"Lang, kamu tak belajar lagi?" Di bingkai pintu kamar Elang, seorang wanita berusia kepala empat mengembuskan napas berat. Kain-kain bertumpuk rapi di kedua tangannya. Ibu memandangi punggung Elang yang sedang berpura-pura tidur di atas kasur dengan tatapan prihatin. "Sebesar itu rasa kecewamu pada Ibu, ya, Lang ... sampai-sampai kamu bersedia mogok belajar, meskipun itu hal yang paling kamu sukai sejak kecil."
Tidak ada respons sama sekali.
"Oh, ya. Lagi-lagi, Ayah menanyakan kamu, Elang. Setiap Ibu lihat Ayah, pasti yang pertama kali ia tanyakan adalah kamu. Kamu cuma marah sama Ibu, kan, Lang? Semoga kamu bisa menyempatkan waktu untuk menjenguk Ayah, ya ...." Senyuman getir tergurat di kedua sudut bibir itu. "Tadinya, Ibu mau minta kamu antarkan pesanan jahitannya Bu Haji Amir ini, tapi sepertinya kamu sudah kelelahan."
Di posisinya, Elang bergeming, tak bergerak walau hanya satu mili. Samar-samar, indra pendengarannya bisa menangkap suara langkah kaki Ibu yang kian menjauh. Masih memunggungi bingkai pintu, pundak Elang naik-turun, berusaha menetralisir rasa sesak di dada. Sedari tadi, matanya tak terpejam sama sekali. Telinga Elang terpasang erat untuk mendengarkan setiap kata yang terlontar dari Ibu.
Ayah, ya? Sudah berminggu-minggu lamanya Elang tak melihat sosok pria tersebut.
Kedua tangan Elang terkepal kuat. Tidak. Sejatinya, ia tidak pernah benar-benar menginginkan ini terjadi. Akan tetapi ... ego menahan langkah kaki Elang untuk terus memutari labirin yang berbelit-belit. Jalan keluar itu memang tampak jelas di ujung sana, tetapi Elang telanjur menyerahkan diri untuk mengabdi pada harga diri dan gengsinya.
Pusing dengan kepala yang tak mempan disuruh diam, Elang akhirnya bangkit untuk duduk di atas kasur. Semestanya berisik sekali, tidak seperti rumahnya yang terasa lengang. Elang mengedarkan pandangan ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ibu pasti sudah berangkat. Tanpa perlu berpikir dua kali, Elang menyambar jaket hitam yang menggantung di kenop pintu. Kakinya tergesa-gesa keluar rumah setelah melapisi kaus putihnya dengan jaket.
Dunia Elang sudah teramat pengap. Ia butuh spasi, tempat lain untuk mengistirahatkan segala ricuh dalam benak. Langkahnya tak terjeda walau hanya sesaat. Elang sendiri tidak tahu harus pergi ke mana. Yang penting, melarikan diri sejauh yang kakinya bisa.
Langkah Elang baru terhenti ketika menyadari dirinya sudah berada di hadapan sebuah sungai yang besar. Ini Sungai Cimulu, tempat yang terbilang sepi karena jarang sekali dilalui kendaraan, terutama di sore hari begini. Di saat Elang hendak menumpahkan segala resah di kedalaman air, teriakan cempreng sudah lebih dulu mengacaukan perhatiannya. "Tuan Emosian!"
Ya. Elang tidak tahu bahwa gurat semesta telah menarik garisnya dengan garis anak perempuan itu untuk saling bersinggungan di titik temu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Pikir, Burung Tidak untuk Hidup di Palung
Historia CortaBurung itu terbang tinggi di angkasa, bukan mendekam di palung terdalam! Elang tak terima dengan keputusan Ibu yang menyekolahkannya di SMA Pertitas, SMA Pertiwi Tasikmalaya. Jangankan bergelimang prestasi, masuk sekolah top seribu UTBK saja tidak m...