Bagian 01

15 5 0
                                    


***

Andresmara Winata Candra.

Tentu saja, ia memiliki nama yang entah jika didengar ataupun dilihat akan sama indahnya. Kedua orang tua Winata seperti sudah tahu jika nama yang diberikan untuk putranya, kelak akan sangat cocok dengan perawakan tubuh putra mereka dimasa depan.

Namun sayang, wajah putra mereka jarang sekali menampakkan senyum. Aku kerap kali berpikir, beban apa yang sedang ditanggung Winata sampai-sampai untuk tersenyum pun laki-laki itu terlihat enggan.

Pernah terpikir di otak konyolku jika Winata memiliki semacam pantangan untuk tersenyum. Jika jumlah senyum Winata sampai melebihi batas yang telah disepakati, maka ketampanan yang dimiliki laki-laki itu akan lenyap.

Hal itu berakhir dengan diriku yang mendapatkan jitakkan yang cukup keras tepat di jidat saat Aku mengutarakan pemikiran itu secara langsung di depan Winata.

“Jangan keseringan berkhayal, kamu mulai tidak sehat.”

Secara tidak langsung laki-laki ini mengatakan jika Aku gila, kan? Winata memang benar-benar menyebalkan.

Tapi setelah Aku memikirkannya kembali, rasanya tidak ada yang salah jika Aku berpikir demikian. Hanya beberapa kali Aku mendapati Winata benar-benar tertawa. Biasanya laki-laki hanya sebatas tersenyum tipis, itupun sebatas sebagai formalitas. Anehnya Winata akan tersenyum atau bahkan sampai tertawa dalam keadaan yang tidak bisa duga.

Aku ingat sekali, saat itu pertama kali Aku melihat Winata benar-benar tertawa sampai kedua pipinya menampakkan lesung, yang saat itu juga baru Aku sadari dimiliki Winata. Akan tetapi saat mengingat kejadian itu bukan rasa senang yang akan terlintas dipikiranku, justru rasa sebal yang lebih mendominasi perasaanku.

Pasalnya dengan tidak tahu dirinya, Winata justru tertawa puas saat Aku baru saja kehilangan sepatu yang baru saja Aku beli minggu lalu. Bukannya menenangkan diriku yang jelas-jelas tengah menangis sesegukan di depannya, Winata justru tertawa seolah-olah hal di depannya merupakan sebuah lelucon yang lumrah untuk dipertawakan.

“Kalo ada yang liat kamu sekarang, mungkin mereka bakal ngira kamu baru aja ditinggal mati sama suaminya.”

"Iya, kamu yang mati, kalo nggak tutup mulut!"

Mendengar ucapan yang dikeluarkan Winata barusan, membuat rasa ingin melempar Winata dengan sebelah sepatuku semakin tinggi. Winata tidak tahu saja, berapa lama waktu yang harus kuhabiskan untuk menabung sepatu ini, yang sialnya belum sampai dua kali Aku memakainya sudah hilang sebelah.

“Kamu kayak gembel, bangun, Leka.”

Aku benar-benar mewujudkan apa yang ada dalam otakku beberapa waktu yang lalu, saat Winata semakin keras menertawakanku. Sayang sekali lemparanku meleset, sama sekali tidak menyentuh tubuh Winata barang seujung kaki pun.

Tangisku semakin terdengar, melihat lemparanku yang meleset. Aku masih ingat betul saat itu Aku benar-benar manangis seperti anak kecil yang sedang merajuk karena tidak diberikan mainan. Rasanya malu sendiri saat mengingat hal itu.

“Sepatu kamu nggak akan datang sendiri, kalo kamu cuma nangis. Ayo cari!”

Tahu-tahu laki-laki itu sudah berjongkok di depanku menjajarkan tubuhnya dengan Aku yang juga masih berjongkok, sembari tangannya bergerak merapikan rambutku yang bentuknya sudah tidak karuan.

Wajah Winata sama sekali tidak terlihat seperti orang yang baru saja tertawa habis-habisan seperti orang gila tadi. Wajah Winata sudah kembali seperti biasanya.

Masih dengan sisa tangisan tadi, Aku meraih uluran tangan Winata. Mengikuti langkah pelan Winata yang mulai menyusuri jalanan di dekat kostannya.

Tentu saja, Aku tidak melupakan sebelah sepatuku lainnya, jangan sampai Aku kembali dibuat mencari untuk yang kedua kalinya nanti.

Terbang untuk PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang