Jam tanganku menunjukkan pukul 16.30 WIB tapi belum ada tanda-tanda surya akan berpamitan. Surabaya masih pada prinsipnya, panas dan macet. Lalu lalang kendaraan menghalangi pandanganku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa truk-truk berbadan besar itu tak menganggu langkahku.
Pintu gerbang dengan warna biru menyambut kedatanganku. Ya, aku dan teman-teman sengaja pergi ke pelabuhan hari ini. Membeli tiket dan berjalan ke atas gedung untuk melihat kapal berpamitan. Tak banyak yang aku lakukan. Hanya berfoto beberapa kali dan menyaksikan riuh suara orang-orang yang sibuk meminta tolong untuk di foto.
Tua, muda, bahkan anak-anak menghiasi pandanganku sore ini. Tak ada yang ku sesali meski harus bermacet-macet ria. Semua terbayar dengan pemandangan kapal-kapal yang berlayar dan laut yang tenang. Aku hanya diam menikmati angin mengecup pipiku sembari berpikir, "mengapa laut yang setenang ini, kerap kali membawa kesedihan?"
Mataku menyisir, mengamati segala hal yang ada di pelabuhan ini. Aku menangkap sosok yang akhir-akhir ini kerap diperbincangkan. Dia temanku satu kelas. Naura namanya. Kulihat dia duduk menyendiri dengan mata yang tertuju ke arah lautan lepas. Aku tau dia sedang sedih. Sorotan matanya begitu perih, bahkan mulutnya saja tak mampu mengatakan apapun. Aku ingin menghampirinya, namun aku sendiri terlalu malas untuk sekedar beranjak dari tempatku. "Maaf," kataku dalam hati.
"Nabita Caesaria Hermawan, ngapain si cuma duduk-duduk di sini? Ayo dong kita foto-foto." Ajak Acha, temanku satu circle.
Belum sempat aku memberikan jawaban, tanganku sudah ditarik olehnya. Kami berdua berfoto sepuasnya lalu aku diajaknya bergabung dengan teman yang lain. Aku duduk di bawah, ngemper aku menyebutnya. Mataku masih mengamati orang-orang. Hingga aku menemukan satu sosok lagi di ujung. Benar, dia adalah Samudra Bintang Tenggara. Aku berdiri menjauh dari teman-temanku, mencari tempat terbaik untuk memandangi objek yang satu ini.
Kami saling melempar pandang. Diam-diam agar tak ada yang tahu. Lalu, hilang entah kemana manusia satu itu. Tapi, tetap saja mataku masih lurus ke arah tempat yang pertama kali digunakannya duduk.
"Lihat, bahkan bekas tempat dudukmu saja begitu aku perhatikan, Sa." Gumamku pelan sembari tersenyum kecut."Pipimu merah, apakah cuaca di sini menyakiti kulitmu, hmm?" Suara itu, aku seperti mengenalnya.
Kuputar tubuhku 180° dan boom!!! aku terkejut bukan main. Samudra ada di belakangku. Tersenyum seperti biasanya dan memandang sama teduhnya. Aku belum menjawab pertanyaannya. Aku terlalu sibuk memikirkan sejak kapan manusia ini ada di belakangku.
"Ta, kok malah melamun?" Tanyanya menyadarkanku.
"Ah, nggak kok. Ini itu apa cuacanya emang sedikit panas jadi merah deh. Tapi nggak papa kok." Selalu seperti ini jika dihadapkan dengan sosok Samudra Bintang Tenggara.
"Duduk gih, jangan berdiri terus nanti capek." Ucapnya lembut sekali, nyaris seperti bisikan.
Seperti sihir yang diberikan oleh Gothel, ratu jahat yang menyulik Rapunzel. Aku hanya menganggukkan kepala lalu pergi duduk bersama teman-temanku. Siapapun sadarkan aku!!
Aku hampir saja kehilangan kewarasan dan kesadaran jika tidak diajak bicara oleh temanku, Hanggini. Katanya aku seperti orang gila yang senyum-senyum sendiri dengan padangan lurus ke depan.
"Bagaimana aku tidak tersenyum jika manusia yang sedari dulu aku kagumi memperhatikan pipiku yang merah?" Gumamku dalam hati."Woy, Stress lama-lama ni anak. Tadi senyum sendiri, sakarang diem terus." Ucapnya dengan suara ngegas.
"Apaan si, Ha?! Aku tuh lagi seneng liat kapal sama laut kaya gini. Mangkannya aku nggak berhenti senyum." Jawabku dengan nada sensi.
Aku tak sepenuhnya berbohong. Selama 7 bulan menjadi pendatang di Surabaya, aku belum pernah melihat laut. Mungkin memang tak seindah lautan di daerah Jogjakarta, tapi ia tenang dan memabukkan, sama seperti Samudra Bintang Tenggara.
Hari semakin malam. Cahaya yang bersumber dari lampu-lampu kapal mulai memenuhi lautan. Ah, pemandangan ini nampak seperti bintang di lautan. Kerlap kerlip menyapa setiap mata. Keindahan pulau seberang mulai digantikan oleh bintang-bintang yang turun ke laut.
Satu jam aku duduk di sini, namun belum ku temui ikan. Apakah mereka sedang tidur? Atau memang sengaja berimigrasi ke langit karena bintang-bintang turun ke laut seperti yang dikatakan oleh Samudra kala itu? Aku akan mencari ikan-ikan itu dengan melihat ke atas langit.
"Apa ikan-ikannya tidak jadi berimigrasi ke langit, ya?" Gumamku sembari menatap langit.
"Hanya orang tolol yang percaya ikan-ikan di langit." Saut Hanggini ketus.
"Ish, emang kenapa si, Ha? Orang bener kok ikannya ke langit, karena bintangnya turun ke laut. Samudra juga pernah bilang gitu ke aku."
"Kamu masih percaya sama omongan ngga berbobot Si Samudra? Wahh polos bangett. Besok-besok kalau dikasih permen sama orang jangan mau ya, Dek." Ucap Hanggini sembari mengelus pucuk kepalaku.
Aku masih tidak paham dengan apa yang dikatakan Hanggini. Menurutku Samudra benar. Semua ikan di laut berimigrasi ke langit karena Bintangnya turun ke laut.
"Mbak, minta tolong fotoin, ya." Suara ras terkuat di bumi tiba-tiba mengusik telingaku.
Kuputar kepalaku menghadap suara tersebut. Tak lama aku menghembuskan nafas lega. Ternyata bukan aku yang dimintai tolong. Bukannya jahat, hanya saja memfoto emak-emak bukanlah hal yang mudah. Mereka itu banyak sekali permintaan dan mengeyel. Jangan lupakan satu hal itu. Sifat yang sangat sulit sekali dipisahkan dari para kaum hawa.
Aku lagi-lagi menjadi pengamat. Kali ini aku mengamati tiga ibu-ibu yang meminta tolong temanku tadi. Mereka terlihat bahagia sekali. Sesekali mereka berteriak, katanya sih supaya terlihat lebih ceria. Entahlah.
Aku dan teman-temanku yang lain tak kuasa menahan tawa melihat tingkah ibu-ibu yang meminta difotokan tadi. Sungguh, mereka terlihat begitu bahagia hingga kami pun tertular bahagia. Kalau kata Hanggini, "umur segitu emang lagi lucu-lucunya."
Saking lamanya kami tertawa, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 18.30 WIB. Itu tandanya kami harus berpisah dengan pelabuhan. Suara announcer sebagai pertanda bahwa kapal Dobosolo tujuan Makasar akan segera meninggalkan Pelabuhan Tanjung Perak. Apabila kapal Donolosolo berangkat, itu tandanya hari sudah mulai malam.
Aku dan teman-teman memutuskan untuk menjauh dari pelabuhan. Kuarahkan mataku kembali menghadap bangunan tinggi di depan sana untuk berpamitan. Cerita hari ini akan ku simpan baik-baik dalam memori. Naura yang kesepian, Samudra yang selalu mengesankan, dan ibu-ibu yang heboh saat difoto. Semua akan selalu terekam manis dalam otakku.
°TAMAT°
KAMU SEDANG MEMBACA
Dermaga Utara
Short StoryIni tentang Nabita Caesaria Hermawan dan apa yang ia saksikan di Dermaga Utara.