Prolog

4 2 0
                                    


Terus ngulayani atiku seng suci

Ku bertahan tetep tak lakoni

Kowe milih kae ngingkari janjimu

Aku ngerti cintamu palsu

Pemuda itu menyanyikan lirih lagu Ajur Mumur milik Guyon Waton. Suaranya mengalir bersama hembusan angin yang cukup kencang. Kunci petikan gitar ia mainkan perlahan sembari merasakan dalam-dalam makna lagu yang dinyanyikannya. Lantunan indah nan merdu bertolak belakang dengan hati pikirannya yang kacau dan sendu.

Luputku mileh kowe

Nyesel nemokke kowe

Wes ra butuh sayangmu

Tak cobo ngilangke roso

Tatapannya kosong mengarah ke aspal tengah jalan. Di bawah matanya yang sembap terlihat jelas kantung hitam tanda kelelahan yang luar biasa. Rambut ikalnya teracak asal. Sama sekali tak memedulikan penampilannya. Masa bodoh siapa dan apa kata mereka yang melihat. Di pinggir jalan ini bersama pengamen yang ia pinjam gitarnya, ia tak memikirkan apapun. Bisa hidup lepas dari segala tekanan sudah cukup baginya. Pengamen di sebelahnya terpukau mendengar suara pemuda ini. Tanpa berkata sepatah apapun, si pengamen sepertinya paham jika orang di sampingnya sedang dihantam keputus asaan.

Nangis pilu.. garing banyu motoku

Kelingan.. esemmu gawe ku bertahan

Mata pemuda ini semakin berkaca-kaca. Nada tingginya mengisyaratkan seakan sama dengan tajamnya kenyataan yang ia hadapi. Si pengamen semakin iba namun tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya terus diam sambil memakan roti pemberian pemuda asing ini.

Nanging perih merelakan cinta ini

Ajur mumur uripku nyanding karo sliramu

Suara merdu itu mulai bergetar. Air matanya keluar setetes. Napasnya tersengal-sengal. Kepahitan dan ketidak adilan hidup membuatnya jadi sehancur ini. Pengamen memberanikan diri mengelus pundak si pemuda. Petikan gitar bertambah pelan. Isakan semakin kentara meski berusaha ditahannya.

Ajur mumur uripku nyanding karo sliramu.

Tangis pemuda ini pecah lagi. Setelah tadi sempat reda, namun kecamuk di pikirannya menumbangkan segala pertahanan batinnya. Pengamen menepuk-nepuk punggung pemuda ini. Menenangkannya sebisa mungkin. Entah masalah apa yang telah menimpa lelaki ini. Tak perlu menunggu diceritakan, beratnya sudah bisa dirasakan.

Gitar itu dikembalikan kepada pemiliknya. Jari telunjuk dan jempol tangan kirinya sekarang menutupi kedua bola mata yang masih berlinang air mata. Tangisan tanpa suara kadang lebih menyakitkan dibanding dengan jeritan menggelegar.

"Minum dulu, Mas!" Sila si pengamen memberikan segelas air putih dari warung di belakang mereka.

Pemuda itu meminum air dengan tangan gemetaran. Menyebabkan sebagian isi gelas tumpah ke kemejanya. Air matanya belum berhenti mengalir. Kali ini si pengamen mengarahkan badan pemuda itu untuk bersandar di batang pohon besar.

"Lagi, Mas?" Pengamen menawarkan air putih lagi.

Pemuda itu menggeleng. Badannya semakin melemas. Tenaganya sudah habis terkuras. Ia merasakan berat tarikan udara di dadanya.

Sementara pengamen mengembalikan gelas ke ibu pemilik warung.

"Kenopo kuwi?" (Kenapa itu?) Tanya si ibu pada pengamen.

"Kirangen, Bu." (Kurang tau, Bu.)

Pengamen kembali menemani pemuda yang seperti hampir sekarat itu.

"Nama sampean siapa, Mas?"

"Wira." Jawab pemuda itu singkat.

Pengamen menganggukan kepalanya sambil melihat bahu seberang jalan.

Bruk! Tubuh Wira tumbang. Si pengamen langsung terkejut berteriak minta bantuan ke pengunjung warung. Seketika badan Wira dikerubungi belasan orang. Tanpa pikir panjang mereka membopong Wira ke dalam warung.

Di antara keriuhan itu, Wira yang setengah sadar berbisik pelan.

"Biarkan aku mati."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TempiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang