Setelah kepergian

119 22 6
                                    

Seminggu setelah kepergian Yasa semua tampak berbeda. Begitu juga Kaluna yang hanya diam beberapa hari terakhir ini.  Contohnya seperti saat ini, di perjalanan menuju sekolah biasanya Kaluna akan merengek menolak dijemput Arsen karena ingin berangkat bersama Bara tapi saat ini ia justru diam dan menurut. Arsen melirik Kaluna yang duduk di kursi samping kemudinya dengan wajah murung.

"Hey kok ngelamun?" tanyanya seraya menyentuh pelan lengan Kaluna. Walaupun sudah pelan, nyatanya pergerakan dan suara tiba-tiba dari Arsen membuat Kaluna cukup terkejut.

"Kok kaget banget gitu?? ngelamunin apa?"

Kaluna menatap kaget ke Arsen yang sesekali melihatnya dan kembali melihat kearah depan.

Kaluna menggelengkan kepalanya, "kepikiran aja soal kasusnya Yasa, kayak nggak mungkin banget gitu dia  bunuh diri, Kamu percaya aku kan Sen?"

Arsen menatap ragu, "jujur aku bingung Ra, Yasa itu susah ditebak dia juga penyendiri"

"Tapi Yasa bukan orang yang mudah nyerah sama hidupnya Sen, dia emang selalu kesepian tapi dia bukan tipe orang yang mendukung tindakan bunuh diri juga"

"Kita nggak tau Auroraa.... kita cuma lihat luarnya aja. Kita nggak tau apa yang bener-bener dirasain Yasa, seberapa capeknya, ketakutan dan sepinya dia. Aku tau ini sulit diterima, tapi pelan-pelan diikhlasin ya? kasihan Yasanya biar dia tenang."

Tangan Arsen terulut mengusap punggung tangan Kaluna, "Kamu pasti kebayang-bayang sikap jahat dia yang tiba-tiba maki-maki kamu ya?"

Kaluna hanya diam tak menanggapi, sulit diterima dan ia masih merasa ada yang aneh.

--------------------

Gibran berjalan dengan lesu di koridor depan gedung olahraga, ia menggerutu sebal karena disuruh mengembalikan bola yang habis dipakai kelasnya olahraga. Sumpah ya, Gibran itu magerrrrr banget ikut olahraga ini malah disuruh balikin bola. Selesai mengembalikan bola di keranjang bola gudang, ia keluar gedung olahraga tapi mata sipitnya menangka sosok Aksara yang tengah terburu-buru berlari menuju ruang Osis.

"Sok sibuk banget si murid teladan alias telat edan" gumamnya mencibir Aksara.

"Siap yang edan?"

Gibran tersentak kaget dan dengan cepat berbalik hendak memukul "ANJING!"

"Lo ngapain sih bangsat! tiba-tiba ngomong di deket gue?? kaget guenya!" kesal Gibran karena Orion dengan suara beratnya tiba-tiba muncul. Perasaan tadi dia sendirian.

Orion tersenyum menatap Gibran yang tampak sebal.

"Lo bolos ya?? awas lo gue aduin Bu Jihyo biar dicatet di catatan kesayangannya lo" ancam Gibran.

Orion menatap lekat Gibran lalu menajwab, "Aku nggak bolos, aku lagi mau ke lab kimia"

Gibran menatap Orion lalu menggeser tubuhnya membiarkan Orion lewat, "yaudah sana cepetan" ucapnya dengan nada galak dan gestur mengusir. Jujur Gibran agak takut sama Orion soalnya Orion sering natap dia lamat-lamat kan dianya jadi salting takut ada yang salah. 

Orion menatap Gibran kemudian tersenyum, "Duluan ya" katanya pamit .

Gibran menatap punggung Orion yang sudah menjauh dengan takut lalu ia melihat kedua tanganya, "Anjir gue sampe merinding"

-----------------------------------

Jam istirahat Kaluna dan para tentaranya berkumpul di meja kantin seperti biasa ditambah Kalila, Adelia, dan Mika. Semenjak kepergian Yasa mereka sepakat tak menyinggung soal Yasa atau bahkan menyebut segala sesuatu yang berkaitan dengan Yasa. Kaluna dan Adel tentu menolak karena merasa menyingiran secara paksa Yasa dihidup mereka. Tapi Aksara dengan tutur lembutnya mengatakan ini sebagai bentuk menghargai keputusan Yasa yang menyudahi hidupnya, "Kita simpan Yasa didalam hati kita saja" begitu katanya dan akhirnya mereka setuju.

"Bakwan gue jangan diambil terus dong!" marah Nara pada Hema yang terus mencuri makannaya. Gara yang ada disebelah Nara tampak tak terganggu dengan pergulatan Hema dan Nara merebutkan bakwan.

Kaluna mencuri pandang pada wajah samping Gara yang menunjukkan ekspresi datar. Ia masih penasaran dengan Gara yang dipemakaman Yasa, ia dengan jelas melihat Gara.

Tiba-tiba Gara berdiri dan beranjak pergi membuatnya terkejut begitu juga dengan yang lain.

"Mau kemana Bar???" tanya Nara. Gara tak menjawab dan berlalu keluar kantin begitu saja.

Apa Gara tak sadar ia menatapnya ya?.

"Gue ke ruang guru dulu ya, baru inget ada janji sama pak mingyu" pamit Kaluna lalu dengan cepat segera menyusul kemana Gara pergi.

ia berbelok menyusuri langkah Gara tapi di belokan koridor Gara hilang begitu saja.

Bug! Bug! Bug! Brak! Brak! ia mendnegar suara gaduh dari arah ruang musik yang tertutup rapat. Dengan segenap keberanianya ia menggeser pintu dengan pelan mencoba mengintip siapa yang menyebabkan suara gaduh tersebut? apakah Gara yang dicarinya?.

Pintu terbuka sedikit, ia mengintip kedalam tapi tiba-tiba tubuhnya terasa di dorong dengan kuat untuk masuk kedalam ruang musik. Kaluna tersungkur kedepan, tubuhnya bertubrukan dengan kerasnya lantai.

Ia meringis dan membuka matanya mentap lantai yang tampak menampilkan genangan air berwarna merah pekat.

merah?

Dengan penuh keterkejutan Kaluna berbalik menatap pintu namun entah bagaimana pintu ruang musik tadi tertutup rapat. Ia menoleh ke sekitarnya yang penuh darah, ia dengan takut meraih gagang pintu mencoba membuka pintu tadi yang sialnya terkunci.

"Kaluna?"

Kaluna tertegun mendengar suara familiar yang satu minggu ini hilang dari pendengarannya.

"Kaluna??"

"Luna ini aku"

Kaluna rasa ia sudah gila, ia berusaha mendorong dan memukul-mukul pintu agar terbuka tapi tetap tak bisa. Kaluna dengan ragu menoleh sedikit kebelakang melihat apkaah orang itu benar yang ia pikirkan.

"Luna ini aku Yasa" kata orang itu dengan tersenyum membuat Kaluna berbalik sepenuhnya menatap Yasa yang berdiri dengan mengenakan seragam rapu dibalut jacket abu-abu kesukaanya dengan rapi.

Yasa tersenyum lembut mengulurkan tangan kananya untuk diraih Kaluna.

"Aku takut Lun disini"

Kaluna bingung, ia menatap uluran tangan Yasa dan Yasa bergantian.

"Kata kamu, kamu bakal selalu jadi orang yang menerima uluran tangan aku?"

"Kamu udah nggak ada Yas" cicitnya takut sambil menatap wajah teduh Yasa. Kaluna pasti gila, Yasa sudah pergi tak mungkin ia bertemu Yasa. Ini pasti mimpi.

"Aku ada"

Kaluna menggeleng dan mulai menangis karena takut, tolong siapapun bangunkan dia dari mimpinya.

"Aku nggak ada karena kamu Lun, ayo raih tangan aku bawa aku biar aku bisa selalu ada buat kamu"

Kaluna bingung ia kalut.

Grek! Grep!

tiba-tiba lagi pintu yang tadinya terkunci terbuka dan tubuhnya direngkuh ditarik menjauhi Yasa yang tertawa menyebalkan.

"Ayo bangun"

Kaluna membuka matanya perlahan, sekitarnya tampak berputar-putar. ia mengerjapkan matanya berulang kali.

"Lo udah sadar???"

"Gue kenapa?"

"Lo pingsan pas habis pamitan mau ke ruang guru, untung lo masih belum jauh. Makan lo kurang apa gimana Lun sampe pingsan??" kata Gibran dengan cerewet.

"Gue pingsan dikantin?"

Adel menggangguk.

"Iya, Arsen buru-buru gendong lo ke UKS" Kata Mika.

"Bukanya aku diruang musik?"

"Hah??" mereka semua kaget dengan pertanyaan Kaluna.

"Lo ngelindur ya? Apa masih belum sadar?" tanya Gibran sambil menepuk-nepuk pelan pipi Kaluna.

Apa ini, mimpi lagi? tapi mengapa terasa nyata??

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Blue FlavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang