🧊 : Senior Keren yang Aku Suka

26 4 1
                                    

Bersinar, bersinar, bersinar. Kilauan di menyelimutimu. Dirimu yang berdiri tegak di podium, dirimu yang mengambil nafas sebelum berkata.

Bersinar, berkilau, bersinar. Benar-benar gemerlap.

Hari perpisahan kelas tiga. Hari terakhir [Name] memijakkan kaki di sekolah yang sama dengan Sou.

Hari pembacaan pidato.

Pidato yang, betul-betul, sungguh-sungguh, amat-sangat, ah, itulah—payah. Pidatonya bahkan tidak lebih dari sekedar guyonan yang bisa kita temui di aplikasi WajahBuku.

Walau begitu, mata Sou tetap berbinar-binar memandang [Name]. Tentu saja ia tidak mengakuinya dalam hati.

Tapi yang membuat Sou menganga bukanlah inti dari pidato itu, namun namanya yang disebut di bagian ucapan terima kasih.

Padahal sejak tragedi jus tumpah di atas teks pidato [Name] di perpustakaan lalu, dirinya dan kakak kelasnya itu belum bertukar sapa sama sekali. Lalu tiba-tiba [Name] muncul bagai pegasus yang menukik dari langit, membaca pidato, mengucapkan namanya, lalu turun dari podium.

Sosoknya terlihat bersinar. Benar-benar cool.

Sou, yang-euh saya juga gatal menghujat tolong-b-berhati lembut, aduh aneh sekali harus mendeskripsikan ini, tak kuasa membendung air mata dan kerinduan pada senpai-nya.

"SROTTTTT hiks NEE-CHAN KEJAM, KENAPA NGGAK BILANG DARI AWAL KALAU AKU SOSOK YANG BEGITU DI MATAMUUUHUWEGHGHEEGH hiks hiks hiks-"

Oke, dia tidak berhati lembut, cuma bocah alay yang cengeng.

Bahkan tangisnya saja alay, tolong.

"W-woi, sing tenang mazzeh, cup cup m-mau permen?" Sou yang nangis, yang malu Luz. Sedang sial kedapatan baris di sebelahnya.

Padahal tinggi mereka nggak imbang sama sekali ....

"N-n-nggak mau, maunya kete-te-HWEEEHHEEHH" Bukannya tenang, permen yang disodorkan oleh Luz malah berjatuhan, pasalnya lengan Luz digoyang-goyangkan oleh Sou secara brutal. Seragam siswa jangkung tersebut malah alih fungsi menjadi lap ingus dan air mata Sou.

Duh, Luz jadi pengen ikut nangis.

Eve yang mendengar tangis Sou buru-buru menerobos kerumunan, lalu menarik tangan adiknya.

"Nii- nii ..." Sou masih terisak.

"Kita ke UKS dulu," bisik Eve. "Setelah itu kamu bisa dengar apa yang mau kamu dengar."

🧊🧊🧊

Eve mengelap ingus Sou untuk yang kesekian kalinya. Wajah pemuda di depannya memerah, matanya pun berkedut beberapa kali.

"Kamu ini, nggak perlu nangis heboh begitu, kan?" Eve menghela nafas. "Nih, minum. Teh hangat dari Amatsuki."

Sou menatap bayangan dirinya di dalam cangkir dengan tatapan hampa. "Aku nggak tahan lagi, Nii. Setelah marah-marah, nee-ch- senpai ghosting aku kaya' nggak terjadi apa-apa. Terus tiba-tiba baca pidato yang sembarangan sebut namaku. Bagi dia aku tuh apa, sih? Tapi sebenarnya aku nggak peduli apa jawabannya. Aku cuma ... aku nggak rela dia lulus."

Bibir Sou bergetar. Beberapa saat setelah ia memuntahkan isi hatinya, seragamnya basah oleh titik-titik air. Sou menangis lagi.

Eve menepuk kepala Sou dengan lembut. Diamitnya kepala adik kesayangannya itu dengan lengan. "Bagi dia, kamu adik kelas yang ceria, yang kasih dia semangat di saat dia butuh semangat itu."

"...."

"Mungkin juga bagi dia, ini cuma terkaanku, kamu itu ... hmm, cinta lamanya."

"... Apa?"

Sou langsung menegakkan badannya. "Apa? Apa maksudnya itu?"

"SE5021. Senpai bereaksi sama nama itu."

"Hah? Apa sih itu? Nama satelit?"

Eve menjitak kepala adiknya. "Bukan, bodoh. Masa' lupa sama username sendiri?"

Sou melongo. "J-jadi? Senpai bereaksi gimana?"

"Yah, dia kelihatan kaget, terus balik badan. Tapi dari gerak tubuhnya, kelihatan banget kalau dia lagi senang karena sesuatu. Waktu dia ngobrol lagi sama aku, waktu kasih salam juga, mukanya berseri-seri, merona? Terus, menurutku, kalau nggak ada trigger, senpai yang sibuknya di luar nalar dan gengsinya gede banget itu nggak bakal sudi datangin aku tiap pulang sekolah, cuma buat diskusi cara minta maaf yang "kena", tapi nggak buat keributan lagi. Yah ... walau kamu bikin ribut juga gara-gara nangis, sih."

Hening. Kepala Sou yang sudah terlalu panas rasanya tidak bisa mendengar atau memikirkan apa-apa lagi. Diseruputnya teh dari Amatsuki, sebagai upaya untuk mengembalikan dirinya sendiri ke kenyataan.

Kehangatan mengoar di dalam dadanya. Berpusat di tengah, lalu pelan-pelan mengalir ke seluruh tubuhnya.

Sama seperti ketika [Name] tersenyum padanya.

"Nii, boleh tolong pukul aku, nggak?"

"Boleh. Siap-siap nih ya, bakalan sakit."

"GAMPANG BANGET NGEIYAINNYA."

Eve terkekeh. "Lagian buat apa juga. Kerasa unreal, ya?"

Pertanyaan sang kakak ditanggapi dengan anggukan. Eve mengelus kepala lawan bicaranya.

"Jadi, kamu maafin senpai atau enggak?"

🧊 : Cool [Sou ✕ Fem Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang