01. Terancam PHK

101 23 2
                                    

CEK OMBAK DULU DISINI, KALO RAME LANJUT PART DUA, HEHE

MAMPIR JUGA DI TWITTER YA!

Americano Coffee tersaji di depan gadis yang tersenyum pada sang penyaji kopi tersebut. Keramahan itu bertahan sebentar sebelum akhirnya kembali memasang wajah juteknya, guratan dahi terlihat jelas menandakan banyak hal yang dia pikirkan.

Lonceng pintu Kafe terdengar begitu pengunjung masuk. Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda yang memesan di meja pesan. Usai memesan dia hendak mencari tempat, matanya tertuju pada gadis yang duduk dengan americano. Dia menghampirinya.

"Hei!" sapanya.

"Hei.."

"Tumbenan kesini? Bukannya ini jauh banget ya dari tempat kerja Lo, Gi?"

Selgira, gadis dengan kopinya tersenyum hambar. "Emang jauh dari kantor gue, tapi kan gue nggak dari kantor."

Jeni menaikkan sebelah alisnya, "Cuti?"

Selgi menggelengkan kepalanya.

"Bolos? astaga Gi, gue aduin ke Mbak Airin ya Lo bolos kerja?!"

"Shutt! berisik banget sumpah."

"Ya lagian Lo atas dasar apa melakukan pembolosan kerja gini? Diajarin siapa Lo, hah?!"

Selgi nampak lesuh, dia memainkan sedotan kopinya dengan wajah cemberut. "Gue diambang PHK, Jen."

"What the hell! Yang bener aja, bukannya kinerja Lo bagus ya? Banyak klien yang berhasil Lo tangani bukannya? Kok bisa Lo kepilih PHK?"

"Bukan karena kinerja gue, tapi perusahaannya yang emang udah jelek."

Jeni menutup mulutnya kaget, "Jangan bilang gulung tikar?"

Selgi mengangguk lesuh.

"Heum, kacian banget temen Cici... cini peyuk duyu.." Jeni merentangkan kedua tangannya dengan ekspresi sedih.

"Ish, gue nggak se-kasihan itu ya?!"

Jeni terkekeh. "Jadi Lo nyari loker?"

"Hm, gue udah nyari dari kemarin sih. Cuma belum dapet."

"Hm, kalau di tempat kerja gue masih belum ada lowongan. Udah tanya sama yang lain?"

"Sama yang lain?"

"Ck, kebiasaan deh Lo. Lupa ya Lo kalau masih ada grup Manusia Tulang Rawan?"

Selgi terkekeh. "Udah lama banget nggak aktif itu grup, gue sampe lupa."

"Iya ya, udah berapa tahun sih kita nggak ngumpul lagi?"

"Setelah Wendy nikah? atau setelah Jia ke Paris?"

"Lumayan juga ya, gue jadi kangen deh.."

"Sama! Gue juga kangen."

"Gimana kalau reunian?"

"Hm, boleh. Nanti kabarin aja deh."

"Oke!"

"PESANAN ATAS NAMA BABY SUGAR!" teriak pelayan memanggil pesanan.

"Astaga itu punya gue, yaudah Gi gue duluan ya, bye!" pamitnya.

Selgi bergeleng-geleng kepala melihat Jeni yang buru-buru menghampiri meja pesanan. "Masih nggak berubah itu orang, masih aja pengen jadi sugar baby."

Selgi menatap keluar kaca Kafe, menatap lalu lintas yang lancar tanpa hambatan. "Apa gue coba tanya ke Cakra aja ya?"

***

Rumah bernomer 5 itu sedang sibuk dengan dua orang tukang las di depan gerbangnya. Mengelas pagar besi yang sebelumnya patah karena ditabrak motor oleh Yeri. Di teras rumah terlihat si bungsu tengah memantau bersama toples kue di pangkuannya. Dan Ayah yang berada tak jauh dari pagar ikut memantau sembari bertanya-tanya dengan tukang las.

Selgi memarkirkan motornya ke dalam garasi. Lalu duduk di samping sang adik yang tengah serius memantau sambil mengunyah kue kembang goyang buatan Mama.

"Nggak kuliah, Dek?"

"Dosennya sakit."

"Oh.."

"Teteh nggak kerja?"

"Nggak."

"Kenapa? Jangan-jangan yang dibilang Joy bener lagi?"

"Emang Joy bilang apa?"

"Teteh resign?"

"Nggak, Teteh nggak resign."

"Terus, kok nggak kerja?"

Selgi menghela napas, "Kantor tutup, lagi ada demo disana."

Yeri tersedak, buru-buru Selgi memberikan air yang ada di meja ke adiknya itu.

"Pelan-pelan dong makannya. Ntar kalo mati tersedak gue nggak mau ya mandiin mayat Lo!"

"Ya ampun, Teh. Ngomongnya kok gitu?" Mama muncul dengan tegurannya. "Adek juga makan tuh pelan-pelan, kayak dikejar-kejar setan aja." Tuh, Yeri juga kena kan.

Mendapat omelan dadakan dari Mama, Yeri menjadi cemberut.

"Sampai kapan nggak masuk kerja gini, Teh?" tanya Mama.

"Nggak tau, Ma. Sampai ada keputusan dari pengadilan."

"Nggak mau cari kerja lain?" tanya Ayah yang tiba-tiba bergabung di obrolan.

"Udah Teteh cari kok, tapi belum nemu yang pas."

"Coba tanya Mas Cakra aja, Teh!"

"Iya, barangkali dia lowongan di perusahaan."

"Nanti coba Selgi tanya deh."

"Oh iya, adek mulai besok Ayah anterin aja ya?"

"Loh kok gitu, Yah?" protes Yeri.

"Biar aman, Dek."

Selgi tertawa puas, "Makanya belajar sepeda dulu, Yer."

"Ih, Yeri bisa ya naik sepeda!"

"Terus kenapa motor nggak bisa?"

"Ya, salah yang ngajarin kenapa nggak bener ngajarin Yeri!"

"Emang siapa yang ngajarin?" tanya Mama.

"Teteh!"

"Lah jadi Teteh, Yerinya aja yang susah di ajarin."

"Tetep aja Teteh yang salah!"

Ya, begitu sampai akhirnya Mama yang menengahi perdebatan si bungsu dan anak keduanya itu. Indahnya persaudaraan Wijoyo ini karena diwarnai perdebatan setiap harinya.

Bersambung...

🐈🐈🐈

Malachi || SeulhunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang