Gue mempercepat langkah setelah mendengar announcement bahwa KRL dengan tujuan akhir Jakarta Kota sebentar lagi sampai, emangnya siapa sih yang mau telat di hari kerja? Segera setelah sampai di peron, gue berjalan menuju tempat di mana buntut gerbong akan berhenti. Ya, gue emang lebih suka berada di gerbong belakang sih. Meskipun jadi jalan jauh saat turun, tapi gak masalah. Kalo ditanya alasannya kenapa suka di gerbong belakang, itu semua karena dia.
Sial, gue jadi senyam-senyum sendiri.
Gue melesat masuk sesaat setelah penumpang turun, dan langsung menduduki kursi kosong yang ada di depan mata. Baru beberapa detik pantat gue beradu dengan kursi empuk, gue melihat lansia yang baru saja masuk kereta.
"Pak, duduk sini aja, Pak!" gue mempersilahkan bapak itu menduduki tempat gue.
Orang-orang yang kebagian tempat duduk usianya mungkin masih sebaya sama gue, tapi mereka pura-pura bego aja. Ada yang tidur, make earphone, atau ada yang emang gak mau ngalah. Biarin aja pantatnya nempel sama kursi kereta!
Setelah bercengkrama sedikit dengan bapak tadi, gue izin pamit karena harus mencari tempat untuk berdiri dengan nyaman. Tempat yang gue tuju adalah pintu masuk dan keluar kereta, lumayan bisa sambil nyender.
Oh iya, kita belum kenalan ya? Nama gue Wira Hadi Kusuma. Kalian bisa panggil gue Wira, Hakum, ataupun Boncel. Enggak, gue gak biasa dipanggil Sayang. Geli. Gue sekarang jadi social media specialist di sebuah perusahaan start up yang gak gede-gede banget. Tapi gaji kerjanya masih cukuplah buat beli indomie dua kardus tiap bulan.
Kereta berhenti di Stasiun Cikini, dan di stasiun inilah semua cerita manis terjadi. Tepat pukul delapan lewat tiga puluh menit, cewek itu selalu masuk gerbong ini setiap harinya. Itu juga jadi alasan gue kenapa memilih gerbong ini.
Tapi dia nggak bener-bener duduk di gerbong ini, dia bakal jalan dua sampai tiga gerbong ke depan, hingga pada akhirnya punggungnya menghilang di tengah keramaian. Disaat itu juga senyum gue merekah.
Dia berhasil membuat gerbong yang dikenal suram karena isinya kebanyakan cowok, jadi ada warnanya. Entahlah, jatuh cinta kadang emang bikin orang ngalor ngidul. Dan sekarang gue lagi ngalor ngidul, karena gue lagi jatuh cinta.
Cewek itu biasanya turun di Stasiun Juanda, sedangkan gue turun di tujuan terakhir, Stasiun Jakarta Kota.
Gue selalu cerita tentang dia ke sahabat gue, Dandi. Bro, gue udah lama banget gak jatuh cinta saking sibuknya jadi budak korporat. Dandi menurut gue adalah orang yang tepat buat dengerin cerita gue, karena di kantor dia terkenal dengan sebutan Si Paling Ahli Urusan Cinta.
"Bego, apa susahnya ngajak kenalan?" tanya Dandi, nyolot banget nih anak make ngatain gue bego. Udah jelas gue sama dia masih tuaan gue. Sialan.
"Bega, bego aja mulut lo. Lo pikir ngajak kenalan itu segampang ngeklik tombol enter? Gue perlu ngilangin rasa malu gue, dan lagi kalo dia risih gimana?" tantang gue lebih nyolot lagi.
"Inilah kenapa lo jarang punya pacar, Kum. Cupu abis pas mau pdkt. Kalo lo beneran suka sama dia, ya lo harus usaha. Jangan cuma diem aja!"
Gue menghela nafas berat, sambil menyandarkan punggung gue. Sebenernya gue emang pengen ngajak dia kenalan, tapi gue selalu takut bakal bikin dia risih. Ini bahkan udah tujuh jam sejak gue ngeliat dia hari ini, tapi tetep aja pikiran gue jadi gak fokus karena dia.
Gue pulang dengan perasaan yang kalut. Kalo emang malem ini gue ketemu lagi sama dia, gue gak bakal nyia-nyiain kesempatan itu. Bener kata Dandi, gue harus usaha buat dapetin apa yang gue mau.
Jam pulang kerja adalah yang paling buruk. Keadaan kereta penuh sesak, dan gue gak mau jadi tempe penyet di dalem. Jadilah gue memilih gerbong tengah. Anjir, gue mepet banget sama pintu saking penuhnya nih kereta.
Gue memakai earphone dan dengerin musik untuk nenangin pikiran gue. Sementara kereta terus melaju, sampai pada akhirnya gue ngeliat dia. Enggak, ini bukan sekadar ngeliat dia dari jauh, dia ada tepat di depan gue. Kita berdua cuma dibatasin pintu kereta yang sebentar lagi bakal kebuka.
"Biarin yang turun dulu!" ucap satpam kereta yang bikin gue nyadar kalo sedari tadi gue kayak portal yang ngalangin orang jalan.
Setelah pintu kereta ditutup pun, pikiran gue masih ngawang. Dia ada di depan gue, cewek yang selama ini bikin penasaran, ada di depan gue.
"Pak, maaf, hand sanitizernya jatuh." ini pertama kalinya gue denger dia ngomong.GILA! Jantung gue mau copot rasanya, jangan sampe orang lain liat kalo sekarang muka gue udah persis kayak udang rebus!
"Biar saya ambilin, Pak." cewek itu berjongkok sambil menyelipkan anak rambutnya yang jatuh ke belakang telinga.
Saat dia begitu, gue ngerasa satu kereta ini dalam mode slowmotion. Astaga, Wira, sadar woy! Kemudian cewek itu kembali ke posisi semula, berselancar di internet, dan bersender di dinding kereta. Sementara gue entah kenapa malah salah tingkah kayak orang bego gini.
Tak lama announcer memberitahu bahwa sebentar lagi kereta akan sampai di Stasiun Cikini. Itu berarti dia bakalan turun. Gue harus kenalan, kan? Apa enggak usah? Perasaan ragu itu terus berkecamuk di pikiran gue.
Kereta perlahan berhenti, dan pintu kereta terbuka. Gue masih berdiam diri di tempat, sedangkan cewek itu udah keluar dari kereta.
"Pintu akan ditutup." ucap announcer.
"Pak!" gue berteriak ke arah satpam dan yang pastinya mengundang semua mata ngeliat ke gue, ah bodo amat!
"Saya mau turun, Pak!" satpam itu berdecak sebal kemudian menekan tombol yang ada di dekatnya, lalu pintu kereta kembali terbuka. Gue langsung mengambil langkah seribu, keluar dari kereta itu. Gue masih bisa denger ocehan dari penumpang lain soal gue.
Gue segera pergi ke pintu keluar stasiun, dan untungnya cewek itu belum terlalu jauh. Gue mempercepat langkah untuk menghampirinya.
"Mbak, maaf." panggil gue secara halus.
Tentu saja cewek itu menoleh ke arah gue, bikin gue terpaku dan gak tau harus ngapain. Dia melepas earphone yang tadinya masih terpasang di telinganya, dan kembali menatap gue, "Ada apa ya, Mas?"
"Maaf kalo kesannya gak sopan, tapi akhir-akhir ini saya sering liat Mbak," gue berdehem sedikit untuk menenangkan pikiran gue. "Kalo boleh, saya mau ngajak—" ucapan gue terpotong saat gue mendengar teriakan laki-laki dari seberang jalan.
"Dewi!" panggilnya.
Cewek itu menoleh ke arah laki-laki itu, "Iya, sebentar!" dia hanya melambaikan tangan. "Maaf ya, Mas. Saya udah dijemput suami saya. Saya permisi."
Sementara dia udah menjauh dan bahkan udah nyebrang, gue masih membeku di tempat. Berusaha mencerna perkataan cewek yang dua bulan ini jadi crush gue, berusaha menerima bahwa ruang di hatinya udah gak bisa ditempatin siapapun. Termasuk gue.
Gue tertohok sama kenyataan dia yang selama ini bikin gue gak fokus, yang jadi penyemangat gue setiap berangkat kerja, ternyata udah diikat sama orang lain dengan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya. Iya, gue baru sadar kalau selama ini dia pake cincin nikah. Pada akhirnya kita berdua sama-sama memilih pulang, bedanya dia pulang bersama orang yang dia anggap rumah, dan gue pulang sendirian.
Ibarat kereta yang selalu mampir dari stasiun ke stasiun, kita juga kadang mencoba berhenti untuk menetap sama orang lain. Tapi kadang karena satu dan lain hal, kita pada akhirnya mencoba meninggalkan orang itu, untuk beralih ke orang yang baru dengan kisah yang baru pula.
✨✨✨✨✨
Funfact : aku balik nulis lagi setelah sekian lama, tapi baru berani nulis oneshot aja soalnya takut mandek lagi kalo nulis berchapter huhu :((
KAMU SEDANG MEMBACA
kereta dan kamu. [oneshot]
General FictionSelama dua bulan Wira terus menerus memikirkan tentangnya, dan kereta selalu menjadi tempat favorit bagi Wira. Namun, kenyataan pahit menohok harus ia hadapi.