkan kening. "Lho? Apa hubungannya agama dengan anjing?"

Cinta menyenggol tangan Bima untuk tidak memulai perdebatan tidak penting, sayangnya Bima tidak paham.

"Yah, kita di sini kan harus menjaga kesucian. Jangan sampai hanya karena ada anjing makanya jadi tidak suci."

"Bu, pengetahuan agama saya memang dangkal tapi saya tidak sepicik anda. Hanya karena air liurnya, lantas kalian menjatuhkan hukum dan mati kehidupan seekor hewan yang diciptakan Tuhan!"

Cinta menepuk kening. Di luar masih bisa mendengar teriakan Ditya sementara di dalam harus mendengar omelan Bima.

"Duh, kok jadi serius begitu? Cuma hewan lho, dok."

"Kalian ini apa suka meremehkan nyawa hanya karena mereka hewan? Berarti, orang-orang kaya juga bisa melakukan hal yang sama pada kalian. Jangan tersinggung jika orang-orang kaya tidak bisa menghargai kerja keras kalian. Lha, kalian sendiri meremehkan nyawa makhluk lain."

"Dokter Bima, sudah. Hahahaha- maaf ya, bu. Dokter memang emosi kalau ada yang meremehkan nyawa hewan, tapi sebenarnya beliau baik." Cinta berusaha mencairkan suasana.

Bima menoleh ke Cinta lalu mengerutkan kening sambil menatap Cinta dengan tatapan tidak percaya. "Apakah kamu sudah gila?"

Cinta bingung dengan pertanyaan Bima. "Hah?"

"Dia bilang nyawa hewan tidak berharga, lantas.. hmmmp!"

Cinta terpaksa menutup mulut dokter Bima.

"Dokter Bima! Perawat Cinta!"

Bima dan Cinta sontak menoleh.

"Dokter Ditya menghajar salah satu warga."

Cinta tersenyum meskipun hatinya kesal, berhasil membungkam satu dokter sinting tapi yang satunya malah berlagak menjadi preman.

Cinta bergegas menarik Bima untuk pergi ke lokasi.

Setibanya di lokasi, Ditya menghajar salah satu warga sementara yang satunya hendak memukul belakang kepala Ditya.

Bima yang melihat itu sontak menarik pistol dan mengarahkannya ke udara.

Semua orang yang berada di lokasi sontak terkejut.

Cinta lupa, dokter hewan Bima memiliki senjata untuk membela diri.

Bima menurunkan pistol dan berteriak dengan tegas. "JANGAN PERNAH ADA YANG MENYENTUH DOKTER HEWAN KAMI, MANUSIA SIALAN!"

Mungkin ada yang tidak tahu mengenai hal ini, Indonesia memang tidak membebaskan perdagangan senjata, tapi warga sipil boleh memiliki sebagai alat pertahanan diri.

Sesuai dengan Peraturan Kapolri No. 18 tahun 2015. Pasal 1 dalam perkap bahwa senjata api yang boleh dimiliki warga sipil adalah jenis non-organik.

Warga sipil juga harus memenuhi syarat dan seleksi ketat untuk bisa lolos, Bima yang sejak kecil terlatih di keluarga tentara dan polisi berhasil lolos dan menggunakannya untuk bekerja.

Pemimpin Kamp, menurunkan dua anggota inti seperti Ditya dan Bima untuk masalah seekor anjing, tahu bagaimana sulitnya menghadapi warga fanatik. Polisi tidak bisa ikut campur dan hukuman untuk penganiaya hewan sangat rendah, kemungkinan besar mereka akan lolos.

Yang menjadi pertimbangan lainnya juga adalah aksi main hakim sendiri, meskipun polisi datang untuk menengahi, tidak menjadi jaminan dokter hewan biasa yang diturunkan tidak akan terluka.

Bima memiliki hubungan erat dengan polisi sementara Ditya juga memiliki koneksi besar terkait penyelamatan hewan, warga di sekitar tidak akan bisa berkutik menghadapi kegilaan mereka berdua.

Tadinya Cinta bingung kenapa dua orang kepercayaan pemimpin Kamp disuruh turun langsung, akhirnya dia paham.

Para warga yang mengelilingi Ditya lari ketakutan.

Ditya berdiri tegak sambil menyisir rambutnya dan menggumam. "Pengecut! Berani dengan hewan tapi takut dengan pistol!"

Rasanya Cinta ingin meremas isi otak dokter Ditya.

VET vs dr. PLASTIK (NEW)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang