Ini tentang cerita dari sepetak kamar yang selalu terasa lengang. Ini tentang suara yang sengaja diabaikan karena alasan bertahan. Ini tentang rasa yang ditekan tanpa pernah tersampaikan, sebab pemiliknya selalu diam. Ini juga tentang simpati yang tak mampu tertuang, sebab aku hanyalah meja lipat tanpa nyawa.
Berteman dengan sunyi adalah kegiatanku setiap hari. Berada dibawah sambil menatap wajah sendu itu terlelap diatas kasurnya adalah salah satu kesukaan yang membuatku selalu bersyukur, telah dikirimkan menjadi miliknya. Seperti halnya pendengar kesah yang lain, aku selalu seksama meluangkan waktu untuk dia tumpah. Aku tidak peduli bagaimana caranya bercerita dan membuka semua sumbatan yang menyesakkan dia. Bebas. Dia boleh marah, menangis, mengeluh, menghela nafas berat, berkata kasar, ngomel, ataupun gemas karena kesal. Dia juga boleh tersenyum, terpingkal, tersipu, berlaku konyol, termenung, bahkan menyanyi juga menari sendiri. Aku menikmati semua luapan emosinya.
Cukup bagiku ketika bisa menjadi alas bagi tangannya yang selalu lembur. Cukup bagiku karena bisa berguna menjadi tempat perangkat kerjanya diletakkan. Dari bawah sini ku rekam segala mimik dan tingkahnya yang tersembunyi dari dunia. Sekali lagi, aku menikmati bagaimana Ia jujur pada dirinya sendiri tanpa harus cemas ada lagi yang mengecewakan dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meja Lipat
Teen FictionKakiku dua lebih banyak darinya tapi tak pernah bisa membersamai langkahnya. Tubuhku yang tak semampai hanya mampu memberi ruang sempit untuk dia berpangku tangan sembari menyisir kusut dalam kepalanya. Dari sudut pandang sebuah meja lipat, aku berh...