OOO.

84 8 0
                                    

Bunyi riuh jelas terdengar dari arah dapur, seruan penuh emosi yang bersahut-sahutan rasanya tak kunjung sirna. Di dalam sana, dua insan berwajah serupa terlihat beradu argumen sejak setengah jam lalu. Keduanya terlihat tak mau kalah, barang dapur pun berakhir menjadi sasaran kekerasan. Membahas topik yang selalu sama, rasanya tak pernah berubah, bahasan utama yang selalu persis sama, seakan telah ditelan oleh kedua insan itu dan selalu dijadikan alasan untuk beradu argumen.

Di ambang pintu dapur, lelaki yang berstatus bungsu di keluarga kecil itu tampak mengintip perselisihan dalam diam seraya menahan gejolak tangis. Hal ini kerap dilihatnya setiap hari, namun kali ini, rasanya sakit. Dadanya bergemuruh ingin segera mengeluarkan emosinya, namun tetap ia tahan demi menghindari kejadian yang tak diinginkan.

"Hey."

Lelaki yang sedari tadi mengintip perselisihan sengit itu pun menoleh dengan sedikit terkejut kala suara yang sangat dikenalinya menyapa indra pendengarannya. Dilihatnya pemuda berkulit tan menatapnya sayu dengan pelupuk penuh air mata yang siap jatuh kapan saja. Lelaki itu menunduk pelan, jarinya ia mainkan di bawah sana. Merasa takut menatap mata yang tertuju kepadanya kala itu. Pertahanannya sontak runtuh, ia terisak di hadapan sang kembaran.

"Maaf, gue lagi, ya?" ujarnya dengan suara serak penuh ketakutan.

Tak ada jawaban, rasanya senyap. Suara riuh dari dapur perlahan terdengar samar. Rasanya ruangan itu hanya berisi raga dan jiwanya saja. Lelaki itu kembali hancur, memori masa lalu kembali berputar pada benaknya secara abstrak, isak tangis pun semakin keras dan jelas terdengar.

Kemudian, dirasanya tubuh kecil itu menghangat, seseorang merengkuhnya, menyalurkan kehangatan pada tubuhnya. Memberi usapan hangat seakan memberitahu bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Enggak, bukan salah lo, dan gue percaya sama lo,"

Tangan yang semula merengkuh itu pun mulai menangkup pipi basah sang bungsu, menghapus jejak air mata yang akan kembali turun menggunakan ibu jarinya.

"Ayo, senyum, gue kangen senyum lo."

Si bungsu perlahan menarik kedua sisi bibirnya, membentuk senyum tipis dengan air mata yang masih setia turun begitu deras membasahi pipinya.

"Pinter, sekarang ayo, ikut."

; Nakala Ravielo BintareksaSi bungsu keluarga Bintareksa, yang selalu berharap kepada semesta agar mendapatkan secercah kebahagiaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

; Nakala Ravielo Bintareksa
Si bungsu keluarga Bintareksa, yang selalu berharap kepada semesta agar mendapatkan secercah kebahagiaan.

; Revano Jezziel Bintareksa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

; Revano Jezziel Bintareksa

; Jevino Ghavael Bintareksa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

; Jevino Ghavael Bintareksa

; Chandra Karelio Bintareksa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

; Chandra Karelio Bintareksa

Rain Streaks ; Na Jaemin.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang