Yerin rela menukar apapun yang dia miliki termasuk cintanya demi putra kesayangannya yang bernama Jung Beomgyu untuk menebus semua kesalahan yang sudah ia lakukan dimasalalu.
Tapi mampukah Jung Yerin jika cinta yang ingin ia lupakan datang lagi tanp...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seorang wanita muda berwajah cantik dengan kulit seputih salju melangkah turun dari mobil hitam elegan yang terparkir rapi di basement sebuah apartemen mewah di pusat kota Seoul. Rambut panjangnya tergerai lembut di bahu, berkilau di bawah sorotan lampu neon yang menerangi lorong parkir bawah tanah. Meski tubuhnya terlihat lelah karena hari yang panjang, senyuman tipis tak pernah lepas dari bibir mungil berwarna peach miliknya. Ada sinar bahagia yang terpancar dari matanya—sinar yang hanya bisa muncul saat seseorang hendak bertemu dengan orang terpenting dalam hidupnya. Ia merapikan tas di pundaknya, lalu menekan tombol lift menuju lantai lima belas, tempat yang selama tujuh tahun terakhir menjadi rumah sekaligus tempat ia mencurahkan seluruh cinta dan perjuangan.
Langkah kakinya perlahan terhenti di depan sebuah pintu bercat putih gading dengan angka "1512" yang terpasang manis di atasnya. Dengan napas pelan dan tatapan penuh kerinduan, ia memutar kenop pintu dan masuk ke dalam apartemen yang hangat dan terang. Aroma khas rumah—wangi kayu, sabun bayi, dan bunga segar—menyambutnya dengan penuh cinta.
“Aku pulang,”
Ucapnya lembut sambil melepas sepatu hak tinggi yang sedari tadi membuat kakinya pegal luar biasa. Ia menyusun sepatu dengan rapi di rak, lalu berjalan masuk sambil mengelus perutnya yang sedikit terasa tegang karena kelelahan. Apartemen yang mereka tinggali cukup luas dan nyaman, terdiri dari tiga kamar, ruang keluarga yang lapang, serta dapur minimalis yang selalu terjaga kebersihannya. Tempat itu lebih dari sekadar bangunan—itu adalah dunia kecil yang ia bangun bersama anaknya dengan seluruh tenaga dan kasih sayang.
Tak butuh waktu lama hingga suara lembutnya menggema ke seluruh ruangan dan sampai ke telinga seseorang yang sedari tadi menunggunya dengan sabar. Seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang sedang duduk bersila di atas karpet, dikelilingi oleh mainan robot dan boneka karakter animasi favoritnya, langsung menoleh penuh semangat. Matanya berbinar begitu melihat sosok sang ibu berdiri di ambang pintu. Ia berlari secepat mungkin, meninggalkan mainan-mainan yang masih berserakan tanpa sempat dirapikan. Tanpa ragu, tubuh mungilnya melompat memeluk perempuan yang paling ia rindukan sepanjang hari.
“Jagoan Eomma, Eomma kangen sekali…”
Suara lembut sang ibu terdengar bergetar pelan saat memeluk anaknya erat-erat. Ia mencium pucuk kepala anaknya sambil menahan air mata haru yang hampir jatuh karena lelahnya langsung terhapus begitu saja.
“Bamii juga kangen Eomma!”
Balas anak laki-laki itu, Jung Beomgyu, dengan suara nyaring yang penuh cinta dan antusiasme. Tatapan matanya begitu cerah, seperti matahari kecil yang menyinari dunia sang ibu.
Dari sudut ruangan, seorang wanita paruh baya dengan wajah anggun dan raut penuh kelembutan menyaksikan pemandangan itu dengan tatapan hangat. Nyonya Jung, ibu dari Yerin, hanya tersenyum sambil menggeleng pelan. Ia tak pernah bosan melihat betapa erat dan manisnya hubungan ibu dan anak itu. Meski baru pagi tadi mereka berpisah, keduanya selalu melepas rindu seolah sudah terpisah berhari-hari. Itulah bentuk kasih sayang yang tak pernah habis—cinta murni seorang ibu dan anak laki-lakinya.
“Bamii, sayang... biarkan ibumu membersihkan diri dulu, ya. Kau juga harus belajar kan? Besok kamu sudah mulai masuk sekolah lagi,” ujar sang nenek sambil bangkit dari duduknya di sofa dan menghampiri keduanya.
“Siap, Nenek!” jawab Beomgyu dengan suara penuh semangat. Ia mengecup pipi ibunya dengan cepat, lalu berlari ke kamarnya sambil menenteng boneka alpaca berwarna putih yang ia beri nama RJ—karakter favoritnya yang selalu menemaninya tidur malam. Sebelum menghilang ke balik pintu kamar, ia sempat berkata pada bonekanya dengan ekspresi serius,
“Ayo RJ, temani Hyung belajar ya. Jangan nakal.”
Sontak membuat kedua wanita dewasa itu tersenyum lebar sambil geleng-geleng kepala melihat kepolosan dan imajinasi anak kecil itu.
“Lihatlah dia, Yerin. Putramu itu sangat menyayangimu,” ucap sang ibu sambil duduk kembali di sebelah Yerin, menatap wajah putrinya yang mulai terlihat lelah.
Yerin mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. “Iya, Bu. Dia memang anak yang manis. Setiap hari dia membuatku merasa hidup.” Tatapannya menerawang ke arah kamar Beomgyu. Dalam senyumnya, terselip rasa syukur dan haru.
“Kamu sudah melakukan semuanya dengan sangat baik, Nak. Mengurus Beomgyu sendirian, membesarkannya tanpa kehadiran ayahnya, dan masih bisa tetap bekerja keras dari pagi sampai malam. Ibu bangga padamu,” kata Nyonya Jung dengan nada bangga sekaligus sedih.
Yerin hanya menunduk. Ia tidak membalas, hanya merapikan sisa-sisa mainan di lantai, seolah menyibukkan diri untuk menghindari arah pembicaraan yang sebenarnya sudah ia duga sejak awal. Namun ibunya tetap melanjutkan.
“Beomgyu sudah cukup besar, Yerin. Mungkin ini waktu yang tepat untuk kau mulai memikirkan dirimu sendiri. Kau juga berhak bahagia. Jangan terlalu lama menutup hatimu.”
Yerin menarik napas dalam, kemudian menghela perlahan. Ia sudah hafal kalimat-kalimat itu. Sudah entah berapa kali ibunya mengulanginya sejak ia memutuskan membesarkan anaknya seorang diri setelah peristiwa menyakitkan bertahun lalu. Tapi bagi Yerin, sejak kehadiran Beomgyu, hatinya sudah penuh. Tak ada ruang tersisa untuk siapapun.
“Ibu, kita sudah pernah membicarakan ini sebelumnya. Aku sudah memutuskan untuk fokus pada Beomgyu. Aku bahagia, sungguh. Dia cukup untukku. Dia segalanya untukku.” Senyum yang ia pakai kali ini adalah senyum penuh keyakinan, namun di mata sang ibu, tersimpan luka yang belum benar-benar sembuh.
“Cha Eunwoo pria yang baik. Ibu bisa lihat bagaimana dia memperlakukan kalian dengan tulus. Dia serius, Yerin. Dia menginginkanmu, bukan karena iba, tapi karena dia benar-benar melihatmu.”
“Dia hanya teman, Bu. Aku nggak pernah punya perasaan lebih padanya,” jawab Yerin datar, meski dalam hatinya dia tahu benar bahwa Eunwoo telah melakukan banyak hal untuknya dan Beomgyu. Ia bahkan beberapa kali membawakan makanan, menjemput Beomgyu dari sekolah saat dirinya lembur, dan selalu hadir saat mereka butuh bantuan. Tapi, Yerin merasa terlalu banyak risiko jika hubungan itu berubah dari pertemanan menjadi sesuatu yang lebih. Ia takut kehilangan satu-satunya orang yang kini sudah seperti kakaknya sendiri.
“Yasudah, Bu… Yerin capek. Ingin istirahat dulu,” ucapnya menutup percakapan seperti biasanya.
Nyonya Jung hanya terdiam. Ia tahu, saat Yerin sudah mengucapkan kalimat itu, tidak ada yang bisa mengubah pikirannya. Namun sebagai seorang ibu, hatinya tetap merasa miris. Sampai kapan anak perempuannya itu akan terus menutup hatinya? Sampai kapan ia akan terus menghukum dirinya sendiri atas masa lalu yang bukan sepenuhnya salahnya?