Kali Matup (Cerpen)

7 1 0
                                    

Cahaya rembulan tiada henti memantulkan sinarnya dikala penduduk desa sudah terbiasa dengan alunan jangkrik yang memelodikan syair yang indah. Suara kendaraan bermotor perlahan menghilang dalam gemerlapnya jalanan. Hanya satu atau dua kendaraan yang melintas di tengah dinginnya cuaca. Desa ini biasa dijuluki masyarakat adalah desa terdingin dari kota dingin. Suhu terendah di desa berkisar 13°-9°C. Wajar tak ada manusia yang berani lalu lalang. Bahkan, jangakrik, kucing, anjing, cicak tak bertahan lama tanpa baltan selimut hangat.

Orang-orang tua asik berapi-api untuk sekadar menghangatkan diri. Dengan hasil kayu yang mereka cari dari kebun. Kayu-kayu itu mampu menghangatkan diri sepanjang malam. Sedangkan ibu-ibu mulai menyiapkan peralatan tidur seperti bantal, gulung, selimut, kaus kaki, dan jaket. Rumah-rumah di sini masih berbentuk papan. Terkadang, semilir angin menusuk rongga-rongga selimut.

Terlihat dari kejauhan seperti ada sinar kecil yang perlahan mendekat. Seolah-olah sinar itu memberikan tanda pertolongan. Para ayah yang biasa di sebut Ama pada bahasa Gayo mulai memerhatikan cahaya tersebut.

"Siapa yang lewat hampir tengah malam gini" ujar Safuan.

"Mungkin bukan orang sini" tungkas Parman.

"Ada perlu apa mereka malam-malam ke desa ini" tanya Safuan penasaran.

"manalah saya tau Safuan, kan kita belum jumpa orangnya" jawab ketua Parman.

Perlahan, cahaya kecil mendekat dan muncul sosok di balik cahaya itu.

"Permisi pak, mau tanya. Di mana ada jual bensin di dekat sini" tanya pemuda berjaket kulit.

"Waduh, kalau udah malam gini mana ada lagi yang jual bensin" jawab Parman.

"Maaf pak, kami butuh bensin untuk melanjutkan perjalanan kami" jawab teman pemuda berjaket kulit.

"Yaudah, mampir dulu. Kita minum kopi. Biar hilang capek kalian" ajak Safuan.

"Hus, saya yang punya rumah kok kamu yang nawari kopi" bantah Parman sambil melirik kedua pemuda itu.

"Ah, sama tamu kita harus ramah" bisik Safuan.

Kedua pemuda itu singgah di rumah Parman dan disuguhi kopi hangat pelepas penat perjalanan. Api semakin marak, hangat tubuh menyelimuti. Di sela-sela tegukan kopi, kedua pemuda itu kelihatan linglung.

"Maaf pak, Desa antara masih jauh?" Tanya pemuda berjaket kulit.

"Lumayan lah, sekitar 15 menit kalau dari sini" jawab Parman.

"Emang kalian mau ke rumah siapa"? Tanyak Safuan.

"Mau ke rumah teman kami. Sudah satu Minggu tanpa kabar di kampus. Kami mau memastikan kabarnya." Jawaban teman berjaket kulit.

"Kalian nginap sini aja, besok lanjutkan perjalanan" Safuan menawarkan diri dengan ramah.

"Eh, saya yang punya rumah kok kamu lagi yang menawarkan diri" bisik Parman.

(Safuan mencubit Parman)

"Eh, gak usah pak. Gak apa-apa. Kami lanjutkan perjalanan aja malam ini sambil lihat kalau ada warung yang buka." Jawab pemuda berjaket kulit.

"Gak apa-apa. Nanti kalian kedinginan kalau lanjutkan perjalanan." Jawab singkat Safuan.

"Gak apa-apa pak, terima kasih." Jawab teman berjaket kulit.

Sambil meletakkan gelas, kedua pemuda tersebut berpamitan kepada ayah-ayah penikmat hangatnya malam.

"Yasudah kalau kalian menolak, hati-hati di jalan." Ujar Parman.

Tak lama kemudian kedua pemuda tersebut menghilang dari terangnya cahaya api. Malam semakin larut, kedua sahabat ini mengakhiri malam dengan kayu yang telah habis dilalap api. Gemintang tak lagi menampakkan diri. Malam semakin larut dan udara semakin dingin.

Kendaraan mulai berlarian. Tawa anak kecil melodikan menteri yang mulai beranjak dari peraduannya. Kedua sahabat ini Kemabli bertemu sebelum kuda besi beranjak ke kantor mereka masing-masing. Alat tempur telah siap. Cangkul, arit, mesin penyemprot, mesin babat, bensin, sepatu, dan tas sandang kopi.

"Man, ayo ngantor. Keburu matahari di atas kepala. "Ajak Safuan.

"Sek sek Yo, aku tarok gelas ke dalam." Jawab singkat Parman.

Si kuda besi telah hidup dan peralatan kantor mereka telah dipersiapkan. Asap mengepul dari perapian.

"Assalamualaikum, mau pergi ya pak?" Tanya pemuda berjaket kulit.

"Waalaikumsalam. Loh, kalian yang tadi malam." Safuan terheran-heran.

"Iya pak. Kami sampai ke desa antara pas dengan perkiraan waktu dari bapak-bapak." Jawab teman pemuda itu.

"Ayo Fuan, kita berangkat" ajak Parman.

"Tunggu man, ini ada pemuda yang tadi malam." Ujar Safuan.

"Loh, kalian ketemu dengan penjual bensin tadi malam?" Tanya Parman penasaran.

"Masa bapak gak tau kalau di ujung jembatan itu ada rumah dan dia juga jual bensin. Kalau gak salah namanya Mbah misno." Jawab pemuda kegirangan.

"Mbah misno!" Safuan dan Parman terheran-heran.

"Kenapa bapak-bapak pada heran?" Tanya teman pemuda berjaket kulit.

"Sini tak ceritakan ya dek" Parman mengakrabkan diri. Kedua pemuda yang tadinya berjarak dengan kedua sahabat itu akhirnya mendekat.

"Kalian ada pemuda yang beruntung." Jelas Parman singkat.

"Beruntung? Ya memang kami beruntung ketemu Mbah misno. Kalau gak ada beliau pasti kami gak sampai ke desa Antara." Jelas kedua pemuda itu.

"Kalian ke sini melewati jembatan kan? Apa kalian perhatikan ada rumah di situ?" Jelas Parman.

"Gak tau ya, kami gak lihat. Soalnya kami lumayan kencang tadi waktu turunan." Jawab pemuda berjaket kulit.

Parman dan Safuan saling menatap. Suasana cerah berganti malam mencekam ketiak mendengar penjelasan mereka.

"Dek, coba kalian pelan-pelan ke jembatan. Coba lihat ada rumah gak di sana." Jelas Safuan.

Tanpa aba-aba, kedua pemuda menghidupka kereta dan bergegas ke arah jembatan. Mungkin dalam pikiran mereka kami adalah orang aneh yang bercerita mengada-ngada di pagi hari. Tak lama kemudian, kedua pemuda itu kembali ke rumah Parman.

"Gimana dek, ada rumah di ujung jembatan?" Tanya Parman penasaran.

"Jadi siapa yang menolong kami tadi malam pak?" Tanya salah satu pemuda.

"Dek, Mbah Misno memang dulunya tinggal di ujung jembatan. Seorang diri dan memang benar dia penjual bensin. Tapi itu dulu, 15 tahun yang lalu ketika orang tua kami datang ke desa ini. Desa transmigrasi. Desa ini adalah hutan belantara. Jadi masih memungkinkan kisah misteri menyelimuti desa ini. Kalian adalah orang yang beruntung, ditolong oleh mahluk halus. Mbah Misno ditemukan meninggal setelah amsyarakat mencium aroma bau dari dalam rumah. Dia tidak dibunuh atau lainnya. Melainkan orang-orang tidak tau kalau Mbah Misno sudah meninggal selama satu Minggu. Akhirnya rumah yang ditempati Mbah Misno usang dan hancur disebabkan meluapnya air sungai." Jelas Safuan.

"Jadi yang menolong kami"? Tanya singkat pemuda itu

"Iya, yang jelas bukan manusia yang menolong kalian. Selamat kalian adalah orang yang beruntung" Parman menjulurkan tangannya.

"Bisa jadi yang tadi malam bicara dengan kalian di sini bukan kami." Safuan sambil tertawa kecil.

Tanpa aba-aba, kedua pemuda meninggalkan Parman dan Safuan tanpa mengucapkan terima kasih. Tadi malam adalah malam keberuntungan pemuda itu. Mereka adalah manusia beruntung yang bertemu tiga makhluk halus dalam waktu yang sama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 21, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kali MatupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang