SANG PANGERAN FIKSI

4 2 0
                                    

Jantung Vio tidak bisa berdebar dengan normal. Rasanya seperti sedang memompa ban sepeda saja. Risa, mamahnya Vio, saat ini sedang mengantar papahnya ke rumah sakit akibat pukulan manusia jadi-jadian tadi.

Vio sendiri ada di rumahnya, menjaga adiknya, juga memantau setan dalam rupa manusia itu. Tidak bebas, karena terjebak di dalam kamar adiknya. Kamarnya sekarang sudah menjadi singgasana anak raja.

Entah apa yang sekarang cowok itu lakukan. Vio tak bisa membuka pintu kamar ini hanya untuk memastikannya. Apalagi saat ini adiknya merasa sangat takut dan nyaris saja menangis. Sial! Untuk apa Vio membeli novel tua itu? Jika tidak, mungkin akan berbeda.

Haaa!

Teriakan Vio keluar begitu saja, beberapa detik setelah dentuman keras dari arah ruang tamu. Adiknya menutup telinga, melemparkan hp milik Vio begitu saja mengudara.

"Astaga! Kenapa lagi ini?" geram Vio sekaligus takut. Apalagi melihat adiknya yang kini sudah menangis, menambah rasa khawatir juga gelisah. "Dek sini peluk kakak!" pintanya seraya menarik adiknya jatuh ke pelukannya.

Dug! Dug! Dug!

Ketokan tidak biasa dari arah pintu masuk menuju kamar ini. Vio tau, itu pasti ulah manusia gila itu-atau apapun wujudnya itu. Apakah pintu itu harus dibuka? Sepertinya tidak, karena beberapa waktu ke depan, pintu itu pasti sudah melayang atau malah hancur.

Vio dengan sigap menggendong adiknya. Membuka lemari pakaian, lalu menyembunyikan adiknya disana. "Dek, tunggu disini ya. Kakak bakal balik lagi!"

"Iya kak. Jangan lama-lama," jawab Leo, adiknya terbata-bata.

Oke. Sekarang tinggal Vio yang perlu bersembunyi. Tapi dimana ya, tidak ada tempat yang bagus disini. Sangat tidak aman berhadapan dengannya secara langsung.

Dug! Dug! Dug!

Ketokan itu semakin keras saja. Apalagi pintu itu terlihat bergetar seperti sedang didobrak. Tapi pikir Vio, mengapa begitu lama pria itu masuk kemari! Siapa sih yang ada dibalik itu? Mamah?

Lagi, asap hitam apa yang tiba-tiba muncul di kamar ini? Sihir? Begitu banyak pertanyaan di kepala Vio. Tidak ada tempat sembunyi, kini dia harus berani.

"Mah? Mamah udah pulang?" kata Vio memastikan. Dia mendekati pintu lalu menempelkan telinganya di sana. Berharap bisa mendengar sesuatu dari luar kamar.

Saat itulah pintu terbuka secara paksa. Vio terpental karena sebuah dorongan yang kuat. Jidatnya terbentur dengan sudut siku meja belajar sampai berdarah. Matanya tiba-tiba rabun, rasanya sangat berat. Inikah tanda orang akan pingsan?

Namun, sebelum mata Vio tertutup rapat, dia sadar cowok bak pangeran itu berdiri dihadapannya. Lagi, asap hitam apa ini yang semakin pekat. Bahkan udara terasa panas di ruangan ini, padahal sebelumnya tidak. Atau ini perasaan saat orang akan mati?

•••

Brama, cowok ini hanya bengong menatapi lalu-lalang orang-orang, masuk-keluar rumah dihadapannya. Dia tahu rumah itu terbakar, tapi tak ada niat membantu memadamkannya. Lagipula banyak sekali benda-benda mistis di rumah ini yang perlu dihancurkan.

Seperti benda sebesar perisai, didalamnya ada manusia, bisa berbicara [alias TV]. Sesuatu yang berputar di dinding [Jam]. Dan yang paling gila adalah benda seukuran telapak tangan, yang juga berbicara [handphone].

Benda-benda tersebut telah sukses dihancurkan oleh seorang Brama, beserta benda-benda lain. Lalu hasilnya adalah rumah yang terbakar itu. Dan saat ini dia mengincar monster besar bewarna merah, yang mengeluarkan air sungai dari belalainya [Damkar]. Tidak ada di tempatnya penyihir seperti itu, mampu mengendalikan air.

Dia mulai berjalan ke arah monster merah itu, siap menghajar kaki hitamnya hingga hancur. Tapi detik itulah seorang gadis terbangun dari pingsannya dan berteriak.

"Aa..., Adik aku ada di dalam. Kenapa bisa kayak gini?"

"Lara? Kamu sudah sadar?" Gumam Brama kearah Vio. Pikirannya sekarang teralih dari monster merah itu. Lantas dia berjalan mendekati Vio, yang terbaring di pangkuan seseorang.

"Adik saya mana bu? Kok gak ada disini?" tanya Vio pada orang yang memangku nya.

Ibu itu tampak bingung. "Tidak ada adik kamu sejak tadi nak. Kami cuma liat kamu, keluar digendong oleh anak cowok itu." Sembari menunjuk Brama.

Dia lagi. Vio ingin membunuhnya jika saja bisa. Tapi nyawa adiknya sedang terancam saat ini. Payah, Vio memang kakak yang buruk.

Dengan sisa tenaga yang ada, Vio berdiri. Api di rumahnya cukup besar, tapi nyaris seperti tidak menyentuh kamar adiknya. Dia berlari masuk kedalam, tidak peduli seberapa keras orang menghadangnya.

Melewati hawa panas api, menuju lemari tempat adiknya bersembunyi. Dia membukanya, dan Bruk.., sesosok tubuh mungil langsung jatuh dihadapannya.

"Leo..., maafin kakak ninggalin kamu lama disini," ucapnya sambil menangis. Vio memeluk tubuh kecil adiknya itu sangat erat, sambil menggendongnya hendak keluar.

Bruk! Tiang pintu yang terbakar jatuh begitu saja menutupi jalan keluar. Lagi, langit-langit mulai runtuh tak kuat menahan hawa panas. Untungnya ruangan ini tidak ikut terbakar. Tapi asap yang banyak, benar-benar bisa membunuh.

"Tolong..., Tolong...," teriak Vio. Tapi rasanya percuma, jalan keluar sudah terkunci rapat oleh puing-puing api. Tidak bisa melewati jendela yang dipasang seperti sel dalam penjara.

"Tolong..., Tolong..., Damkar bantu aku!"

Bruk!

Vio tersentak kaget. Seseorang baru saja menerobos puing-puing api itu. Dia yang sebelumnya menghadap jendela-meminta tolong, langsung berbalik dan malah terkejut.

"Setan itu? Untuk apa Dia disini?" batinnya berbicara. "Kenapa kau ada disini?" tanya Vio lantang.

"Kau meminta tolong kan? Aku bisa menolongmu." Brama berjalan mendekati Vio, dengan cepat menggendongnya. Bahkan Leo pun turut digendong olehnya.

Rasanya Vio ingin berteriak saat ini. Dia benar-benar takut berada dekat Brama. Takut akan dipukul olehnya juga takut jatuh dari gendongannya. Apakah Vio seringan ini hanya dengan satu tangan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dia BramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang