Devan keluar dari kamarnya, berdiam diri di kamar sembari berhalusinasi kira-kira adat apa yang cocok saat nikah dengan Adel membuat dirinya haus.
Tidak ada perubahan di bawah. Bella, Zara dan Aurel masih pada posisi masing-masing di ruang keluarga.
"Yo, Dev. Masih hidup lo?"
"Hiduplah, gak kayak cowok dua dimensi lo!" Bukannya marah, Zara malah tertawa mendengarnya. Apa yang dibilang Devan emang seratus persen benar, ia seperti dibanjiri fakta.
Devan lanjut berjalan ke dapur karena tidak ada lagi komentar dari sahabatnya, Bella sedang tertidur pulas di atas ambal sedangkan Aurel fokus memainkan handphonenya, entah apa yang dilihatnya Devan tidak tahu.
Di dapur Devan membuka kulkas empat pintu kebanggaan mamanya, berbagai makanan dan minuman terjejer rapi di dalamnya, namun tidak ada satupun yang menarik perhatiannya. Alhasil ia cuma mengambil gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya.
"Loh, Dev? Kamu udah keluar?" Aurel muncul dari balik badan Devan, membuat cowok itu sedikit terkejut.
"Liat apa aja sih di hp, Rel? Sampe gue keluar gak sadar."
"Eh, kamu merhatiin aku?" Tanya Aurel dengan wajah yang gak biasa.
"Iya" padahal hanya jawaban singkat yang sangat biasa tapi mampu membuat Aurel jadi grogi tiba-tiba.
Devan kembali membuka kulkas, mengambil mie cup dari dalamnya, "Rel, mau mie?" Tanya Devan tanpa melihat Aurel.
"Rel?" Devan mengalihkan pandangannya karena tidak ada jawaban dari Aurel.
"I-iya, Devan?"
"Mau mie cup, gak? Kalau mau biar sekalian gue buatin." Kali ini gadis itu menjawab dengan sebuah anggukan.
Devan membuka dua bungkus mie cup, mengeluarkan bumbunya. Aurel ikut membantu di sampingnya, gadis yang dari tadi bertingkah tidak jelas menurut Devan itu membantu membuka bungkus bumbu. Devan mengambil air panas dari sampingnya dan menuangnya ke dalam cup. Namun karena tidak hati-hati air itu malah tumpah mengenai tangan Devan, membuat laki-laki itu kepanasan.
"Ya Ampun, Devan tangan kamu melepuh" Aurel yang khawatir langsung menarik tangan Devan ke wastafel, dengan telaten ia membilas tangan Devan yang memerah.
Sedangan Devan hanya diam, laki-laki itu menatap dalam wajah Aurel yang sangat serius dan khawatir dengan tangannya.
"Sakit gak--" ucapan Aurel terhenti saat sebuah tangan meraih kepalanya lalu mengacak-acak rambutnya.
"Gue gak apa-apa, Rel. Sedikit doang kenanya," ucap Devan dengan senyum manis di wajahnya.
Aurel seperti mati kutu, serangan dadakan dari Devan membuatnya menjadi kaku. Ia hanya diam saja, sedangkan Devan sudah menjauhkan tangannya dari kepala Aurel dan melanjutkan menyeduh mie cup yang sempat tertunda tadi.
"Udah siap, ayo kedepan." Aurel mengangguk kemudian mengukuti Devan dari belakang.
Di ruang keluarga, Bella sudah bangun. Gadis itu menggaruk perutnya sambil menatap Devan dan Aurel yang baru kembali dari dapur.
Devan ikut duduk di samping Bella, sedangan Aurel di dekat Zara. Bella yang mencium aroma mie langsung membuka matanya lebar-lebar "mau," ucapnya kepada Devan.
"Enak aja, bikin sendiri sana," Devan menjauhkan mie nya, takut diambil oleh Bella yang memiliki bakan mencuri sejak paud.
"Kongsi ya, Dev. Ya? ya?" Bella mengeluarkan jurusnya, meminta dengan suara lembut.
"Gak!"
"Jangan dikasih, Dev. Kebiasaan banget tuh si Bella," Zara ikut mengompori, sedangkan Aurel hanya geleng-geleng melihat tingkat sahabatnya lalu melanjutkan menikmati mie cup miliknya.
"Sirik amat lo wibu stres," balas Bella tajam.
"Devan, mau juga, please, ya?" Devan tidak tahan, suara lembut dan puppy eyes milik Bella selalu berhasil menghancurkan pertahanannya.
"Iya, iya," ucapnya terpaksa membuat Bella bersorak senang.
"Makasih Devan cayangku." Devan bergidik, ia selalu geli saat Bella memanggilnya seperti itu.
*****
Devan menghela nafas lelah, sejak tadi Bella sibuk mempromosikan cewek-cewek kepadanya, katanya sih biar Devan bisa move on dari Adel.
"Nah ini si Lala. Emang sih agak berisi anaknya, tapi dia baik kok, Dev. Badannya pelukable, makanannya juga banyak. Sehat wal afiat deh lo kalau sama dia," panjang lebar Bella menjelaskan Lulu temannya waktu Tk dulu.
"Gak perlu pacaran sama dia gue udah sehat, Bel. Gue gak perlu makanan, noh di kulkas juga udah banyak makanan."
"Lo ngapain sih, Bel nawarin cewek ke Devan. Kayak gak ada kerjaan lain aja," Zara membuka suara untuk berkomentar.
"Gak apa-apa dong, Jar. Biar nih anak gak Adel-adel mulu otaknya. Ya gak, Rel?" Bella bertanya pendapat Aurel.
Aurel mengedikkan bahunya "aku sih terserah Devan."
"Pokoknya gue gak mau jumpa teman lo, Bel. Entah si Lala, Dipsy, Caca apalagi Jamal." Mutlak Devan.
"Lah, si Jamal ngapain anjir?" Bella tertawa kecil.
Melihat waktu yang sudah malam, apalagi besok mereka harus kembali sekolah, Zara langsung bangkit dari posisi nyamannya.
"Gue mau pulang, lo ikut gak Rel?"
"Ikut, Ra" Aurel juga bangkit dari duduknya
"Lah, gak nginap nih?" Bella mengganti fokusnya ke arah Zara.
"Kalau nginap biasanya kita bangunnya agak siangan, takutnya terlambat, Bel" Zara mengangguki jawaban Aurel.
"Bener. Yaudah sana lo pada pulang. Udah cukup nyemak-nyemakin rumah gue. Terutama lo cewek rese," Devan menunjuk muka Bella. Langsung saja cewek itu menatapnya sengit.
Zara menggeleng-gelengkan kepalanya, rasanya ia ingin menjitak kepala Devan. Kalau tidak ada mereka bertiga sudah pasti Devan kesepian, teman laki-laki Devan tidak banyak dan juga jarang bermain ke rumahnya. Devan juga tidak punya saudara alias anak tunggal, orang tuanya lebih sering di luar. Yang paling sering di rumah menemani Devan adalah bi Ina dan mang Maman satpam depan rumahnya.
"Bye, Devan. Kita pulang, ya. Makasih banyak, titip salam sama tante Lisa dan om Jery" Aurel pamit dengan sopan dan dibalas senyuman lembut dari Devan.
"Hati-hati"
Devan menunggu sampai ketiganya masuk ke dalam mobil Aurel dan keluar dari pekarangan rumahnya.
Devan merasa senang dengan ketiga sahabat perempuannya, Aurel yang lembut dan baik padanya, Bella teman adu mulutnya namun juga sangat sayang padanya dan Zara yang kadang ceplas-ceplos tapi juga perhatian padanya. Biarpun ketiganya perempuan, Devan tidak malu sama sekali. Ia juga sebenarnya tidak pernah risih mereka bertiga seharian di rumahnya, justru ia malah senang karena tidak kesepian.
*****
Hari Senin kembali datang. Devan sudah sampai ke sekolah, cowok itu baru saja keluar dari mobil hitam kesayangannya. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Adelia yang baru saja memasuki pagar sekolah membuat moodnya seketika naik.
"Selamat pagi, Adel." Sapaan Devan membuat Adelia terpaksa menghentikan langkahnya.
"Pagi," jawabnya seadanya. Berbanding terbalik, moodnya jadi rusak karena sudah berjumpa Devan di Senin pagi.
"Kemarin aku ke rumah kamu, tapi kata Putri kamu sibuk, ya?" Adel hanya berdehem.
"Aku juga--"
"Lo bisa gak sih gak usah banyak cerita! Muak banget setiap hari dengar ocehan lo. Dan satu lagi, jangan pernah datang ke rumah gue, dan lo gak perlu ngasih gue makanan. Gue gak butuh!" Setelah mengatakan itu Adel langsung pergi meninggalkan Devan yang terdiam.
Sudah berkali-kali Devan mendapat kata-kata seperti itu dari Adel, tapi ia belum kebal. Masih ada rasa nyeri di hatinya ketiga Adel terang-terangan menolaknya.
Devan menghela nafasnya lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas. Ia tidak sadar sejak tadi ada seseorang yang menguping pembicaraannya dengan Adel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Sadboy
JugendliteraturCover: Pinterest Devan Alviano, atau kita panggil saja Devan, cowok tampan dan tinggi yang sedikit imut. Naasnya kisah cintanya sangat menyedihkan, tujuh kali nembak gebetannya tujuh kali pula ditolak. Tapi semesta masih baik, Devan memiliki tiga sa...