Chapter 2

1 0 0
                                    

Hari-hari berikutnya, di waktu yang sama, Gio tetap belajar mengayuh sepeda bersama Ayahnya. Gio semangat sekali belajar mengayuh sepeda. Sekarang, rasanya sepeda Gio sudah seperti sahabatnya. Tidak ada lagi rasa takut untuk mengayuh sepeda didalam diri Gio. Hingga suatu hari, dia melihat teman-temannya yang bermain sepeda sampai ke jalan raya.

"Wahh, mereka sampai ke jalan raya ya mainnya. Hmm, aku juga harus bisa seperti mereka! Kan aku udah lancar naik sepedanya." -batin Gio.

Gio      : "Yah, Gio mau main kesana ya, Yah. "
Jovan : "Ke jalan raya???"
Gio      : "Iya, Yah!"
Jovan : "Oke boleh. Tapi ayah tetep pantengin kamu ya!"
Gio      : "Oke Ayah!!!"

Gio dan Ayahnya pun mengayuh sepeda hingga sampai ke tepi jalan raya. Perasaan Gio campur aduk saat itu. Di satu sisi rasa takutnya tiba-tiba muncul. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi di sisi lain, dia ingin bisa seperti teman-temannya yang mengayuh sepeda sampai ke jalan raya.

"Gak! Gausah takut Gio! Kamu pasti bisa kaya temen-temen!!! Kamu harus jadi orang yang pemberani! Ini cuma naik sepeda! Kamu pasti bisa!" -batin Gio meyakinkan dan menyemangati dirinya.

Jovan : "Hati-hati ya, Nak.. ingat ini jalan raya. Harus fokus ya naik sepedanya."
Gio      : "Siap, Yah!"

Dengan penuh semangat, Gio mengayuh sepedanya perlahan demi perlahan.

(Flashback on)
Mely  : "Ahahaha cowo cemen!!!"
Rafi    : "Ga malu ya udah gede belum bisa naik sepeda?!"
Sindy : "Huuuu"
Evan  : "Ahahha! Huuu"

"Mereka jahat!!! Nih liat sekarang! Aku buktiin kalo aku bukan cowo cemen! Berani-beraninya mereka ngata-ngatain aku!" -batin Gio dipenuhi rasa muak dan marah.

Tanpa disadari, kemarahannya ketika Gio mengayuh sepeda, membuyarkan konsentrasinya. Gio hilang kendali dan...

"Darrr"

Suara itu berasal dari sebuah mobil yang menabrak sesuatu.

"Ya Tuhan. I-itu i-itu anakku." -batin Jovan.

Badan Jovan sedikit gemetar. Wajahnya terlihat sangat shock. Matanya terfokuskan pada titik sumber suara itu. Ya, Jovan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa mobil itu menabrak anaknya, Gio. Jovan berlari menghampiri anaknya yang sudah tak berdaya, berlumuran darah dibagian kepala, tangan, dan kaki.

Tanpa pikir panjang, Jovan menelpon ambulance. Denyut nadi Gio masih dapat dirasakan. Berharap nyawa anaknya masih bisa diselamatkan.

Ditengah perjalanan menuju rumah sakit, betapa hancurnya hati Jovan. Dia mendapati denyut nadi Gio yang sudah tidak dapat dirasakan lagi. Jovan menangis menggerung dihadapan jasad anaknya itu. Ia merasa kecewa dengan dirinya yang tidak bisa menjaga Gio dengan baik. Ia tidak bisa membayangkan betapa terpukulnya Wulan, istrinya ketika melihat anaknya dalam keadaan tak bernyawa.

Ambulace pun mengantarkan Jovan dan jasad Gio ke rumah.

Wulan : "H-hah? I-ini apa maksudnya?!?!"
Jovan   : "M-maafkan aku.. ini semua karena kelalaianku, Lan. A-aku sungguh m-minta maaf...."

Wulan tak bisa membendung air matanya. Perasaannya campur aduk. Bagaimana bisa anak kesayangannya yang tadi sore masih tertawa ceria bermain sepeda, tiba-tiba tak berdaya, tak bernyawa?!

Jovan pun menceritakan kejadian yang terlah terjadi sambil menangis. Wulan tidak bisa membayangkan betapa mengenaskannya Gio ketika tertabrak hingga hilang nyawanya. Hatinya sakit sekali.

Namun, apalah daya jika nyawa sudah tak ada. Menangis sekeras apapun tidak akan mengembalikan nyawa Gio.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 12, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sepeda GioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang