Selva Ayuningtyas meninggal dengan badan menyatu sepenuhnya dari kepala ke kaki dengan posisi melingkar sempurna. Darah terus mengalir keluar dari tubuhnya melalui lubang bekas tusukan dan menetes tak kunjung berhenti hingga membuat sebuah kubangan di beberapa bagian di tempatnya tak bernyawa itu.
"Sungguh maha karya yang indah." pujinya.
͒ ͒ ͒
"AIRIN!"
Suara teriakan yang memanggil namanya membuatnya sedikit terkejut, tanpa perlu ia menoleh ia sudah mengetahui siapa manusia dari pemilik suara tersebut.
Tidak, kedua sahabatnya itu tidak boleh ikut campur dalam masalah ini. Dosa yang nanti harus ia tanggung saat penghakiman di neraka, cukup ia saja yang menanggungnya. Ia tidak perlu menyeret orang lain kedalam perbuatannya.
"Pergi kalian." Ucap Airin dingin. Ia tidak berniat bertanya tentang bagaimana kedua sahabatnya tahu bahwa ia sedang berada disini, ia tidak peduli dengan itu.
Kedua sahabatnya itu mematung melihat jasad Selva yang bisa dibilang sangat tidak layak dipandang. Tangan Ika bergetar hebat, ia menutup mulutnya karena tidak percaya apa yang dilihat oleh kedua matanya.
"Rin.." dengan cepat Ika berlari dan memeluknya. "Lo gabisa kayak gini Rin. Mana Airin yang gue kenal dulu? Yang periang, pelawak, bodoamatan sama hal-hal ga penting, ini bukan diri lo Rin."
Airin mendorong badan Ika dan menepis kedua tangannya yang berusaha memeluknya. Ia tidak akan membiarkan empati menguasai dirinya, jika tidak, rencana yang ia buat dengan mempertaruhkan hidupnya itu tidak akan ada artinya lagi. "Biar gue yang urus. Kalian cukup pura-pura gatau, kalian cukup berpura-pura bahwa kejadian ini gak pernah ada."
"Gabisa Rin, lo itu udah bunuh orang, kita gak bisa pura-pura gatau hal ini."
"Kalian tau kenapa gue sampe bertindak senekat ini? Yang pertama, orangtua Clara gak tau kalo penyebab anaknya meninggal bukan hanya karena sakit, tapi juga karena bullying. Kedua, mereka lolos dari hukuman persidangan karena kejadian itu dilaporkan berbulan-bulan setelah almarhum meninggal. Yang ketiga, mereka ga ngerasa menyesal atau apapun, bahkan sampe hari ini mereka masih ketawa haha-hihi seolah mereka ga pernah melakukan perbuatan biadab itu. Ngerti?"
Ika menggeleng. "Tapi Rin, lo inget kan hari waktu hari kedua persidangan, mereka udah jelasin semuanya. Bahkan si Dream juga bilang gara-gara lo nuduh dia pembunuh, dia jadi trauma tiap denger suara mobil polisi lewat di daerah rumahnya. Bahkan karena trauma itu dia juga ga berani keluar rumah. Terus si Aiss, dia jug...."
"Gue nuduh pembunuh itu lo bilang!? Dia itu pembunuh sahabat gue, SAHABAT GUE! Apa lo yakin yang keluar dari mulut manusia hina itu bukan cuma drama yang mereka lakuin untuk menghindari hukuman? Gue gak akan percaya sebelum gue lihat sendiri seberapa menderitanya dia karena trauma itu. Lagipula, setelah sidang itu mereka tetep musuhan sama gue. Gue gak lihat penyesalan di mata mere....."
"Ya itu karena lo yang milih buat musuhan Rin, kenapa lo harus jelek-jelekin Aiss setelah kejadian itu. Kenapa lo...."
"Cukup Ika, cukup. Jangan lo potong omongan gue. Lo ga paham apa yang gue rasain. Denger ya, gue emang salah. Tapi lo ga berhak untuk ubah pemikiran gue seolah seluruh yang ada di pikiran gue itu salah sampe lo harus motong argumen gue dengan argumen-argumen yang ada di kepala lo."
"Rin, yang lo lakuin ini gak ada bedanya sama mereka. Dengan kelakuan lo yang kayak gini, lo sama aja dengan mereka yang pembunuh. Dan mungkin di Surga sana, Clara gak akan senang dengan kelakuan lo. Bisa aja dia nangis sejadi-jadinya karena perbuatan lo it...."
"STOP IKA, STOP! YANG GUE LAKUIN INI, ADALAH SEBAGAI BUKTI TANDA SAYANG GUE KE CLARA. GUE SAYANG BANGET SAMA DIA. PAHAM?" Bentak Airin, ia muak sekali. Kenapa bahkan sahabatnya sendiri tidak mendukungnya? Seketika perkataan Kak Alice terngiang di kepalanya, bahwa Ika ga sedekat gimana aku dekat dengan Almarhum.
Airin menarik nafas panjang, "Kalian gak akan pernah ngerti gimana dekatnya kami berdua sebelum aku membuat kesalahan terbesar seumur hidupku." batinnya.
Ika benar-benar terkejut, selama ini Airin tidak pernah membentaknya. Selama ini Airin lah yang paling ia sayang.
"Airin..." Panggil Ika dengan lirih. Tubuhnya mundur perlahan, bulir-bulir air mata jatuh membasahi wajah cantiknya. Tapi itu bukan tangisan karena takut dengan resiko yang akan Airin hadapi kedepan setelah berbuat sejauh ini, namun tangisan karena rasa kecewa.
Tubuh Airin terdorong keras sekali, ia tak menduga seseorang akan mendorong tubuhnya dengan begitu keras. Matanya dengan cepat melihat ke arah Shadow yang sedang menepuk pelan punggung Ika untuk berusaha menguatkan, ia tidak fokus sejak kehadiran kedua sahabatnya. Pikirannya melayang lalu kemudian pandangan matanya menjadi kosong.
"Semarah-marahnya lo ke kita, lo ga berhak buat bentak sahabat lo sendiri." Ucap Shadow tegas.
Airin berjalan menghampiri kedua sahabatnya. Ika yang kecewa dengan kelakuan Airin yang menyakitinya, dan Shadow yang berusaha melindungi mereka berdua karena takut Airin akan melakukan sesuatu kepada mereka.
"Gue salah apa sih sama kalian? Kalian berdua gak pernah ngertiin gue. Shadow ga pernah paham sama kalimat-kalimat tersirat yang gue omongin padahal kita sama-sama anak yang suka sastra. Dan lo Ika, diantara kita semua gue emang paling sayang sama lo gatau kenapa. Bahkan dibanding Clara, gue emang lebih sayang sama lo. Tapi itu dulu, sebelum akhirnya lo bikin gue kecewa sejadi-jadinya. Lo tau? Dengan lo pacaran seorang Deden, lo itu udah menghancurkan persahabatan kita. Oke kalo dimata Shadow, keberatan dan perginya Nath dari persahabatan kita gak berhak jadi penghalang buat cinta lo. Tapi dimata gue yang selama ini berusaha menjaga persahabatan kita, itu gak adil banget. Seringkali gue buang perasaan gue ke cowok-cowok yang selama ini gue suka tapi mereka juga suka sama salah satu dari kalian. Karena apa? Karena gue ga pengen kita berantem perkara cowok. Tapi dengan bodohnya kalian malah menghancurkan apa yang selama ini berusaha gue jaga. Kalian manusia-manusia yang dianugerahi wajah cantik dan tubuh yang nyaris sempurna gak akan pernah paham apa yang Nath dan gue rasain. Dan lo Dow, lo dengan mudahnya mengubah argumen yang selama ini gue pegang. Gue gak nyalahin itu karena terkadang pikiran dangkal gue emang perlu dikasih pencerahan. Tapi beberapa hal yang lo lakuin dengan berusaha berbuat baik itu ternyata emang salah. Dengan lo support Ika buat pacaran sama Deden, lo udah buat Nath ngejauh. Gak ada yang baik-baik aja Ka, gakada! Gak ada yang baik-baik saja ketika dua orang sahabat menyukai satu pria yang sama. Tuhan itu baik, Tuhan menguji persahabatan kita melalui laki-laki buat tau seberapa kuatnya kita menahan persahabatan ini, tapi sialnya ujian dari Tuhan bukan menguatkan malah bikin salah satu dari kita pergi. LO LEBIH MILIH PERSAHABATAN KITA HANCUR DARIPADA BERUSAHA NGEJAGA ITU. LO LEBIH MILIH CINTA YANG GAK ADA JAMINAN AKAN LO JALANI SAMPE MATI!" Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Airin, membuat Shadow dan Ika bungkam.
"Selama ini lo mau tau perasaan gue kan? Ya ini, kejujuran yang gue pendem sendiri, gue simpen rapat-rapat. Buat apa? Ya supaya lo gak sakit hati ketika tau kebenarannya. Kalian tau? Suatu saat gue berpikir, kalo gue lebih baik ga pernah ketemu sama kalian. Gue ga perlu jadi seperti ini dan Clara ga perlu meninggal. Andaikata waktu dapat diputar sekali aja, gue milih untuk ga pernah kenal kalian semua. Biarin gue terus terjebak di lingkaran tanpa ujung, biarin gue dikurung di jeruji besi seperti hewan, biarin gue hidup didalam hitam putih tanpa ada warna lain. Gue ga pernah sekalipun berus......."
"Istirahatlah Rin..." Sebuah suara lembut dari belakang menggelitiknya, dan ketika ia hendak berbalik, sebuah suntikan menancap di leher kanannya.
"Obat bius, sialan." pekiknya dalam hati sebelum matanya terpejam dan ia jatuh tertidur.
Tbc
Terkadang, tidak mengetahui kebenaran
jauh terasa lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destructive Revenge
RandomKabar meninggalnya Keyvara Clara Amelia membuat orang-orang heboh. Kematian dadakan yang dikabarkan karena penyakit itu membuat banyak orang terheran-heran. Pasalnya, tiga hari sebelum kabar duka dikumandangkan, Clara masih sehat serta tertawa cekik...