8; Hanya Mimpi?

12 0 1
                                    

"Kak?"

Perlahan, mata Cheva terbuka. Orang yang pertama kali lihat ialah, Elang. Tangisannya pun tidak bisa di cegah.

Elang memeluknya sangat erat, seakan tidak ingin melepaskan Cheva. Tidak terasa, air matanya mengalir begitu saja, segera Elang menghapus air matanya.

Dengan semalaman yang gelap, dan penuh duka. Kini, sang mentari pagi menyapa, untuk membawa mereka bangkit dan kembali beraktivitas.

"Papa?" tanya Cheva tiba-tiba melepas pelukannya. Ia yang tengah berada di salah satu ruang rawat, karena pingsan.

Jantung Elang seakan tertusuk dengan pertanyaan Cheva yang menanyakan keberadaan Galang.

"Elang. Papa baik-baik aja kan?" tanya Cheva dengan mata penuh harap.

"Ayo." ajaknya, sembari merangkul tubuh Cheva.

Mereka keluar ruangan, berjalan perlahan.

Cheva menatap Elang. "Kita mau kemana?"

"Ketemu papa." jawabnya, ia tidak berani menatap Cheva.

"Tapi, untuk yang terakhir kalinya." gumamnya sangat pelan, hingga tidak terdengar oleh Cheva.

Mereka berjalan tidak jauh dari ruangan Cheva. Sekarang mereka tengah berhenti di depan kamar mayat.

Cheva kembali menatap Elang. "Kenapa di sini?" tanyanya, ia menarik pergelangan tangan Elang. "Papa masih di ruang ICU. Ayo." ajaknya.

Dengan sigap, Elang langsung memeluk tubuh Cheva. Sudah tidak ada tangis terdengar dari mulut Cheva.

"Elang, papa masih di sana, bukan di sini. Ayo!" ajaknya lagi, dengan Cheva yang masih berada di pelukan Elang.

"Papa?"

"Jaga kakak kamu baik-baik, Elang. Maafkan papa, papa tidak bisa mendidik kalian dengan baik, tidak bisa merawat kalian bagaimana semestinya orang tua. Biarkan papa menyusul mama kalian di sana." ucap Galang dengan senyuman, dan air mata yang masih menggenang.

Galang menggenggam tangan tangan Elang dengan erat. "Dan papa harap, kamu mau memaafkan papa, agar bisa tenang meninggalkan kalian."

Pesan yang di berikan Galang, sungguh membuat dada Elang semakin sesak.

Ia menarik tubuh Elang, untuk memeluknya. "Sekali lagi, papa minta maaf..." ucap Galang sangat lirih.

Perlahan, pelukan itu melonggar. Hingga tangan Galang lemas tidak berdaya.

Tuuutttt.....

Alat detak jantung berbunyi nyaring, menampilkan garis lurus horizontal terpampang di layar monitor.

Tubuh Elang tegak kembali. Dengan sedih yang begitu mendalam, ia sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi.

Dengan kehilangan kedua orang tua, hidup Elang terasa berat. Pertama, ia tidak bisa melihat cantiknya wajah sang ibu. Dan yang kedua, pertemuan terakhir dengan sang ayah begitu buruk. Tidak ada kesan yang manis di antara kedua orang tuanya.

Mereka masuk ke dalam kamar mayat, dengan perlahan namun pasti. Elang menuntun Cheva berjalan ke arah Galang.

Hati-hati Elang membuka kain putih tersebut, hingga terlihat jelas bahwa Galang sudah memejamkan matanya, dengan tenang.

Langkah Cheva mendekat, lalu memeluk tubuh Galang yang sudah terbujur kaku tak bernyawa.

"Papa..." lirihnya terus memanggil, air matanya terus menalir tanpa isakan.

Elang melihat betul, bahwa Cheva juga sangat terpukul dengan ini. Pesan yang di berikan Galang pun, ia masih ingat jelas di telinga dan fikirannya.

****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Elang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang