Kalau saja waktu bisa diputar. Gue lebih milih jadi anak baik, sekalipun pada orang tua yang menurut gue sama sekali gak pernah sayang sama gue. Sibuk bekerja, setiap hari berantem, kadang keluar kota, sampai pernah saking sibuknya selama enam bulan kita hanya ketemu kurang dari sepuluh kali.
Mereka selalu bilang; “Maaf sayang, mama sama papa sibuk. Sebagai permintaan maaf, kamu boleh minta apa aja yang kamu mau.”
Selalu begitu. Ya, emang mereka gitu. Memfasilitasi kehidupan gue dengan apa yang gue mau, sampai over dan gak bisa dipikir dengan otak manusia biasa.
Terutama kalian.
Eits, gue becanda!
Dan lo semua tau, psikologi macam apa yang akhirnya tumbuh dalam perilaku gue. Ya, bisa dibilang selama ini gue hidup dengan egois, semau gue aja.
Itu berlangsung sampai akhir gue masuk sekolah menengah atas, dan ketemu teman-teman aneh, pinter, dan sotoy. Billy, Jojo, dan terakhir Askara.
Billy dan Askara itu orang aneh yang agak gila, berasal dari keluarga kelas menengah keatas. Sedang Jojo adalah orang yang cenderung lebih pendiem dari kita semua.
Dia berasal dari keluarga biasa, bisa dibilang kurang mampu karena nyokap dan bokap dia udah meninggal. Dia bekerja sampingan disalah satu cafe milik kakak gue, dengan syarat dia mau ngajarin gue pelajaran di sekolah.
Yaah, walaupun kadang sering berantem gara-gara gue nyontek tugas dia. Jojo yang gak berdaya dan akhirnya memilih untuk diem. Dan gak ngelakuin apa-apa sekalipun gue nyalin seluruh tugas dia.
Apapun yang gue mau, semuanya gue dapetin! Sekalipun itu cewek.
Mulai dari cewek paling cantik, paling alim, pendiem, dan yang paling kece.
Gue pakarnya.
Jangan ngiri kalian. Ini cuma ada dicerita novel doang.
Inget, ya. Cerita novel.
Berawal dari tongkrongan rahasia yang gak berfaedah. Gue, Billy, Askara, dan Jojo sepulang sekolah biasanya nangkring di pinggir jalan sepi gak jauh dari sekolah; biasa, kita pengangguran.
Berbeda dari Jojo yang jarang sekali gabung. Dia biasanya dia bakal lebih dulu pulang dan pergi kerja buat tambahan lembur. Katanya lumayan buat bantu beli buku sekolah adiknya.
Dia emang paling rajin, paling pinter, dan juga paling rapi. Tapi kali ini kita yang bujuk dia buat ikut, meskipun awalnya Jojo terlihat enggan dan molor, dia akhirnya mengalah. Dan alhasil; gak ada yang dia lakukan, jangankan ikut gila-gilaan bareng, dia malah baca buku dipojokan.
Sedikit heran, sih. Kenapa matanya tahan sama tulisan kecil ngebosenin yang bikin ngantuk. Tapi bagi kita bertiga, itu udah jadi pemandangan biasa, begitulah memang Jojo. Seribut apapun keadaan sekitar, dia bakal stay diem dengan bukunya.
Sementara Askara sama Billy bermain gitar dan bernyanyi dengan suara keras, suara serak dan melengking mereka berdua menciptakan harmoni yang rumit seperti kelontongan pecah.
Siang itu matahari panas, mendengar suara mereka berdua entah mengapa membuat tenggorokan gue mendadak kering. Gue minum air mineral di meja, sekali lagi melihat kelakuan Billy dan Askara lantas tanpa sadar bikin gue gelang kepala beberapa kali.
“Berisik, banget dah!”
Mereka terlihat gak menghiraukan teguran gue, malah semakin keras bernyanyi. Memang sudah kelewat gila.
Gue kemudian melihat Jojo membaca buku dipojokan, lantas gue nyamperin dia dan duduk sama Jojo. “Gak sakit mata lo, Jo? Siang malem baca buku mulu.”
“Nggak, udah biasa.” Jojo menjawab tanpa melihat kearah gue.
“Gimana caranya, lo fokus ditengah-tengah pertujukan kelontongan mereka pada.” gue melihat kearah Billy dan Askara yang terlihat tidak terganggu.
Sampai pada akhirnya suara kedua orang itu tiba-tiba berhenti. Diikuti suara senar gitar yang putus. Billy terduduk cemberut. “Yah, putus.”
Gue menertawakan dengan sedikit mengejek. “Rasain, mampus!”
Disela pembicaraan kami itulah ponsel Jojo berbunyi. Sekilas terlihat foto cewek SMP yang imut dari layar ponsel Jojo.
“Eh, cewek!”
Dengan tidak nyaman Jojo melirik kearah gue, dan berjalan menjauh. “Apa, sih. Adek gue, ini mah.”
Baru kemudian mengangkat panggilan itu dengan nada suara pelan. “Apa, dek.”
“Kak, Jo. Kog belum pulang?”
“Iya. Kak Jo, masih diluar.”
“Ya Udah, aku makan sendiri, ya?”
“Iya.”
“Oh, ya. Kak, nanti aku ada tugas kelompok dirumah teman, bisa jemput nggak?”
“Jam berapa?”
“Sekitar, jam 8.”
“Bisa, kamu berangkat sama siapa?”
“Sama temen.”
“Hati-hati.”
Panggilan itu pun terputus. Dengan senyum kecil gue goda si Jojo. “Adek lo, cakep juga.”
“Gak ada.” Muka gue langsung berubah masam. Sialan Jojo! Gue langsung ditolak tanpa usaha.
Gue bersungut, “belum juga ngomong.”
“Inget Gaby, Nath.” Billy ikut nyeletuk.
“Eh, udah ganti lagi? Perasaan gebetan Nathan si Lina kelas sebelah.” Askara gak kalah histeris.
Jojo terdiam sesaat, wajah gue tiba-tiba menegang liat tatapan dia yang serius. Tapi setelah gue amati sekitar, bukan cuma gue yang mendadak tegang. Billy dan Askara pun saling pandang. “Kalian semua, gue nanya?”
“Bagi kalian, apa arti pertemanan kita?"
“Kenapa lo, Jo? Tiba-tiba nanya gitu?” Gue beranjak dari tempat duduk, dan berdiri disamping Jojo. Askara dan Billy mengangguk bersama.
“Gue berharap pertemanan kita ini punya nilai lebih dari sekedar teman. Sampai salah satu dari kita bisa mempercayakan apa yang selama ini pengen dia jaga.”
Gue menatap Billy dan Askara bingung. Mereka pun menggeleng, sepertinya sama kaya gue yang gak ngerti dari ucapan Jojo.
“ Lo punya gebetan, Jo?” Billy bertanya.
“Tenang, kita gak akan nikung.”
“Nggak.”
“Lah terus?”
.........
Gak pernah gue pikir hari itu adalah pertemuan yang terakhir dengan Jojo. Ketika ramai terjadi insiden pengeroyokan salah sasaran dari sekolah lain. Hari itu harusnya gue yang mati. Kalau aja gue mau dengerin Jojo.
“Kita cepet pergi dari sini!” Jojo berteriak di tengah jalan yang dipenuhi suasana genting mencekam.
“Kita gak bisa pergi, Jo! Mereka udah mukul kita, udah jelas-jelas kita nggak ikutan!” Gue balas berteriak ke arahnya.
“Terus, lo disini jadi jagoan, gitu? Nath, lo punya nyawa berapa?”
Billy dan Askara melerai kami. Ketika aku mendorong Jojo dengan emosi. “Lo takut? Pergi aja, Jo. Gue gak takut mati!”
Jojo bergetar ditempatnya. “Nath, yang lo pertaruhin bukan cuma nyawa lo, sadar gak sih. Kita mundur aja.”
“Pengecut!” Salah satu dari anak itu berteriak. Jojo dengan kuat nahan tangan gue.
“Lepasin gue, Jo.”
“Nggak, Nath!”
Hari itu entah bagaimana gue liat linggis besar menghantam kepala gue. Dan Jojo terdorong menghantam trotoar jalan. Pandangan buram itu jelas gue masih ingat jelas. Sampai pada akhirnya gue gak bisa lihat apa-apa selain gelap.
Selain apa yang gue sesali, gue gak pernah tau alasan kenapa gue harus mati!
KAMU SEDANG MEMBACA
JONATHAN
Teen FictionSetelah siuman dari koma, Nathan terkejut ketika dia terbangun dalam tubuh sahabatnya; Jojo yang menolongnya setelah diserang kelompok antar sekolah yang melakukan tawuran, dan melukainya dengan senjata tajam. Dia berfikir bahwa reingkarnasi, ataup...