9 ETERNITY • 24

121 53 0
                                        

Komputer yang dipakai berjam-jam itu akhirnya mati juga, alat itu sudah sangat lelah sepertinya hingga panas dan baterainya pun sudah sangat melemah. Seorang laki-laki paruh baya menghentikan pekerjaan di ruangan ya karena mendengar suara yang menurutnya menggangu.

Tama melihat halaman rumah dari jendela, ia tampak bingung disana. "Apa yang dia kerjakan pagi-pagi seperti ini," gumam Tama melihat anak semata wayangnya yang sangat sibuk dari subuh tadi menyiapkan meja-meja dan beberapa tenda di sana. Seperti ingin membuat pesta pernikahan saja.

Tapi sudah tidak heran lagi, anaknya itu memang suka berbuat macam-macam. Semerdeka dia saja lah, pikir Tama. Di nasehati juga tidak akan mempan dengannya.

Pernah suatu ketika, microwave yang menyala meledak karena ulah Dewa, ntah apa yang sudah dilakukannya saat itu. Padahal sudah diingatkan oleh ibu tirinya untuk tidak bisa memasukkan sembarang makanan disana, yah tapi mau bagaimana lagi memang tabiat Dewa seperti itu, tidak ingin mendengar saran orang lain. Alhasil microwave itu tidak bisa digunakan, beberapa barang ada juga yang berbakar, dan untungnya Dewa tidak mengalami kematian.

Itulah yang paling Tama ingat saat umur putranya masih belasan tahun.

Tama keluar menemui Dewa. Bertanya, "kamu mau buat hajatan siapa?" Sambil melepas kacamata, Tama melihat Dewa dengan tatapan yang tidak selow.

"Mau hajatan karena ibu tiri sama ayah kandung gue bentar lagi pisah," ceplos Dewa benar-benar tak memikirkan ucapanya itu.

Tama lantas menyentil jidat sang anak. "Mulut mu."

"Kenapa nggak seneng?" Lihatlah? Manusia satu ini, sungguh sangat halal di cap anak durhaka.

"Yang ngajarin kamu seperti itu siapa? Tidak ada sopan santunnya," omel Tama. Dewa menghela napasnya, sudah tua menggangu pula, gumam Dewa.

Jika anak dan bapak ini mengobrol sudah dapat dipastikan ada saja yang di tengkarkan, ntah masalah apa-pun itu. "Ngomel mulu, udah sana. Ganggu!"

Sang ayah hanya menggeleng-gekengkan kepala, heran kenapa anaknya seperti ini, pusing rasanya.

Anak itu membawa tukang-tukang yang bisa membantunya untuk mendekor, mobil truk yang membawa tenda, beberapa kameramen yang mempersilahkan tempat yang paling menawan dan banyak hal lain.

Tama tidak mempermasalah itu.

"Dewa mau nyatain cinta sama pacar. Nggak usah bingung atau tanya-tanya lagi," ucap cowok itu saat melintas di dekat Tama dengan membawa tangga dipundaknya.

"Lah." Tama berusaha mencerna kembali ucapa Dewa. "Nyatain cinta ke pacar?" Apa maksudnya?

Lagian ini sudah seperti pesta kerjaan yang sangat mewah jika untuk mengatakan cinta saja. Laki-laki itu tidak marah, Tana tertawa dihadapan dengan tingkah Dewa yang kadang di luar nalar. "Waduh, kamu sudah besar ternyata."

"Tidak terasa, waktu kamu masih bayi ada saja proyek baru kamu. Pusing ayah ngadepinnya, bahkan sampe kamu besar pun tetap sama." Mendengar itu Dewa hanya ber-oh-ria, tak ingin menanggapi lanjut. Kalian tau? Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Tama, dia sungguh menyayangi sang putra, tapi memang ia bingung cara menyampaikan hal itu dengan kata-kata ataupun perlakuan.

"Siapa nama perempuan yang beruntung itu? Ayah kenal dengan dia?" Tanya Tama penasaran.

Dewa memang tidak pernah bercerita apa-apa kepada ayah atau ibunya selama ini. "Panggil aja Ajal. Cewe cantik yang cuman nunggu waktu kematian doang."

Tama menganga dengan kata yang di lontarkan Dewa kepadanya. Anak ini benar-benar keterlaluan.

***

Suara alarm itu bergema di setiap ruang kamar Hazel, sinar matahari juga sedikit demi sedikit menyusup menyinari lewat celah-celah ventilasi.

9 Eternity || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang