"Ngerjain? Ngerjain gimana ceritanya?" tanya Wanda penasaran.
Jarum pada jam terus bergerak. Suaranya membuat Sena menunduk ke arah jam, di pergelangan tangannya. Mata Sena langsung memelotot, dia memberitahu Wanda,"Wanda! Lo kan sekarang harus pergi ke ruang guru! Sekarang waktunya ikut ujian susulan!"
Tanpa membalas ucapan Sena, Wanda langsung mengambil buku dan kotak pensilnya. Gadis itu terburu-buru berlari menuju pintu keluar, tanpa memedulikan Sena.
Tak terasa waktunya pulang sudah tiba. Seharusnya Sena senang, karena ini berarti dia akan mengikuti rapat ekskul seni. Lalu bertemu dengan Sean. Namun, kenyataannya tak berjalan sesuai dengan harapan Sena. Tepat di depan matanya, air hujan jatuh menyentuh tanah. Sudut bibir Sena ikut turun. Selain harapan palsu, suara tetesan air hujan adalah hal yang paling dia benci di dunia ini.
Hujan menurunkan senyuman Sena. Hujan berulang kali membuat Sena sakit. Hujan sering membatalkan acara-acara penting Sena. Hujan juga, yang pernah membuat Sena dikurung di rumah seharian penuh. "Gue benci hujan," ungkap Sena kesal.
Sena mendengkus. Dia sekarang menyadari, gantungan kunci miliknya tidak bekerja. "Gak guna. Lain kali gue coba minta bantuan Mbak Rara aja," gumam Sena.
Air hujan berjatuhan, menyentuh daun, ranting pohon, sebelum jatuh ke tanah. Sena menyilangkan tangan di depan dada. Gadis itu berulang kali menatap tajam ke depannya. Dia bisa merasakan angin dingin mulai memeluk tubuhnya. Sebisa mungkin, Sena mencoba untuk tetap tenang.
Pulang tak bisa. Perkumpulan ekskul seni pun mendadak dibatalkan. Sena mengurut keningnya yang pusing. Apalagi setelah dia mendapatkan pesan dari kedua orang tuanya. Mereka meminta Sena untuk segera pulang, karena kerabatnya akan mengunjungi rumah Sena. Namun, hujan menghambat semua pergerakan Sena. "Kalo gue nerobos air hujan, gue pasti bakalan sakit."
"Terlebih lagi, tas gue isinya benda-benda penting semua. Bisa repot, kalo kena air hujan," ungkap Sena bingung.
Sena melirik ke sekelilingnya. Dia ingin meminta bantuan teman-temannya, tapi tak ada seorang pun yang ada di sekitarnya. Kelas kosong, semua murid sudah pulang sebelum air hujan semakin deras. Hanya Sena saja, yang terjebak air hujan, karena tak kunjung pulang lebih awal.
"Seandainya ada ojek payung di sekitar sini," gumam Sena. Sena duduk di kursi depan kelasnya. Dia mengeluarkan napas panjang, kemudian memeriksa tas miliknya.
Bola mata Sena memelotot. Dia baru sadar, jika gantungan kunci miliknya sudah tidak ada. "Kemana gantungan gue?! Apa gantungannya jatuh? Gak mungkin bonekanya ngilang gitu aja."
"Atau jangan-jangan gantungan ini beneran gantungan hantu?" Sena meneliti sekelilingnya. Dia mencari-cari gantungan miliknya. Namun, matanya tak kunjung menemukan gantungan itu.
Bulu kuduk Sena berdiri. Dia merasakan jantungnya berdetak sangat kencang. Bersamaan dengan keringat yang mulai membasahi kulit. Apalagi ketika seseorang menepuk bahunya dari belakang. Spontan, Sena berteriak sangat kencang. Matanya terpejam erat, sementara suaranya semakin meninggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PENANGKAL HUJAN DAN HARAPAN
Teen FictionKamu tahu, apa yang aku benci selain hujan? Selain hujan, aku membenci harapan palsu. Kecuali harapan yang terakhir kali Sean katakan, ketika hujan turun. 𖤐𖤐𖤐 [Cerpen bagian dari: Project Akhir Tahun Teenfiction The WWG]