"Kita bisa jalani hubungan ini. Pelan-pelan aja."
Sesuai perkataanku, kami sepakat menjalin hubungan. Aku dan Jaya, bersatu setelah penantian panjang kunikmati bersama luka. Akhirnya sekarang dia menjadi milikku. Akan kujaga benang ikatan ini baik-baik.
Kuharap ... Jaya juga.Waktu kebersamaan merupakan kunci utama dalam melanggengkan sebuah hubungan. Di dalamnya tentu harus melibatkan komunikasi dua arah yang seimbang. Kami melakukan itu tanpa direncanakan. Sikap supel Jaya yang membangunnya dengan mudah. Aku bersyukur atas itu, karena berbicara banyak hal bukanlah kemampuanku. Aku pendiam, sedangkan Jaya pandai mencari topik dan suka mengajakku berbincang. Kami saling mencukupi. Perpaduan yang serasi, 'kan?
Dan kalau boleh memaksa, aku ingin Jaya menjadi takdir cintaku untuk selamanya.
Tuk!
Aku mendengus sebal. Kudengar kekehan kecil sebelum kutatap tajam seseorang yang duduk di seberangku, yang sejak tadi jahil sekali mengetuk meja baca perpustakaan demi menarik perhatianku. Amarahku hampir ke puncak seandainya Jaya tidak segera menyodorkan layar ponselnya tepat di depan wajahku. Aku menatap gambar pergunungan itu sejenak lalu beralih kepadanya untuk meminta penjelasan.
"Sesekali lari dari buku ke alam, berminat?" Jaya mengangkat kedua alisnya, menggodaku. Aku geming, menimang. Seakan tahu hal itu Jaya lantas memasang ekspresi memelas seolah memohon dan menggenggam tanganku yang kosong. "Ya, ya? Mau, ya?"
Aku menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan. Masih memandangnya tanpa rasa bosan, aku pun mengangguk. Bibirku sontak berkedut—menahan senyum—tatkala air muka lelaki itu berubah semringah dengan matanya yang berbinar-binar. Jaya seperti anak kecil yang meminta restu ibunya untuk bermain saja. Lucu sekali.
Jaya mengucapkan terima kasih. Aku hanya menggeleng geli kemudian kembali membaca buku. Lagipula, aku memang tidak bisa menolak semua permintaannya karena aku sangat menyayanginya. Setelah itu Jaya izin pergi sebentar untuk menemui teman fakultasnya di luar. Aku membiarkan dengan syarat sekembalinya dia harus membawa makan siang untukku. Jaya mengiyakan.
Liburan ke Bogor benar-benar ampuh melepas beban-beban di pundakku dan penatku dari drama tugas perkuliahan. Aku sangat senang ketika melompat dari bukit air terjun bersama Jaya. Dengan tangan saling berpegangan erat. Kontan air menyembur hebat saat kami jatuh menyelam. Beruntung teman kami merekamnya, sehingga aku dan Jaya bisa kembali tertawa merasakan sensasi kebahagiaan itu. Sungguh menyenangkan. Namun, semenjak berteduh di warung untuk mengisi perut, agaknya senyum dan tawaku—juga Jaya—resmi dinyatakan hilang saat menemukan presensi gadis cantik bersama seorang lelaki yang sedang duduk di salah satu meja.
Itu Dania, mantan kekasih terlama Jaya.
Pemandangan itu sepertinya menyakiti Jaya sehingga lelaki itu meninggalkan kami begitu saja.
Jaya berubah. Kejadian itu mengubah dirinya menjadi lebih pendiam, selalu tampak kalut, dan senang menyendiri. Tidak ada lagi yang menggangguku membaca di perpustakaan. Tidak ada lagi yang memerhatikan makanku, apalagi keadaanku. Tidak ada lagi yang menghiburku dari tugas dengan pergi ke berbagai tempat. Aku kehilangan Jaya-ku. Aku merindukannya, namun memilih membiarkannya sampai Jaya merasa lebih baik dan kembali padaku. Dan tidak lama, Jaya benar-benar datang kepadaku dengan senyuman teduhnya.
Tangan besarnya mendarat di kepalaku, lalu mengusapnya dengan lembut. Hatiku menghangat. Akhirnya aku mendapatkan senyumannya lagi.
"Jihan ..., maaf," katanya dengan lirih.
Tanpa mengulur waktu, aku merengkuhnya. Sangat erat. "Aku kangen."
Jaya membalas pelukanku dan mengusap-usap punggungku, menyalurkan ketenangan. Suara beratnya berbisik, "Aku juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terakhir ✔
Short StoryKeduanya sudah berjuang, tetapi cinta tersisa sepihak. Cinta itu tidak bisa dipaksakan. Maka, Jihan pun pilih sadar diri dan membiarkan Jaya pergi bersama cinta lamanya. Meskipun Jihan akhirnya tersadar, bahwa itu hanyalah khayalannya. --- Cerpen So...