Sabtu malam di alun-alun kota, aku menunggu seseorang. Ditemani segelas teh hangat yang kupesan
dari pedagang minuman keliling yang kebetulan mangkal didekat situ. Langit malam ini sangat cerah
hingga aku dapat melihat bulan dan taburan bintang diatas sana.Tiga puluh menit telah berlalu sejak aku terduduk dibangku taman ini, orang yang kutunggu belum
juga datang. Aku khawatir jika ia kesulitan mencariku karena aku menunggu ditempat yang tak banyak orang berlalu-lalang.Tak lama kemudian, ada seseorang yang menepuk pundakku. “a’, ih kamu tuh kenapa nunggunya
disini? Kan susah bunda teh nyarinya” ya, aku menunggu bunda yang sedang belanja oleh-oleh untuk
pamanku dan keluarganya di Bogor.Aku terkekeh melihat wajah kesal bunda yang kini duduk disebelahku, “maaf ya bun, tadi soalnya
sebelah sana rame banget, terlalu berisik Asa kurang nyaman”ucapku.“Iya deh dimaafkan, tapi kayaknya emang aa' tuh suka ya tempat yang ga banyak orangnya gitu?”
“Iya, soalnya tuh kalo banyak orang jadi terlalu berisik, jadinya nanti aku ga bisa menikmati momen.”
jelasku sambil tersenyum.Tempat yang sunyi dan tak ramai orang selalu menjadi tempat favoritku dikala suntuk dan isi kepala berantakan. Memikirkan bagaimana lagi cara untuk mendapat petunjuk tentang siapa orang yang sudah
melakukan hal keji terhadap adikku. Untuk beberapa saat tak ada pembicaraan apapun antara aku dan bunda, hingga bunda mulai membuka pembicaraan lebih dulu.“Mikir apa Sa? pusing banget kayaknya nih.” tanyanya, aku hanya membalas dengan senyum dan
helaan napas serta menggeleng isyarat bahwa bukan hal penting yang kupikirkan.“Kamu masih berusaha nyari siapa orangnya Sa?”aku tetap setia dengan diamku dan hanya mengangguk menjawab pertanyaan bunda. Keadaan kembali sunyi, masing-masing dari kami hanya
memandangi sekitar sembari sesekali menyeruput minuman. Seperti biasa jika ke alun-alun bunda pasti akan membeli air jahe hangatnya ceu Arum yang kedainya terletak tepat disebelah toko oleh-oleh langganan bunda.“Memang belum ada info apa-apa a’ dari pihak kepolisian?” tanya bunda menghilangkan kesunyian, aku
menoleh menatap bunda sebentar dan kembali memandang lurus kedepan.“Belum, masih sama aja kayak kemarin-kemarin, tapi Asa ga akan nyerah bun, Asa akan terus cari
siapa orangnya, tunggu ya bun Asa janji ini ga akan lama.”“Tapi kamu ga nyari sendirian kan Sa? bunda takut kamu kenapa-napa kalau nyari sendirian.”
“Tenang aja bun, ada kok yang bantuin Asa.” ucapku seraya menggengam dan mengelus kedua tangan bunda.
***
Pagi-pagi buta sekitar pukul setengah enam, aku sudah siap dengan sepatu lari berwarna hitam dan tak lupa
kubawa mp3 dan earphone kesayangan. Baru saja ingin melangkah untuk membuka pagar, aku dikejutkan dengan suara teriakan dari dalam. Bunda. Lantas aku bergegas berlari kembali ke dalam
tanpa melepas sepatu terlebih dahulu.“Bunda!! Kenapa bun?!!” ucapku panik.
Terlihat diruang tengah ayah memegang sapu dan bunda yang terlihat ketakutan berdiri diatas sofa. Aku menatap keduanya penuh heran sampai bunda menunjuk kearahku.
“Sa!! diem Sa! diem dulu.” seru ayah menghampiriku
“Apa? Kenapa sih?”
PLAKK!!
Sapu ayah melayang ke dahiku, rupanya ada seekor kecoak yang hinggap. Hah,ternyata ini toh yang
membuat seisi rumah heboh pagi-pagi. Dahiku memerah sementara kecoaknya gepeng akibat pukulan maut sapu ayah.“Aduh gapapa kan a’? cuci muka gih itu kecoak ada racun sama bakterinya, ih gelii, cepet sana.” ucap bunda yang bergidik geli melihat kecoak tadi.
“Ga sakit kan? Maaf ya aa' sayang.” ucap ayah dengan nada menggoda sembari mengelus dahiku yang
memerah.Aku menuruti perkataan bunda, kemudian melanjutkan rencana semula untuk lari pagi. Pemandangan pagi yang menyenangkan dengan udara sejuk yang menyegarkan. Ibu-ibu komplek yang berbelanja
sayur pada tukang sayur keliling, anak balita yang tertawa bermain dengan sang ayah, seorang ayah
yang baru saja pulang sehabis bekerja lembur semalam, ada pula ibu hamil yang berjalan-jalan tanpa alas kaki ditemani suaminya.Suasana pagi ini ramai tapi tak membuat diriku terusik, senang dan bersyukur masih diberi kesempatan melihat pemandangan indah seperti ini. Saat sampai dibagian depan komplek, ternyata disini lebih ramai ditambah dengan suara tangisan seorang balita yang mainannya direbut teman sebayanya dan suara bersin khas bapak-bapak yang mengagetkanku, rupanya itu pak rt. Suara bersinnya memang beda dan lebih heboh dari bapak-bapak biasanya, aku menyapanya kemudian berlalu.
Rencananya aku hanya akan berlari sejauh 100 meter tapi semua rencanaku digagalkan oleh tukang
batagor langgananku yang biasanya baru memulai aktivitas dagangnya pada pukul 10 pagi, tapi kali ini ia
berdagang lebih awal. Sempat memikirkan untuk membelinya atau tidak, jika dilewatkan sayang sekali
sebab sudah seminggu ini aku puasa jajan karena berat badanku yang bertambah, tapi aku belum mencapai target 100 meter untuk berlari minggu ini.Dilema hanya karena tukang batagor, ah, situasi tak nyaman macam apa ini. Dan pada akhirnya, “mang, batagor!” mendengar suaraku tukang batagor itu pun menghampiriku.
Sudahlah batagor dulu baru lari, kalau kata temanku Cahyo “mangan ae, diet e ngko tinimbang wetengmu loro.” Entah apa artinya tapi sepertinya itu motivasi untuk bertahan hidup.
Setelah menghabiskan seporsi batagor aku berjalan santai terlebih dahulu agar tak sakit perut. Saat
kurasa batagor tadi sudah tercerna dengan baik, aku pun mulai berlari.Ketika asik berlari ada seorang
perempuan mengenakan jaket abu-abu melewatiku. Persis, dari perawakan badannya juga sama.Langkahku terhenti, tiba-tiba tubuhku kaku tak dapat digerakkan, ingin sekali aku memanggil orang itu tapi selalu tak berdaya karena memori lama seakan terputar kembali dalam kepalaku.
Kepalaku mendadak sakit, pandangan kabur dan keringat dingin yang mengucur. Karena sudah tak
kuat berdiri tegak aku terduduk diteras sebuah toko pakaian.Untuk beberapa saat aku mencoba
menenangkan diri, setelah kembali membaik aku terpikir untuk mengejar perempuan tadi untuk sesuatu yang penting.Menyusuri jalanan yang kemungkinan dilewatinya sambil mengedarkan mata mencari perempuan tadi. Dia pasti belum jauh, aku harus menemukannya karena dengannya aku mungkin bisa meminta bantuan atau suatu petunjuk tentang peristiwa kala itu.
Hingga sampai disebuah taman aku melihatnya terduduk dibangku taman. Aku memperhatikannya
cukup lama dari jauh.Setelah mengumpulkan cukup keberanian, aku menhampirinya.
“Maaf, boleh bicara sebentar?” ia menoleh dan meng-iya-kan.
“Masih inget gue ga?” tanyaku yang membuatnya sedikit terkejut dan seketika berpikir.
Ia menjentikkan jari, sepertinya ia mulai mengingat sesuatu, “oh, iya gue inget.” Aku sedikit lega mendengarnya.
“Kenapa, lo mau nyalahin gue lagi? Hah?” wajahnya tampak kesal karena mengingat saat itu aku pernah
menuduhnya yang bukan-bukan.“Ga, ga gitu gua kesini mau minta maaf soal itu dan sekarang gua butuh bantuan lu buat nyari tau pelaku sebenarnya.” Jelasku padanya.
“Lo…butuh bantuan gue?” aku menjawabnya dengan anggukan kecil.
"Oke, fine. Gue maafin, ya walaupun masih sakit hati sih sama omongan lu waktu itu."
"Jadi, lu mau gue ngapain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I Be Your Boyfriend?
Novela JuvenilKisah kasih seorang pemuda berusia 17 tahun yang begitu rumit dan menarik. Menyukai seseorang yang banyak bedanya menjadi tantangan tersendiri bagi pemuda itu. "Maaf ya, kita berbeda dan ga akan mungkin pernah satu" Mengapa, mengapa harus rasa cinta...