Tong...!
Aku membuka mata, segera terbangun dari tidur saat mendengar suara lonceng raksasa. Suara itu menggema keseluruh penjuru kota.
Aku bergegas mandi dan bersiap-siap.
Segera keluar dari kamar dan mampir ke dapur untuk mengambil bekal yang telah disiapkan pembantu. Bergegas menuju stasiun Glp.Disana terlihat seorang gadis melambaikan tangan kearah ku. Aku tersenyum simpul dan berhenti di hadapannya.
"Hei! Bagaimana dengan kontesnya?" dia bertanya penasaran dan aku menggaruk tekuk.
"Menyebalkan sekali, sangat." Jawabku malas. Dia tertawa dan memukul pelan bahuku.
"Kontes berikutnya bungkamkan mereka, buat para juri itu terpukau oleh suaramu!"ucapnya memberi semangat. Kereta datang, dan kami segera masuk. Dia duduk disebelahku dan mengeluarkan sesuatu.
"Aku tau kau belum makan. Makanlah!" Dia menyodorkan sebuah roti lapis. Aku menerimanya dengan senang hati. Roti lapis buatan dia memang sangat enak.
"Hei Tye. Aku dengar kau akan pergi ke Voldro. Ada apa?" tanyaku penasaran. Tye berpikir sejenak.
"Ah itu, ibuku ingin aku membeli obat kesana untuk kakek. Kau taulah kalau di Voldro terkenal dengan penyihir penyembuh yang hebat," kemudian sesaat wajah Tye memerah. "Dan aku juga ingin belajar disana." Aku menoleh kaget.
"Kau tidak sekolah di Treas? Bukankah kita akan disana bersama?" Tye tampak menyesal, aku terdiam sejenak kemudian tersenyum. "Tak apa Tye, jadi bakatmu sudah terlihat ya?" Tye mengangguk malu-malu. Aku tertawa kemudian lanjut makan.
Saat berumur 12-15 bakat penyihir akan mulai terlihat, namun ada yang cepat dan ada juga yang lambat. Sekarang aku sudah berumur 15 tahun tapi bakatku belum terlihat. Ibuku adalah seorang penyihir dengan bakat membaca pikiran, mendengarkan alam, bisa berkomunikasi dengan hewan, dan ibu sangat terkenal dengan teknik penyembuhannya yang hebat.
Ayah lebih hebat lagi, dia memiliki kekuatan menghilang, pukulan yang kuat, membuat kubah pertahanan, mengendalikan naga, terkenal karena terpilih oleh pedang legendaris. Sekarang dia menjadi salah satu penyihir terhebat di Fyth.
Masih banyak lagi bakat ibu dan ayah, tapi kenapa bakatku belum ada?
Aku menatap jalanan, melihat rumah yang mengambang, melihat orang-orang yang terbang. Ada juga yang membuat daging panggang dengan tangannya yang bisa menguarkan api.
Roti lapisku telah habis dan kereta akan segera berhenti. Aku menghela napas malas. Di sekolah semua menganggapku istimewa. Dia adalah anak dari bla bla bla bla. Hanya Tye yang tidak terlalu begitu.
Aku melihat ada semut yang berbaris, aku terdiam dan menutup mulut terkejut. Aku mendengar mereka berbicara.
"Ayo!"
"Semangat!"
"Apa masih jauh?"
"Kau yakin kalau itu makanan?"
"Ya terakhir kali kau membuat kami hampir mati!"
"Maaf"
"Ayo cepat! Nanti disapu manusia!"
"Ikuti aku!"Aku tersenyum karena bakat ibu menurun kepadaku.
"Hei kalian mau makanan?" Aku berbisik, semut itu berhenti dan menatapku heran.
"Hei kau serius?" Salah satu semut bertanya, aku mengangguk dan mengeluarkan sebuah permen manis. Semut itu langsung bergerumun dan berdiskusi cara membawanya kesarang.
"Hei kau manusia, sungguh itu bakat yang langka. Jangan sampai kawanan gagak, dan ular mengetahui kau bisa berbahasa hewan!" Aku mengerutkan dahi "Terkadang mereka adalah penyihir hitam yang menyamar atau mereka adalah bawahan penyihir hitam!" Aku mengangguk dan tersenyum. Tye menyenggol lenganku heran.