Adelita || 1

135 52 122
                                        

Haii ....

Mengerjakan project ini, ternyata aku yang lebih lambat.
Naskah Arsyraina sudah ada beberapa yang siap, tapi aku masih nyicil buat bagian Adelita.

Hope you guys enjoy this story!
Happy Reading

🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓

Sepekan yang menakjubkan, begitu pikirku sejak awal masuk forum hingga hari ini. Datang menjadi perwakilan, meski hanya berstatus sebagai peserta peninjau tapi aku memiliki hak bicara yang mungkin tidak akan pernah terpakai.

Forum ini bukan tempat adu mulut kosong yang bisa dimainkan, pembahasan mereka sudah melangkah ke area yang belum pernah kupijak. Pendapat yang pro dan kontra tidak pernah berjalan sesuai yang diharapakan, aku bahkan tidak percaya jika mereka begitu berkeras agar usulannya diterima.

Syahib. Lelaki itu juga ikut andil, suara dan logat khasnya terus mewarnai setiap kali presidium sidang memberikan kesempatan pada peserta untuk on mic.

"Tabe', Presidium sidang yang kami hormati. Sebelumnya bukankah sudah jelas, bahwa kriteria disepakati oleh kami yang bertugas di komisi dua. Kalau memang ada yang tidak sepakat, kami sudah membuka kesempatan kemarin tepat saat pemaparan berlangsung. Hal seperti ini, sama saja kalian telah mengkhianati ketukan palu sidang yang sakral itu."

"Sepakat!"

"Benar begitu, Presidium."

"Keputusan sifatnya mengikat, kalau ada perubahan harusnya ada peninjauan kembali."

Netra tajam Syahib mengitari seluruh ruangan, seolah ingin menegaskan saat ini lelaki berdarah Bone itu tidak sedang main-main. Aku terkesiap ketika tatapannya menuju ke arahku, mungkin bukan--tapi aku merasa dikuliti oleh caranya meninggalkan jejak atensi.

Suasana di beberapa hari menuju inti pembahasan memang berbeda, mereka yang awalnya kulihat biasa dan santai seketika menunjukkan taring dan racunnya masing-masing.

Untung ada jeda istirahat, selesai sholat, aku melihat Syahib sudah mengangkat dua kotak nasi yang ia bawa. Seperti biasa, aku menghampirinya dan kita melewati waktu istirahat untuk bertukar pikiran. Sebenarnya, dia yang lebih sering memberiku ilmu, tugasku hanya menanggapi dan banyak bertanya.

"Kamu tadi emang harus banget kayak gitu?" tanyaku setelah menyimpan dos kosong di lantai.

"Harus apa maksud ta?"

"Berkeras, kayaknya temen komisi kamu juga nggak semuanya ngebantuin tuh."

"Lita," lirih lelaki itu sembari menumpuk dos kosong miliknya di atas dosku, "nda ada hal kecil apa pun yang bisa kita toleransi ketika itu salah dii, nanti akan jadi bias dan percuma mi kita berjalan di garis kebenaran."

Aku mengangguk, setiap kali bertanya selalu tak ada sanggahan yang bisa kukatakan. Hanya saja, rasa penasaranku terbayar ketika tanda tanya itu sampai pada orangnya. Aku dan Syahib melangkah ke tong sampah besar, selesai makan biasanya dia akan mengajakku berdiskusi tentang buku, alam atau kejadian di sekitar.

"Syahib, kenapa kamu suka memanjangkan rambut?"

Pertanyaan sejak awal bertemu akhirnya kuingat, Syahib mengerutkan kening kemudian tertawa setelah berhasil mencerna kalimat. Mungkin kendala bahasa dan logat yang berbeda, kadang ia butuh waktu untuk menangkap kata yang keluar dariku.

"Gondrong ji?" Syahib memastikan. "Nda ada, kalau kulihat-lihat bagus mi begini ini. Karena kalau pendek rambutku, jadi ganteng ka. Nanti Lita suka sama saya."

Hukum dalam Rasa [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang