Prolog

661 64 0
                                    

Bandung, 23 September

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bandung, 23 September

•••••••

Hujan di senin pagi. Satu hal yang disenangi oleh sebagian orang, apalagi anak sekolahan. Jika keadaannya berbeda, maka anak lelaki yang saat ini bersembunyi di bawah selimut itu pasti akan merasakan hal yang sama juga.

Namun, keadaan hatinya kini dilema. Dia bingung untuk memilih harus pergi atau tetap tinggal?

"Bangun, Dek." Anak lelaki lain yang lebih dewasa darinya datang dan kemudian mengguncang pelan tubuh itu.

Tidak ada gerakan atau respon apa pun, rasanya terlalu nyaman dengan posisi seperti ini.

"Kakak tau kamu sudah bangun, Kara."

Perlahan-lahan pemilik nama tersebut menurunkan selimut tipisnya hingga kedua matanya terlihat, membuat ia akhirnya saling bertatap dengan anak lelaki yang sedang duduk di sisi ranjangnya.

"Kara tetap ingin tinggal di sini, Kak Bayu. Bersama kalian." Suara yang terdengar lirih itu membuat Bayu merasa berat untuk membalas.

Tak lama kemudian, datang seorang wanita paruh baya menghampiri mereka. Anak lelaki yang sedang berbaring itu segera duduk, memandang insan yang telah merawatnya selama ini.

"Baskara ingin jadi dokter, kan?" Baskara mengangguk seraya memegang tangan berkeriput yang tengah menangkup pipinya.

Wanita itu tersenyum, kemudian kedua jari jempolnya sengaja ia gerakkan untuk mengusap pipi lembut Baskara. "Ini peluang kamu untuk mewujudkan cita-cita muliamu itu, Nak."

Baskara terlihat menghela napas panjang. Sembari menunduk, ia berujar, "Tapi kenapa harus ikut om itu? Kara bisa, kok jadi dokter tanpa om itu, buktinya selama Kara sekolah, seluruh keperluan Kara terpenuhi karena adanya beasiswa, kan?"

Wanita tersebut memandang Baskara dengan sendu. "Nak, beasiswa itu tidak menjamin kesuksesan kamu, beasiswa yang kamu dapatkan hanya menjamin saat kamu SD, kita tidak tau saat kamu SMP dan ke jenjang berikutnya, beasiswa itu masih ada atau sudah tidak ada. Daripada kamu berharap pada yang tidak jelas, lebih baik kamu memilih yang sudah jelas, kan?"

Bibir Baskara melengkung ke bawah. "Ibu sudah tidak mau menampung Kara, ya? Apa Kara berbuat salah sama Ibu?"

Wanita itu tersenyum, kemudian secara perlahan-lahan mulai menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak. Ibu sayang sama Kara, makanya Ibu setuju dengan Om Wira yang ingin mengadopsi kamu. Dia orang baik, Kara. Hidup kamu lebih terjamin jika kamu ikut dengan Om Wira."

Baskara tak berbicara lagi, ia menangis dalam diam. Isakan yang dia tahan mati-matian akhirnya terdengar juga.

Wanita yang Baskara panggil ibu itu kemudian menarik Baskara ke dalam dekapannya sembari berucap, "Kamu mau, ya?"

Setelah mendengarnya, Baskara mengangkat kepalanya hanya demi menatap mata ibu panti yang selama ini menjadi pengganti kedua orang tuanya.

Baskara tak menyangka bahwa dia benar-benar harus pergi kala itu dan menjadikan senin pagi tersebut sebagai cerita panjang terakhir bersama ibu.

•••••••

Hallo! Selamat datang dan ayo selesaikan!

Pertama, saya ingin mengatakan kepada kalian bahwa cerita ini adalah fiksi belaka.

Semoga kalian bisa mengambil hal-hal baik yang terkandung di dalamnya!

Akara Asrar [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang