Kolaborasi manis bersama
HasrianiHamzHappy Reading
----------
Setelah MC menutup kegiatan dengan resmi, tepuk tangan seketika bergemuruh memenuhi seluruh sudut ruangan. Wajah-wajah tampak tersenyum senang dengan berakhirnya Musyawarah Nasional tahun ini, tetapi berbeda denganku yang masih terdiam sembari memperhatikan sekitar. Aku masih memikirkan besok akan dengan siapa setelah Rasyad dan teman-temannya kembali.
Di tengah tawa dan pesta perpisahan yang mereka buat, aku hanya terdiam memainkan ponsel yang sedari tadi kugenggam. Mencari kontak senior yang bisa dihubungi di tengah malam seperti ini, aku sangat butuh teman bicara yang tepat.
"Hallo, Assalamu'alaikum, Arsyra ...." sapa kak Adi saat telepon sudah tersambung.
"Wa'alaikumsalam, Kak."
Lama aku mencoba berbasa-basi dengannya, hingga aku melihat Rasyad baru saja melewatiku tanpa sedikitpun menoleh. Mungkin dia tidak menyadari keberadaanku di sudut gelap seperti ini, terlebih pakaian yang melekat pun berwarna hampir sama pekat. Biarlah, kali ini aku tidak mengejarnya dulu, aku harus belajar sendiri lagi mulai dari sekarang. Mataku hanya mengikuti ke mana ia melangkah, sampai ia menghilang seolah tertelan di tengah kegelapan. Sebentar, aku menghela napas lalu menghembuskannya kasar.
"Jadi, kapan pulang?"
Pertanyaan itu bukan berasal dari kak Adi, ada suara lain menerobos telinga hingga menarikku dari lamunan singkat. Kaget, aku bahkan lupa jika sedang menelepon. Suara itu sempat membuatku heran. Dengan mengerutkan alis, aku mencoba memastikan pendengaranku masih berfungsi dengan benar.
"Kak ... itu kak Iman?" tanyaku ragu.
"Iya, ini si Iman sama Dito dan yang lain lagi ngumpul."
Aku hampir melupakan kebiasaan mereka di tengah malam seperti ini, suara kak Iman dan yang lain terdengar begitu jelas kembali berdiskusi setelah menyela obrolanku dengan kak Adi tadi.
"Jadi, Arsyra kapan pulang?"
"Belum tahu, Kak," jawabku dengan intonasi manja seperti biasa ketika aku berbicara dengannya.
"Hah? Apa yang belum kamu tahu?" Kak Adi malah balik bertanya dengan heran.
"Pulangnya yang belum aku tahu, Kak," jawabku seraya berbalik dan hampir saja aku menabrak lelaki yang kini berdiri tegak di depanku. Aku tahu dengan jelas siapa yang barusan bertanya.
"Oh itu tadi si Iman yang--"
"Kak Adi, sudah dulu, ya, aku mau lanjut sama teman-teman di sini. Assalamu'alaikum."
Dengan cepat aku memotong ucapan kak Adi di seberang sana dan segera memutus sambungan telepon bahkan tanpa menunggu balasan salamnya. Memang ya, junior kurang ajar.
Aku menelan ludah melihat siapa lelaki yang hampir aku tabrak ini. Dia Rasyad. Bagaimana mungkin? Padahal aku melihatnya dan sudah memastikan sendiri dia berjalan keluar meninggalkan arena ini tadi."Coba lihat hpmu dulu, Sera." Pintanya seraya mengulurkan tangan.
Tanpa bertanya apa pun, aku langsung menyerahkannya begitu saja. Kulihat ponsel milikku sudah ia genggam dan sebelah tangannya menarik pergelangan tanganku untuk segera mengikutinya berjalan entah ke mana lagi ia akan membawaku. Ternyata dia membawaku ke tempat ini, tempat yang sering kami datangi ketika forum di istirahatkan tengah malam, mungkin karena bangku inilah yang paling terang di antara semua bangku yang tersedia di sini. Tidak seperti biasa, jaraknya jadi terasa sangat dekat hingga aku tak sempat berkata apa-apa padahal malam sebelumnya harus butuh beberapa menit untuk bisa sampai ke sini.
Ponselku sudah di bongkar, dari mulai membuka casing belakang, mencabut baterai, memori hingga kartu provider. Lalu ia meletakkan tepat di atas pahanya, sebelum melakukan hal yang sama dengan ponselnya. Ia memindahkan memori dan sim card punyaku ke ponselnya sebelum menyerahkannya padaku dan kembali memasang memori berserta sim card miliknya ke ponselku. Aku baru ingin bertanya, tapi ia sudah lebih dulu bersuara bahkan tidak memberi kesempatan untukku menghela napas.
"Itu Sera pakai ... saya ambil ini," ucapnya sambil memasukkan ponselku ke saku celananya.
Aku masih bingung dengan idenya yang tiba-tiba menukar ponsel seperti ini tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu. Atau mungkin ada hubungannya sama dia yang pernah menjatuhkan ponselku saat itu, begitu pikiran singkat yang bisa kutarik dari semua logika yang terlintas.
"Sebagai kenang-kenangan toh. .. iya, itu juga sebagai ganti saya pernah jatuhkan hpmu."
Seolah menjawab pertanyaan yang baru saja terbersit dalam hatiku, padahal aku hanya sekadar menebak tadi. Setelahnya, ia segera berdiri dari duduk dan perlahan melangkahkan kaki menjauh dariku yang masih memilih untuk tetap di sini. Wajar, ini sudah lewat tengah malam, dia harus istirahat dan bangun lebih awal untuk membereskan pakaiannya.
Jadilah aku seorang diri di tempat ini, menatap punggungnya yang semakin menjauh di depan sana bahkan sudah hampir menghilang dalam remangnya cahaya. Mataku tiba-tiba terasa perih bersamaan dengan munculnya beban yang berdesakan seolah berlomba memenuhi rongga di dada hingga membuatku sedikit sesak. Aku kenapa? Bukankah tadi aku baik-baik saja. Ingin rasanya menangis, tapi itu tidak mungkin kulakukan saat ini. Mungkin nanti jika kelopak mataku sudah tidak bisa lagi menjadi benteng dan jika aku sudah menemukan alasan untuk menangis.
Lama aku berdiam diri, menikmati suasana malam yang semakin dingin dan sunyi. Bayangan bersama Rasyad saat pertama kali menemukan tempat ini kembali muncul.
"Kayaknya tempat ini diperuntukkan untuk orang pacaran, Sera. Bukan untuk kita." Rasyad terkekeh setelah kita berjalan cukup jauh dari lokasi kegiatan.
"Kenapa?" Aku bertanya sembari mengerutkan kening bingung.
"Nah, ini banyak bangku, tapi remang-remang semua. Tidak ada yang terang begitu," jawabnya sambil tetap melangkah.
Namun, belum sempat ia menutup mulut, Rasyad kembali berseru ketika melihat satu bangku tepat berada di bawah lampu yang begitu terang. Seperti anak kecil yang menemukan mainan, Rasyad terlihat bahagia seolah mendung yang baru saja melintas di wajahnya bukan sesuatu yang berarti.
"Eh ada nih satu untuk kita ... sebelah sana." Tunjuknya dan segera menarik pergelangan tanganku untuk mengikuti langkah yang cukup bersemangat.
"Mulai ini malam, bangku yang ada di bawah sorot lampu ini menjadi tempatku sama Sera selama kegiatan," katanya.
Rasyad sudah mendudukkan dirinya dengan santai seraya menaikkan sebelah kaki ke atas lutut, aku ikut tersenyum melihat bagaimana interaksi kita berdua yang begitu cepat sampai di tahap ini.
Kini, aku benar-benar merasa sendiri padahal yang lain masih bersenda gurau sebelum kembali ke kota masing-masing. Harusnya sekarang aku sudah tertidur dengan nyenyak tanpa beban jadwal kegiatan lagi esok hari. Harusnya aku menyusun jadwal untuk jalan-jalan sebelum pulang. Harusnya selesai penutupan aku langsung pulang. Harusnya dan harusnya, tetapi kenyatanya aku masih di sini seperti orang bodoh yang tak punya seorang teman.
"Aku mau pulang," lirihku sebelum benar-benar beranjak meninggalkan tempat itu.
---- •° ----
Jangan lupa support dengan vote dan comment, ya ✨

KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa [On Going]
Teen FictionBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...