THE FIRST'S POV
Kecewa.
Satu kata yang sudah jelas apa yang terjadi malam tadi. Semua foto-foto itu ada di semua gadget Kiki, beberapa argumen semalam benar-benar membuat suasana canggung. Tidak, seharusnya Kiki yang merasa sedih, bukan aku.
Aku masih menyiapkan makanan pagi, Papa sama sekali tidak mengetahui kejadian kemarin, karena kamar Kiki kedap suara. Aku masih ingin menghindar dari Kiki, hatiku sakit ketika dia masih kekeh dengan pendiriannya itu.
"Dengerin kakakmu, Ki!"
"Aku tahu! Tapi Amu lebih buat aku jadi lebih baik!"
Jadi saat aku menemani tangisanmu di malam waktu itu hanyalah penghangat sementara? Ah, mungkin dia salah kata-kata, itu yang terjadi ketika seseorang tertangkap basah bukan? Tapi tetap saja kelakuan Kiki sudah diluar batas.
Aku sudah menyiapkan makanan untuk tiga orang. Aku? Aku tidak nafsu makan. Tapi aku membawa bekalku kok, walau bukan untukku. Dan untuk beberapa hari, aku tidak ingin terlalu berinteraksi dengan Kiki.
Uuji menatapku yang sedang memakai sepatu sekolah. Aku tersenyum dan mengusak rambutnya. Terlalu pagi sih, bel sekolah saja berbunyi pukul tujuh, dan sekarang masih pukul enam pagi.
"Kakak berangkat duluan ya. Assalamualaikum."
Tiba-tiba Kiki keluar dari pintu utama. Dan langsung mendekatiku yang baru saja selesai memakai sepatu. Aku langsung saja ingin meninggalkan Kiki dan Uuji.
"Kak.."
Aku tak bisa melihat wajahnya. Lebih tepatnya tak mau, nanti yang ada aku terlihat lemah. Aku langsung saja melenggang pergi dari rumah. Aku tak mau sampai Papa melihat keadaan kita seperti ini.
"Udah makan nya? Aku berangkat duluan. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam... kak!"
Aku menepis tangannya yang berusaha menggapai lenganku. Aku langsung memakai helm dan duduk di motor, menyalakan mesin motor dan meninggalkan Kiki dan Uuji didepan rumah yang menatapku pergi.
"Maaf, Ki. Tapi kamu harus sadar."
THE FIRST'S POV
Dikelas sedang ramai membicaralam nilai matematika ujian kemarin, aku tidak berharap apa-apa dengan nilai tambahan itu. Aku ingat betul, aku tidak terlalu niat mengerjakannya. Aku bisa merasakan Izar dan Fatimah menatapku dari belakang. Seharusnya aku bisa lebih bersikap normal dibandingkan ini. Secara Izar duduk di seberang sebelah kiri sedangkan Fatimah seberang sebelah kanan.
Fatimah dan Izar memberi kode satu sama lain. Berkomunikasi lewat gestur kepala, aku bisa lihat di ekor mataku. Aku mengabaikan mereka dan memastikan nilai matematikaku dikertas yang sedang ku pegang.
80.
Tidak buruk juga. Sepertinya aku hanya salah rumus dibagian nomor-nomor terakhir. Dibanding aku mengurusi nilai matematika, lebih baik mengurus adik angkatku, alias Amu di gedung sebelah, oh iya klub bela diri sepertinya mulai ku tinggalkan beberapa hari ini. Ku biarkan Izar yang mengurus klub, alasanku karena hanya sedang tidak bisa. Egois. Aku tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROTECT [WEE!!! X READER]
FanfictionPeranku dipertaruhkan bagaimana aku bisa selalu menjaga kedamaian mereka. originally by © Amoeba Uwu © writerarl