Perhatian!
Cerita ini merupakan karya fiksi belaka. Seluruh kejadian, dan nama tokoh diambil dari imajinasi penulis secara orisinil.
Malam yang diselimuti dingin, merebakkan hawa senyap nan sunyi yang mencekam. Tidak ada suara, kecuali derik jangkrik dan derap langkah kaki yang pasti menuju sudut kampung. Sekarang hatinya berdebar karena ragu dan takut yang beradu. Seiring semakin dekat dengan tujuan, pohon - pohon tinggi menyapa dengan gelap yang dibuat olehnya. Seakan menertawakan atas ketakutan lelaki itu saat ini.
Sampai di sebuah rumah kecil bersinarkan lampu kuning. Pintu kayu itu langsung terbuka. Menampilkan figur pria paruh baya berjenggot putih tersenyum menyambut dan menyuruhnya masuk.
"Makasih sudah datang. Aku kira kamu ragu dan memilih untuk tidak lagi melanjutkan perjuangan kita." Kata Nyong.
Tamunya tadi - Ahmad tak menjawab apa - apa. Dia didudukkan di ruang tengah yang remang - remang. Dijamu dengan secangkir teh hangat dan gorengan ampas kedelai. Nyong kembali sambil membawa satu lingkar sabuk dengan tabung - tabung yang berbelit kabel. Disertai remote pengendali jarak jauh. Dengan nanar Ahmad menatap satu set benda tersebut. Ia jadi sukar meneguk ludahnya.
Nyong menyodorkan barang itu dengan seutas senyuman. Matanya menatap setia raut Ahmad yang mulai meragu.
"Ingat Ahmad, kamu kepercayaanku dan tolong jangan kecewakan aku." ucap Nyong yang menjadi penutup malam bersejarahnya.
***
"Tari! Ayo Mandi!" teriak Purnama dari dapur sambil menunggu ikan pindangnya selesai dimasak. Ia menanti si bungsu bertindak.
"Nunggu masakannya mateng, mbak!" balas Mentari dari halaman depan sana. Purnama merengut bingung.
"Ikannya udah mau mateng. Kalau kamu nggak segera mandi kamu nanti nggak dapet nasi loh!" ujar Purnama lagi.
"Masakanku ini loh, mbak. Belum mateng."
Purnama menghela napas. Pasalnya adiknya sudah disuruhnya untuk mandi dari tadi. Ternyata mainan masak - masakannya yang tidak kunjung matang membuat Mentari enggan menurut. Purnama mematikan kompor dan mengangkat ikan pindang itu. Setelah meniriskan ikan, ia segera menjemput si bungsu di halaman dan menarik tubuh kecil itu untuk mandi. Tentu Mentari memberontak. Tapi tak lama ia menadi bungkam setelah menyadari bahwa ia sudah berada di bilik mandi dalam keadaan bugil.
Tak lama, tiba si sulung - Angkasa sambil membawa adik ketiga - Topan seperti karung beras. tatapan Purnama menyiratkan pertanyaan. Tapi Angkasa hanya menghela napas dan menggeleng pelan.
"Habis ngapain dia?" tanya Purnama.
"Bandel tuh, lagi puasa malah nyoba nyebat di simpang jalan. Sok keren." balas Angkasa sambil menurunkan tubuh kerempeng itu. Topan berjingat tidak terima dan menatap kedua kakaknya.
"Aku nggak puasa kok." bela Topan yang malah dibalas tatapan tajam oleh Angkasa. Topan semakin gelagapan. "Nggak gitu maksudnya... Mas Kasa ini sukanya ngarang."
"Orang gue sendiri yang lihat pake mata kepala gue sendiri!" Balas Angkasa mulai meninggi. Purnama menengahi diantara dua saudara lelakinya lalu menghela napas untuk kesekian kali.
"Udah sekarang semua bersih diri sana. Wudhu, biar Nana siapin makan." ucap Purnama lalu beranjak menuju dapur. Dan ternyata perdebatan dua lelaki itu belum usai.
"Lo kalo dibilangin makin lama makin bebal! Bapak nggak pernah ngajarin lo begitu!"
"Topan juga pengen seneng, Mas! Topan capek hidup susah terus. Makanya kapan kita kaya biar Topan nggak main di jalanan lagi?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seteguh Langit Kala Itu ;
FanfictionAda satu hal yang tidak pernah terkalahkan dalam dunia ini, hatimu dan kasih sayang keluargamu. Meski kala itu, langit harus meruntuhkan rintik hujan di titik jenuhnya. | local treasure ; pjw lead |