1,1 - 2/1

13 0 0
                                    

.

.

.

The Wonderland


Siang ini, di bawah rindangnya pohon mangga seorang pemuda tengah terduduk lesu. Sorot matanya yang hampa, kini tampak menatap serius rubik besar di hadapannya.

"Ada apa? Kenapa kau tampak sangat lesu hari ini?" tanya seseorang dengan buku tebal di tangannya. "Aku tidak apa-apa," ujar pemuda itu singkat dan lesu. "Apa kau yakin?" tanya orang itu lagi. Mendengar pertanyaan itu lantas si pemuda mendengus, lalu berkata, "Iya, aku tidak apa-apa, Alan." "Dasar Ettan tukang bohong! Mana mungkin kau baik-baik saja. Lihatlah wajahmu! Kau tampak tidak bersemangat," ujar orang—seseorang yang Ettan panggil Alan—itu panjang lebar.

Melihat tingkah Alan yang menyebalkan Ettan lantas lebih memilih rubik besar miliknya. Sampai tak lama setelahnya, Alan kembali mengeluarkan ocehannya.

"Hai, Vanka! Dari mana kau dapat jam bagus itu?" tanya Alan dengan wajah kagum. Matanya tampak mengeluarkan binar kala melihat jam yang Vanka mainkan. "Ini bukan urusanmu. Lebih baik kamu baca saja buku tua nan kotor itu," ujar Vanka dengan wajah ketusnya.

Mendengar jawaban Vanka, cukup untuk membuat Alan merasa kesal. Ia benar-benar tak terima dengan apa yang dikatakan oleh Vanka. Akan tetapi, tak lama setelahnya Vanka malah melenggang pergi dari tempat sejuk itu.

Melihat kepergian Vanka, Alan lantas mencoba untuk mengejarnya, tapi dengan cepat Ettan langsung menarik tangan pemuda itu dan menyuruhnya untuk duduk kembali. "Jangan mencari ribut dengan singa betina yang satu itu!" seru Ettan sembari mengotak-atik rubik miliknya. "Haish... Tapi kan-!" seru Alan terpotong. "Diam dan baca saja buku antik kesayanganmu itu!" ujar Ettan penuh penekanan.

Lalu suasana pun menjadi hening. Mereka hanya bergeming dan fokus pada pikirannya masing-masing. Sampai sebuah teriakan membuat keduanya saling menatap.

"Alin, jangan lupa makan siang!" teriak seseorang dari atas pohon nangka milik Bu Kepsek.

"Alin? Dia siapa? Memangnya kita kedatangan murid baru ya?" tanya Alan kebingungan. Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu membuat Ettan memilih pergi. Namun, sebelum Ettan benar-benar pergi ia sempat mengucapkan sesuatu. "Aku tidak begitu peduli. Dia hanyalah benalu bagiku," ujar Ettan dengan suara yang semakin mengecil.

Sedangkan di sisi lain Vanka tengah mendengus sebal. "Ada apa dengan anak sialan itu?" batinnya sambil melirik puncak pohon di tengah sana.

"Bu, punya pecahan 2 ribuan tidak?" tanya Vanka dengan senyuman tipis. "Tidak ada! Sudah sana jangan mengganggu kalau tidak mau beli apa-apa!" seru Ibu itu dengan wajah tidak suka. Melihat reaksi sinis tersebut Vanka lantas hanya tersenyum. Dengan segera ia pergi dari tempat itu. "Dasar sombong!" batinnya dengan penuh amarah. Di sepanjang jalan ia terus menggerutu dan mengucapkan segala hal buruk mengenai wanita paruh baya itu sampai tidak sadar jika ia sudah ada di depan pintu kelasnya.

"Halo, Vanka! Kau sedang apa di sini?" tanya seorang gadis yang tengah membawa setangkai bunga mawar. "Tak ada. Aku hanya memikirkan jawaban dari angka-angka di otakku," jawab Vanka sembari meraih knop pintu di hadapannya. "Mau Kala bantu?" tawar gadis itu. "Boleh. Berapa kira-kira hasil dari 1+11+21+19+21+11+1+23+1+18+14+1+8+9+20+1+13?" ucap Vanka sembari beralih menatap mata lebar milik gadis di sampingnya. Mendengar angka-angka itu lantas otak Kala langsung bekerja. Dan tak lama kemudian jawaban keluar dari mulutnya. Kala berkata, "Jawabannya adalah 193." Tatap matanya yang riang kini menyorot obsidian kelam milik Vanka. "Terima kasih!" Vanka melenggang pergi dari hadapan Kala. Ia kini terduduk di kursi kayu milikinya.

Dengan perlahan Vanka membuka buku kecil miliknya dan menorehkan tinta hitam di atas sana. Penanya menari dengan suara elegi yang terus mendera.


Rindu dalam Kasa yang Usang

Dalam kenangan tak berujung kakiku melangkah. Berderap mencari cahaya yang t'lah hilang. Berlari memanggil jiwa yang tak pernah bisa mendengar. Merajut kisah pada benang kusut yang tak akan pernah kembali halus. Mencoba meraih segala halu yang mungkin terkesan lalu. Menuliskan semua harap yang mungkin tak akan pernah berlalu. Melepas segala beban yang ku kira masih padahal sudah terbang.

Hai, kamu! Aku yang dahulu penuh rindu dan asa. Apakah jiwa tak bertuan itu masih ada? Apa ragu juga semu masih ikut menyelimutimu? Jika boleh ku beritahu kepadamu, jiwa ini lelah menunggu segala jawaban yang tak akan mungkin terlontar. Melangkah ke semua arah tanpa tujuan yang mengarah. Menangis dalam rindu yang tak akan pernah mungkin tersampaikan. Juga terus bertahan pada badai yang senantiasa berlalu lalang.

Jiwaku kini seperti paus yang menghalang. Tampak tak berdaya juga tak bernyawa. Hanya sendiri tanpa asa yang menyelimuti. Berteguh pada kalimat "Baik-baik saja" walau nyatanya aku tak sedang baik baik saja. Menorehkan segala lara pada kanvas putih yang penuh akan debu. Melukis segala kisah tentangku dan kamu yang tak akan pernah usai.

Terima kasih atas segala harap yang pernah kau lontarkan kepadaku. Aku masih sama walau dengan jiwa yang tak lagi ada. Jika boleh ku meminta, aku akan berkata kepada sang semesta untuk bertemu denganmu entah itu esok, lusa, atau di kehidupan yang mungkin tak akan ingin aku ulangi.

Kata maaf dan terima kasih mungkin tak akan pernah serasa sepadan di matamu, tapi ku harap semua akan berujung pada usai yang tak berkepanjangan. Sekali lagi kuucapkan terima kasih kepadamu. Aku akan terus ada di sini merindukanmu dengan jiwa yang senantiasa pergi entah ke mana.


Tertanda, Davanka Alin Ekaanta

Hari kematian yang tak berujung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A L I V E  :  T W I N STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang