"Hari ini pun Lily cantik, ya."
Lily—si anak bertopeng yang datang lewat perapian—tersenyum manis di seberang meja begitu mendengar ucapan temannya. "Hari ini aku cantik karena Lilith cantik. Aku mengikuti apa kehendakmu, kau ingat?"
Lilith kembali menyeruput sup ikan, ditemani suara kekacauan dan lolongan nestapa di luar pintu. Mau tidak mau dia harus menghabiskannya, atau nanti ibu akan terheran-heran dan berpikir ada yang salah selama dia pergi.
"Ibu belum memberiku buku, tugas, atau mainan baru," lapor Lilith. "Jadi aku tidak tahu kita harus main apa hari ini. Kau ada ide?"
Lily bertopang dagu di seberang meja. Bibirnya yang semerah buah delima ranum mengerucut, barangkali menandakan bahwa dia tengah berpikir keras. "Masih tidak boleh ke luar?"
"Aku masih harus berulang tahun lima kali lagi."
"Kedengarannya sedikit."
"Selama di atas tiga, bagiku masih banyak. Lagipula, aku tidak yakin Ibu akan benar-benar langsung mengizinkanku pergi ke luar. Kau yang bilang sendiri kalau hati dan pikiran manusia itu selalu berubah-ubah. Jadi aku sudah bertekad; kalau nanti aku sudah tiga belas tahun dan ternyata masih tidak boleh ke luar, aku akan kabur." Lilith menghela napas. Nafsu makannya hilang. Sekarang dia hanya ingin duduk di sofa sambil memilin rambut. Melamun atau membayangkan ada seseorang yang menggedor pintu rumah sepertinya lebih seru ketimbang makan sup ikan.
Seseorang, ayo gedor pintu depan agar hari ulang tahunku tidak membosankan.
Lily menghela napas juga, tetapi tidak sejelas yang dilakukan Lilith. Anak itu masih bertopang dagu di seberang meja. Topeng bertanduk yang cantik senantiasa menutupi separuh wajahnya. Pertanyaan lama kembali timbul di kepala Lilith: Apa dia benar-benar mirip denganku?
"Apa kau tidak berniat untuk pergi menyelinap ke luar sekali pun?"
Lilith mengernyit. Tidak menggeleng ataupun mengangguk.
Rasa-rasanya dia memang pernah mencoba untuk menyelinap, tetapi yang tersisa di kepalanya hanya berupa bayangan-bayangan kabur. Dia tidak ingat kenapa, bagaimana, dan kapan persisnya dia menyelinap ke luar. Semua itu terasa janggal, terombang-ambing antara bunga tidur atau pengalaman nyata.
"Jangan-jangan kau betah di sini, ya?"
"Bukan begitu." Kali ini Lilith cemberut. "Aku belum pernah bilang, ya, kalau ibuku mantan prajurit istana? Instingnya itu mengerikan, tahu."
"Wow, benarkah? Bukan akal-akalannya saja agar kau makin takjub dan menuruti apa katanya?" Lily menyeringai. Topeng putih bertanduk hitamnya malah membuat air wajahnya tampak jahat. "Lagipula, kalau ibumu benar-benar mantan prajurit, seharusnya kau semakin penasaran dengan dunia luar. Bukannya pasrah diam-diam saja di sini."
"Asal kau tahu aku memang penasaran, tapi ibuku sering berubah-ubah kepribadian. Aku bahkan tidak tahu yang mana sifat aslinya." Lilith menggerutu di tengah kesibukannya menghabiskan sisa-sisa sup dengan terpaksa. Helaan napasnya terdengar lega saat dia berhasil menelan tanpa sisa. Akhirnya. "Memangnya ibumu tidak begitu?"
Pertanyaan kekanakan itu tidak lantas langsung dijawab oleh Lily. Si anak bertopeng justru terdiam menatap Lilith tanpa suara selama beberapa detik; cukup lama sampai Lilith duduk mengerut tidak nyaman.
"Tidak," jawab Lily akhirnya. "Ibuku tidak begitu, tapi sepertinya aku paham perasaan anak-anakku sekarang."
Lilith melotot. Kepala kecilnya langsung memuntahkan banyak pertanyaan, tetapi mulutnya tidak sanggup mengeluarkan semuanya sekaligus sampai-sampai dia tersedak. Dia berdeham keras, berusaha menahan rasa gatal di tenggorokan. Jangan sampai Lily menilai bahwa perbuatannya tidak sopan. "Maafkan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Howl
Horror"Wahai Lilith, sang penguasa malam; ibu para setan; ratu kegelapan; bangkit, datang, dan bermainlah." * * * Pada tanggal 13 Oserpent 892, Porthale dikutuk. Anak-anak ketakutan, orang dewasa kesulitan rasional, dan para manula tak henti-hentinya m...